Mengkonfirugasi teks
.....WELCOME.....
Mengkonfirugasi teks
SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA INI
PENDEKAR SLEBOR WARISAN RATU MESIR
WARISAN RATU MESIR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Cici
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Ketersiksaan yang teramat sangat menjerat
Pendekar Slebor, manakala asap beracun telah menelusup
ke rongga paru-parunya. Andika saat ini tengah terjebak
dalam lorong yang dimasukinya di dalam Piramida Tonggak
Osiris*
Dalam petualangannya di dunia keras persilatan,
udah beberapa kali Pendekar Slebor berurusan dengan
racun terganas di dunia. Namun kali ini, dia merasakan
siksaan yang tak terbandingkan dari pada seluruh racun
yang pernah berurusan dengannya.
Sekujur permukaan kulit Andika seperti disayat
sekian juta sembilu. Darahnya seakan digarang dalam
tungku membara. Kepalanya seolah hendak meletus,
membuncahkan isinya. Tulang-tulangnya terasa diremuk-
redam. Dan serat-serat dagingnya bagai dilarikan
sekawanan serigala lapar!
Pendekar Slebor benar-benar amat tersiksa,
memaksa untuk melolongkan jeritan sekeras mungkin.
Seandainya saja kerongkongannya tak tersekat. Dan
akibatnya rintihan lirih pun tak mampu dikeluarkan.
Siksaan paling menyakitkan bagi benteng ketahanan
diri Andika selama ini. Jika masih bisa membandingkan,
siksaan itu mungkin setara dengan keadaan saat Pendekar
Slebor harus menerima terjangan lidah-lidah petir kala
mencoba menyembuhkan Ratu Lebah di suatu bukit (Baca
serial Pendekar Slebor dalam episode: "Sepasang Bidadari
Merah").
Beruntung, pengalamannya menjerang siksaan
gempuran lidah petir, melatih benteng kekuatan dalam
dirinya agar bisa bertahan dalam siksaan paling
menyakitkan. Kuat dalam menggulati maut untuk
mempertahankan secuil kesadarannya. Seperti saat ini.
Dalam detik-detik seperti itulah sisa-sisa kesadaran
Pendekar Slebor terbangkit. Dia langsung teringat pada
tabung air minum pemberian si Gila Petualang. Beberapa
waktu lalu, Andika terasuki racun ganas dalam air di
tabung itu. Setelah meneguk kembali air dalam labung,
racun justru dapat ditawarkan (Baca episode sebelumnya:
"Undangan Ratu Mesir").
Ingat akan hal itu, cepat-cepat Andika meraih tabung
kulit dari ikat pinggang pakaiannya. Dengan gerak tak
terarah, mulut tabung itu didekatkan ke bibirnya. Lalu air di
dalamnya pun diteguk.
Gluk! Gluk! Gluk! Gluk! begitu empat tegukan masuk
dalam kerongkongan, justru merasakan hal yang dahsyat.
Apa yang terbetik dalam pikiran ternyata tak selalu selaras
kenyataan. Bukannya siksaan itu menjadi berkurang.
Sebaliknya malah semakin dahsyat dan menyakitkan!
Kesakitan memuncak. Di lain sisi, benteng pertahanan
dirinya justru jatuh semakin rapuh. Kesadarannya nyaris
hilang....
Bagaimana mungkin lagi tubuh seseorang bisa
bertahan manakala terasa sudah rnenjadi serpih-uii?
Hingga akhirnya.... "Wuaaa!"
Diawali lompatan teriakan menggelegar, Andika
merasakan dunia rnenjadi gelap gulita.
***
"Andika! Andika! Di mana kau, Andika?!" panggil
Nofret was-was. Dari ruangan yang dimasukinya, lamat-
lamat telinganya menangkap selenting jeritan. Meski
samar, pemilik suara itu masih mampu dikenalinya.
Tampaknya, antara satu ruangan dengan ruangan
lain yang kini dimasukj masing-masing undangan Ratu
Mesir mempunyai hubungan. Buktinya suara jeritan Andika
sampai ke ruangan yang dimasuki Nolret. Padahal, antara
satu ruangan dengan yang lain disekat dinding yang luar
biasa tebal (Baca episode scbelumnya: "Piramida
Kematian").
"Apa yang sesungguhnya terjadi pada Andika?"
gumam Nofret galau.
Pemuda itu selama ini semakin dekat saja merasuki
relung hati Nofret. Omongannya, kegagahannya,
keacuhannya, dan sikap jantannya terhadap wanita
membuat Nofret tak mungkin mengusik perasaan itu.
Wajar saja gadis ini pun rnenjadi was was bukan main
mendengar leriakan tadi.
Sama seperti ruangan yang dimasuki Pendekar
Slebor, ruangan yang dimasuki Nofret pun hanya semacam
ruang kosong yang luas. Tanpa lukisan-lukisan Mesir Kuno
seperti di ruangan lain. Juga tanpa satu perabotan pun.
Lapang, yang ada hanya ketegangan, teka-teki, dan aroma
maut!
Menyadari pemuda yang menawan hatinya berada
dalam cengkeraman bahaya, Nofret memutuskan untuk
meninggalkan saja ruangan besar itu. Ton, ruang yang
sedang diselidikinya ternyata tidak ada apa-apa. Barangkali
itu sekadar pengalih perhatian dari ruangan yang bisa
membawa mereka menuju Ruang Penyimpan Benda
Pusaka.
Segera Nofret berbalik, dan berlari menuju pintu.
Belum tiga langkah kakinya beranjak, mendadak sesuatu
di luar perkiraan terjadi! Tiba-tiba saja____
Wsss!
Apa yang terjadi?
Serupa yang dialami Andika, Nofret pun mengalamii
kejadian seperti itu. Dari setiap celah dinding batu,
menyembur kabut putih tebal bergumpal-gumpal. Tak ada
bagian ruang yang luput, termasukdi bagian pintu masuk.
Piramida ini memang terlalu banyak menerkam
mereka dengan kejadian tak terduga. Teka-teki sulit diraba.
Bahkan bagi Nofret sendiri, salah seorang keturunan
Pendeta 'Ka' yang dipercayakan ratu untuk memelihara
Piramida Tonggak Osiris.
Pandangan Nofret dalam sekejap terhalang. Sulit
baginya menentukan kembali, ke mana arah pintu kcluar.
Sementara, dia sudah telanjur memutar badan ke segenap
arah, manakala menyaksikan gumpalan asap putih tebal
kian mengepung.
Kejadian selanjutnya tak sulit diduga. Asap itu
memang asap beracun yang juga telah memangsa
Pendekar Slebor. Kalau seorang pendekar yang sudah
begitu kenyang deraan siksa luar biasa itu saja dapat
dilumpuhkan, bagaimana dengan si dara Mesir yang
sesungguhnya tak memiliki bekal ilmu bela diri apa-apa?
Sebentar saja, tubuh molek Nofret terkulai. Luruh di
lantai
***
Andika siuman. Begitu matanya terbuka perlahan-
lahan, dirinya didapati berada di sebuah tempat asing.
Terlalu asing. Jauh bertolak belakang dengan suasana
dalam piramida.
Semula Pendekar Slebor mengira sudah terdampar
di alam lain. Sesial-sialnya, dia sudah ditemani gerombolan
cacing tanah, mengingat betapa ganas racun yang telah
merasuki tubuhnya.
Syukur sekali, hal itu tidak terjadi pada diri Andika.
Rasanya, hatinya yakin kalau masih tetap berada di dunia.
Biarpun suasana tempatnya kini belum pernah disaksikan
sebelumnya.
"Di mana aku?" desis Andika setengah merutuk.
"Kenapa aku jadi berada di tempat yang....”
Anak muda itu tak bisa memaparkan kalimatnya lagi
begitu bangkit dari berbaringnya ini. Sulit baginya untuk
menjelaskan dengan kata yang paling tepat. bagaimana
keadaan tempat. Semuanya terlihat begitu menawan.
Ruang yang memiliki kolam bening, Iniuga beraneka jenis,
lukisan-lukisan padat pesona, bahkan sangkar-sangkar
besar yang di dalamnya puluhan burung dalam berbagai
ukuran dan bermacam warna.
Ketika mengamati kolam, mata Andika dihidangkan
pantulan lembut dasar kolam dari pualam putih. Cahaya
dari kubah bangunan besar di atasnya, terjun langsung
tanpa geming ke permukaan kolam berbentuk bundar itu.
Tepat di tengah kolam, berdiri bisu arca seorang wanita
cantik berpakaian kebesaran. Tangan kanan patung yang
menjulur gemulai ke depan, memegang setangkai tanaman
poppy*. Bibirya tampak mengembang. Sulit mengartikan,
apakah itu adalah sebentuk senyum atau seringai. Dan
meskipun hanya patung, matanya seolah membersitkan
kekejian yang tergabung rnenjadi satu dengan gelora
nafsu.
"Arca siapa pula ini? Mungkinkah patung itu adalah
Sang Ratu seperti yang dimaksud Nofret?" gumam Andika,
begitu telah berdiri.
Dengan badan masih terasa lemas, anak muda sakti
dari tanah Jawa ini mencoba menggerakkan kaki menuju
kolam.
Namun mendadak langkahnya terputus manakala
menyaksikan sesuatu di sudut ruangan besar tersebut.
Tampak sebuah peti mati kebesaran Mesir Kuno tergolek
di atas batu altar....
"Apakah aku tengah berada di ruang penyimpanan
jenazah ratu itu?" bisik Andika ragu. bertanya pada diri
sendiri.
Niat Pendekar Slebor untuk mendekati kolam
diurungkan. Kini langkah kakinya malah disorongkan ke
arah peti mati. Lambat tapi pasti. Andika kian mendekati
peti yang kepala penutupnya berukiran bentuk wajah
seorang wanita. Mirip dengan wajah patung di tengah
kolam.
Sementara mendekat, jantung anak muda ini
berdebar-debar kacau. Entah kenapa, dia sendiri tak tahu.
Seolah ada sebuab pengaruh kasap mata dari peti mati
tempat pembalsaman yang langsung menelusup ke dalam
sudut hatinya.
Sampai akhirnya langkah Andika tcrhenti. berdiri
tanpa gerak di sisi altar batu. Belum tahu, apa yang barus
dilakukannya lagi. Sedangkan sepasang matanya terus
mengamati lekat-lekat ukiran timbul wajah wanita di
penutup peti yang mcngenakan mahkota yang ujungnya
berbentuk kepala ular sendok.
Lama. Cukup lama Andika terdiam macam orang
bodoh. Sampai disadari kalau dia harus berbuat sesuatu.
Lalu tangannya pun mulai terjulur ke penutup peti.
Sesaat Andika ragu. Dan tangannya pun terhenti di
udara.
"Mestikah aku membukanya?" gumam pemuda mi
l.imat. "Apakah dengan membukanya, aku telah Iancang
mengusik peti mati seorang wanita yang begitu diagungkan
Nofret?"
Jika terlalu lama menimbang, Andika merasa dirinya
semakin tampak bodoh. Karena itu diputuskannya untuk
melanjutkan niat semula. Tangannya bergerak kembali.
Penutup peti itu ternyata tak terlalu sulit dibuka,
meskipun agak berat. Celah kecil seputar peti tercipta
Sementara detak jantung Andika semakin tak menentu.
Bersama suara geseran halus, penutup peti pun
terkuak lebar-lebar. Cahaya matahari yang membias dari
kubah bangunan menerobos masuk ke dalam peti. Dengan
mata kepala sendiri,Andika melihat sosok seseorang.
Dan....
Blam!
Seketika itu juga Pendekar Slebor melepas kembali
penutup peti. Beratnya penutup menciptakan kegaduhan,
manakala bertumbukan dengan badan peti.
Anak muda itu kontan tersurut mundur ke belakang.
Betapa sulit menggambarkan wajahnya saat itu. Matanya
berhenti berkedip. Mulutnya setengah terbuka. Wajahnya
sebentar merah, sebentar memucat. Sepertinya dia baru
saja menyaksikan satu pemandangan yang benar-benar
membuatnya terperanjat sekaligus demikian risih.
"Tak mungkin...," desis Andika seraya
menggelengkan kepala.
Sungguh wajar kalau Andika bertingkah sedemikian
rupa, karena apa yang baru saja dilihatnya memang
sesuatu yang tak mungkin. Sebab, di dalam peti mati
tempat pembalsaman mayat pembesar wanita Mesir itu
tampak sosok yang sudah begitu dikenal.... Nofret!
Nofret terbujur diam dengan tangan terbentang lurus
di sisi tubuhnya. Itu yang membuat Pendekar Slebor benar-
benar tersentak. Di samping itu, ada yang lebih gila
sehingga membuatnya menjadi demikian bergegas
menutup kembali penutup peti mati. Nofret yang terlihat di
dalam peti ternyata berpakaian amat tipis, tembus
pandang. Di balik pakaian tipisnya tubuh Nofret
membayang polos tanpa selembar benang pun!
Sekelebatan, Andika menyaksikan pemandangan
mendebarkan tadi. Disaksikan pula, bagaimana kulit
sehalus sutera milik wanita itu kian menggoda dalam
kesamaran kain putih yang tembus pandang.
"Ini sinting. Ini kelewatan sinting. Atau aku memang
sudah menjadi sinting gara-gara racun itu!" rutuk Andika
lagi dengan wajah kebingungan. Tangannya tanpa sadar
menggaruk-garuk jidat berkali-kali. Seolah, di jidatnya
sudah tumbuh kudis paling ganas.
Selagi pemuda dari Lembah Kutukan ini
diberondong rasa keheranannya, penutup peti mati
pembalsaman perlahan terbuka kembali. Kali ini, bukan
lagi perbuatan Andika. Pendekar Slebor sendiri tak tahu,
perbuatan siapa. Dia hanya terpaku dengan tangan lupa
diturunkan dari jidat.
Grrr.... Blam!
Peti pun menganga sudah. Penutupnya yang seherat
seekor anak kerbau jatuh berdebam di sisi altar. Padahal,
penutup seberat itu cuma didorong sebelah tangan halus
dari dalam peti. Tangan sejernih susu, serta berjari selentik
ranting pohon sorga....
"O, Tuhan.... Apa yang bakal terjadi?" gerutu Andika
dalam hati.
Keterpanaan Pendekar Slebor makin parah saja.
Apalagi menyaksikan jerak gemulai tangan lentik dari
dalam peti. Lalu lamat-lamat, sebentuk wajah yang
mempesona muncul dari sana.
Andika tidak salah lihat Itu memang wajah Nofret!
***
2
Ibarat seorang nakhoda yang telah mengarungi
banyak samudera, selaku seorang pendekar muda, Andika
pun sudah banyak menjalani ragam kehidupan dunia
persilatan. Kebengisan, darah, pembantaian, sudah
menjadi hal biasa yang kerap ditelannya.
Tapi kalau bicara soal perempuan secantik bidadari
berpakaian tembus pandang, itu bisa lain perkara! Bisa
jadi, seumur-umur baru dialaminya. Dan tahu sendiri,
seorang pemuda yang masih memiliki luapan darah muda
seperti Andika bisa langsung mati berdiri menyaksikan
pemandangan yang baru kali ini disaksikan.
Untunglah pemuda brengsek itu termasuk kebal
guncangan. Andika tidak sempat mati berdiri, cuma saja
seperti orang kehilangan otak. Dia tergolong tolol dengan
mulut menganga serta lubang hidung kembang-kempis.
Apalagi ketika Nofret bangkit dari dalam peti.
Dengan gerak amat lamban, wanita itu melangkah keluar
peti. Saat kaki jenjangnya terangkat, tersingkaplah
pemandangan yang membuat jantung Pendek.n Slebor
seperti hendak ambrol seketika!
"Mati aku!" pekik Pendekar Slebor dalam hati. Itu
pun kalau Andika masih ingat untuk memekik dalam hati....
Kemudian perlahan, sarat kegemulaian Nofret
melangkah satu-satu menuju Andika. Setiap kali sebelah
kakinya melangkah, terciptalah lenggokan lembut
menakjubkan di sekitar pinggul padatnya yang lebih
menggetarkan lagi. Saat buah dada sekal yang samar
tampak di balik pakaian tembus pandang itu ikut bergetar,
seolah menyanyikan sesuatu yang asing.
Andika mcnahan napas, sekuat-kuatnya tanpa sadar.
Dia seperti takut kalau dadanya akan segera rontok
mendapati tayangan di depan matanya.
Sambil memejam-mejamkan mata ogah-ogahan'
bibir Andika menggumamkan sesuatu.
'Ini bukan pribadi Nofret sesungguhnya...." Andika
memang memiliki firasat, kalau Nofret yang dihadapi kini
bukan Nofret yang dikenalnya. Dia wanita itu sedang
dirasuki satu kekuatan jahat Tampak sekali dari kilalan
cahaya matanya yang bersinar mcnggiurkan, sekaligus
menyiratkan kekejian. Tak beda dengan....
Andika tiba-tiba teringat patung di tengah-tengah
kolam.
"Ya! Tatapan matanya berkesan mirip dengan mata
patung itu.... Jangan-jangan, Nofret sedang dirasuki roh
ratunya," desis Andika agak bergidik.
"Andika...."
terdengar panggilan mendesah meluncur dari bibir
ranum Nofret. Wanita itu telah menghentikan langkahnya.
Kini dia berdiri dalam keadaan amat menantang sekitar
lima tombak di depan Pendekar Slebor.
Untuk yang kesekian kalinya, Andika tercekat.
Desahan suara itu seperti datang dari masa yang begitu
jauh. Datang dari suatu tempat Iain. Datang dengan
sebuah pengaruh hebat yang merangsak relung hatl
Andika, lalu mencoba menguasai garbanya.
Desahan itu seperti pernah didengar Pendekar
Slebor manakala hampir pingsan akibat asap beracun.
Bukankah yang didengarnya dulu adalah suara gaib Sang
Ratu? Kalau begitu. Andika makin yakin. Nofret telah
dirasuki Sang Ratu!
"Andika...."
Kembali terdengar desahan. Pengaruhnya lebih kuat
daripada sebelumnya. Bahkan sekujur kulit Andika menjadi
bergetar. Ada pula hujaman kuat yang mengepung
batinnya dengan rasa dingin yang sulit dipahami.
"Andika..."
Bahkan kini menyusul gejolak birahi yang men-
dadak. menempati aliran darah pemuda itu. Bergolak...,
bergejolak! Andika berjuang mengenyahkan pengaruh itu.
Tapi makin berkutat menentangnya, dia makin kehilangan
kendali diri.
Tanpa bisa dihindari Andika tertegun. Matanya
dipaksa untuk terus menikmati lekuk-lekuk tubuh Nofret,
melalap jenjang sepasang kaki yang berdiri setengah
membentang, melahapi sepasang bukit indah yang
bergerak berirama naik turun....
Jalan napas pendekar muda itu mulai memburu,
mendesah, mendengus.... Sementara, desahan napas
Nofret lerus saja memanggil-manggil. Tanpa kalimat, tapi
cukup diartikan, Andika mendekatlah....
Tanpa disadari, Andika melangkah lambat-lambat
menuju Nofret. Matanya terus saja lekat ke lekuk-lekuk
nan padat dan sintal di depannya. Semakin dekat, napas
pemuda itu kian memburu. Bahkan terdengar seperti
mendengus-dengus.
Lalu kefjka jarak sudah demikian dekat, Nofret
menggelinjang diiringi desah panjang. Bibir ranum perawan
Mesir ini membuka, di antara desah bergelombang.
Matanya yang berbulu lentik dipejamkan. sementara,
kepalanya menengadah. Seakan hatinya begitu berhasrat
menikmati rabaan di sekujur tubuhnya. Gerak tubuhnya
adalah bahasa yang begitu mudah dipahami. Sebuah
isyarat, agar Andika segera menyergap, mendekap, dan
mencumbunya sepanas mungkin!
Bahasa tubuh menggiurkan itu cepat ditangkap
birahi Pendekar Slebor. Dan nampaknya pendekar muda
ini berada di bawah pengaruh tenungan nafsu roh halus
dalam diri Nofret.
"Ahhh...!"
Desah padat gairah dari bibir Nofret pun makin
memburu, manakala tangan kekar Andika sudah memagut
leher dara yang menengadah ini. Lalu, ditariknya perlahan
kepala gadis itu kewajahnya. Bibir Pendekar Slebor pun
siap mengulum atau melumat seluruh bibir ranum Nofret.
Plak!
Mendadak satu tamparan amat keras memancung
seluruh desah birahi Nofret. Andikalah yang melakukannya.
Tepat pada saat pagutan mulai melalap bibir hangat
Nofret. sebentuk kesadaran dari dasar hatinya bergeliat,
berontak, terhadap pengaruh tenung gaib.
Kesadaran itu menyeruak deras ke benak Pendekar
Slebor. Amat deras!
"Ini tidak benar! Kau akan terus terjerumus bila
mengikuti gelora nafsumu! Kau akan menjadi pecundang,
Andika! Pecundang dari nafsu arwah seorang wanita jahat!"
teriakan dari dasar hati terdengar, dan hanya bisa
dimengerti Andika.
Setelah itu, akal sehat Pendekar Slebor kembali
seutuhnya. Agar tak ada lagi godaan yang nyaris
membuatnya lupa daratan, tak heran kalau Andika
terpaksa menampar pipi Nofret. Maksudnya tentu saja
hendak menyadarkann gadis itu dan kerasukannya.
Kalau hal itu yang diharapkan, Andika justru keliru.
Masalahnya, arwah yang menguasai garba Nofret bukanlah
wanita biasa. Ratu penguasa Piramida Tonggak Osiris
adalah wanita ahli sihir yang menjadi junjungan puluhan
ahli sihir mesir lain pada zamannya. Satu tamparan keras
tangan Andika, tak bisa begitu saja mengenyahkannya.
"Ghhh...!"
Entah menggeram, entah mendesis, Nofret menatap
jalang ke arah Andika dengan segenap kilatan kekejian di
kedua bola mata lentiknya. Pandangan yang merejam
langsung mata Andika.
Selanjutnya.... "Hiaaa!"
Tiba-tiba saja Nofret mengibaskan tangan kanannya.
Dan.... "Akhhh...!" Brak!
Tubuh Andika melayang tinggi seperti tanpa bobot
dihempas sebelah tangan Nofret. Dan itu dilakukan seperti
sedang melempar uang logam! Derasnya luncuran tubuh
Andika ke belakang, baru berhenti setelah dihadang
tembok sebelah selatan yang jaraknya lebih dari dua puluh
depa! Bahkan sebagian dinding batu alam itu masih
sempat gompal cukup dalam, seukuran tubuh yang
menimpanya.
***
Sesuai kesepakatan, para undangan Ratu Mesir
yang berpencar untuk memasuki ke sembilan ruangan.
harus berkumpul kembali ke tempat semula. Dari sembilan
orang yang memasuki ruangan-ruangan itu, hanya enam
yang kembali. Tiga orang di antaranya menghilang begitu
saja. Mereka adalah, Pendekar Slebor, Nofret, dan si Gila
Petualang.
"Andika mana?" tanya Ying Lien pada Chin Liong.
begutu mereka sudah berkumpul kembali di persimpangan
lorongyangmemiliki banyak pintu masuk.
Mala wanita Cina itu memang buta. Tapi peraaannya
demikian peka. Nalurinya yang tajam merasakan ada
kckurangan di antara mereka. Dan telinganya yang tajam
tak mendengar tarikan napas pemuda pujaannya itu.
"Dia belum kembali," sahut Chin Liong, tampak
cemas.
Wajah Ying Lien pun berubah. Perasaan tak enaknya
terbukti. Wajahnya kini tak kalah cemas dibanding Chin
Iiong.
Chin Liong tentu saja tahu, apa penyebabnya. Bukan
sekedar rasa persahabatan yang mengikat erat hati Ying
Iien terhadap pemuda urakan itu, tapi juga cinta. Mungkin
saja selama ini Ying Lien masih mampu menyembunyikan
perasaannya pada Andika. Namun unluk saat seperti
sekarang, tidak lagi.
"Ayo kita cari dia, Chin Liong!" ajak Ying Lien
bergegas. Dan bergegas pula ditariknya tangan Chin Liong.
Pemuda tampan dari Cina yang ditarik menahannya.
"Tak perlu, Ying Lien...," sergah Chin Liong. "Aku dan
Hiroto sudah menyusul ke ruangan yang dimasukinya...."
"Lalu? Apa yang terjadi padanya?" serobot Ying Iien!
Chin Liong menggeleng dengan wajah kusam.
"Dia tak kami temukan. Raib begitu saja tanpa jejak
..." sahut Chin Liong lagi.
Dada Ying Lien naik-turun. Sulit mencoba menutupi
perasaan khawatirnya terhadap keselamatan pemuda yang
dikaguminya.
"Kalau begitu, biar aku mencari lagi," tandas Ying
Lien agak marah.
Sekali lagi Chin Liong menahannya.
"Kau sudah tak percaya lagi padaku, Ying Lien?"
sikap Chin Liong agak menyudutkan.
Sebenarnya Chin Liong tidak sedikit pun tersinggung
dengan sikap putri junjungannya yang sudah seperti
saudara kandung sendiri itu. Biar bagaimanapun harus
dimakluminya rasa kagum dan cinta Ying Lien yang
demikian meraksasa terhadap diri Pendekar Slebor.
Kalaupun Chin Liong menahannya, itu karena tidak
mau Ying Lien hanya mengikuti perasaan gundahnya.
Selaku putri sekaligus tokoh persilatan Cina yang disegani,
perasaan seperti itu bisa amat membahayakan dirinya
sendiri. Padahal di dalam piramida yang mulai disadari
penuh intaian maut, seseorang harus benar benar memiliki
ketenangan mantap dalam mengatasi semua ancaman.
"Bukannya aku tidak mempercayaimu. Aku hanya
tidak yakin kalau Andika menghilang begitu saja!" sergah
Ying Lien.
Suara wanita itu meninggi dan kasar di telinga Chin
Liong. Setelah itu, barulah Ying Lien menyadari
kebodohannya.
"Maafkan aku, Chin Liong..," ucap Ying Lien
melemah. "Aku tadi begitu...."
"Ya, aku mengerti," potong Chin Liong. "Ada dua
orang lagi dari anggota rombongan kita yang tidak
kembali," sela Hiroto. "Nona Nofret dan Tuan Gila
Petualang."
"Kau punya gagasan unluk tindakan kita selan-
jutnya, Hiroto San*?!" tanya Chin Liong. Hiroto sesaat
berpikir keras "Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kita
perbuat setelah nona pemandu kita menghilang. Semula,
kita bertujuan ke sini karena hendak mengejar tuan para
ahli sihir Sang Ratu. Sekarang, orang itu sama sekali tidak
ditemukan. Sementara dua orang yang sudah sempat
melihat isi peta piramida ini, telah hilang entah ke mana.
Maka rasanya kita akan menemui kesulitan besar untuk
menemukan ruang penyimpanan benda-benda pusaka
para ahli sihir itu...," papar Hiroto lanjang-lebar. Padahal,
biasanya dia paling sedikit berbicara.
"Hiroto benar," timpal Kenjiro. "Kita menemui jalan
buntu."
"Tapi aku tidak mengatakan kalau kita akan
menyerah," sergah Hiroto. "Sudah pasti kita akan menemui
kesulitan besar, tapi harus tetap berusaha!"
Selaku seorang ksatria Jepang, pantang bagi Hiroto
untuk menyerah kecuali kematian menghadang.
"Apa kita akan membiarkan orang seperti Tuan
Kepala Kacang berbuat seenaknya dengan benda-benda
pusaka itu?" susul Hiroto, seperti hanya ditujukan pada
saudara sepupunya yang mulai putus asa. "Atau
membiarkan Tuan Pendekar Slebor yang kita kagumi itu
mendapat celaka?"
Kenjiro menggeleng lamat. Seperti kata sepupunya,
tadi, memang tidak pantas membiarkan seorang kawan
sealiran yang sama-sama menjunjung tinggi nilai
kebenaran dan keadilan, terperosok dalam bahaya maut.
Lebih-lebih Kenjiro sendiri mulai mengagumi sikap perwira
Pendekar Slebor yang diperlihatkan selama ini.
"Kalau begitu, mari kita cari mereka!" putus Chin
Liong menyemangati.
"Ayuuuuuh...” koar Pendekar Dungu seenaknya. Tak
kapok-kapoknya dia. Padahal gara-gara teriakannya, pintu-
pintu jebakan membuka waktu itu.
***
3
Bukan kekuatan biasa yang melontarkan Andika,
hingga membuat tubuhnya terhempas semudah dan
sejauh itu. Namun begitu, bukan Pendekar Slebor kalau
hanya hempasan demikian menjadi pecundang. Apalagi
sudah berapa banyak kejadian yang lebih berat
menghantamnya.
Dengan terhuyung limbung, Pendekar Slebor
mencoba bangkit. Hantaman teramat keras antara
tubuhnya dengan dinding batu alam membuatnya
memuntahkan darah segar. Untuk mengenyahkan
pandangannya yang kabur, anak muda berhati baja itu
menggeleng-gelengkan kepala keras. Tangannya
mendekap bagian dada yang terasa nyeri minta ampun.
"Nof.., ret, sadarlah.... Ini aku, Andika!" ucap Andika
tertatih.
Disana, wanita yang dimaksud malah memamerkan
seringai tipis.
"Ha-ha-ha... hi-hi-hi!"
Dan seringai itu pun kemudian berkembang menjadi
tawa meninggi, memantul ke segenap penjuru dinding
ruangan luas ini.
"Nofret!"
Andika berusaha membentak, meski dalam ke-
Icrsengalan napasnya.
"Lawan pengaruh arwah dalam garbamu! Lawan,
Nofret! Aku tahu kau mampu! Dan aku tahu pula, kau
sebenarnya bisa mengenali aku. Hanya kau tak bisa
berbuat apa-apa di bawah cengkeraman arwah keparat
itu!" cecar Andika, berusaha membangkitkan kembali
kesadaran Nofret.
"Hi-hi-hi.... Kau pikir, sedang berurusan dengan
siapa, jejaka tampan? Kau berada di wilayah kekuasaanku.
Kau pun berada di tempat pemakamanku! Artinya, kau tak
memiliki kesempatan sedikit pun untuk mengungguliku!
Tidak juga untuk mcmpengaruhi gadis yang kutumpangi
ini!" sergah arwah dalam jasad Nofret. Suaranya masih
dikentarai Andika sebagai suara Nofret.Tapi gaya bicaranya
benar-benar bukan lagi milik gadis itu.
"Apa maumu sebenarnya, arwah perempuan jalang?"
tanya Andika terdengar mencerca.
"Apa mauku? Hi-hi-hi...." Bukannya menjawab, arwah
Ratu Mesir itu malah memperdengarkan tawa nyaring
kembali.
Usai menertawai ucapan Pendekar Slebor, gadis
yang sedang kerasukan ini menancapkan pandangannya
dalam-dalam ke manik mata Andika. Pandangan yang
merasukkan segenap kilatan jahatnya.
"Pemuda tampan tanah Jawa...," panggil Nofret
kembali. Nada bicaranya terdengar tetap menggoda.
"Nofretmu sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia telah
kukuasai sepenuhnya. Sekarang kau berhadapan
denganku. Hetepheres*'."
Arwah Ratu Mesir dalam jasad "Nofret yang mengaku
bernama Hetepheres itu terkikik kembali.
"Apa maumu dari kami sebenarnya?" tanya Andika
terdengar sinis.
"Sekadar mencari kesenangan," sahut Ratu
Hetepheres, enteng.
"Dengan melakukan pembunuhan keji...?" cibir
Andika.
"Apa lagi? Bukankah banyak manusia begitu
bergairah menyaksikan darah sesama? Apa anehnya jika
aku pun menyenangi itu," kilah Ratu Hetepheres.
"Kesenangan sinting!" maki Andika, muak. "Kau
mempermaikan nyawa banyak orang yang telah kau
undang sendiri. Dan hanya orang sinting yang sudi
melakukannya!"
"Kalau kau menganggap tindakanku sinting, lalu apa
yang akan kau lakukan?" leceh Hetepheres, menantang.
Sudut bibirnya meninggi. Sebelah matanya mengerling.
"Cuma ada satu hal yang terpikir di benakku saat
ini," tegas Pendekar Slebor geram. "Mengembalikanmu ke
neraka!"
"Hi-hi-hi.... Apa kau seperkasa Ra*? Atau seangkuh
Horus*? Atau segagah Ptah*?" ejek Hetepheres
melengking.
Pendekar Slebor membusungkan dada. Biarpun
nyerinya masih menjalar sampai ke lubang hidung
sekalipun, dia tak peduli. Akan dihadapinya cemoohan
arwah wanita itu dengan kesombongannya yang mulai
kumat.
"Seperkasanya manusia. adalah aku! Segagah-
gagahnya manusia adalah aku! Seangkuh-angkuhnya
manusia adalah aku! Kau mau apa?" Pendekar Slebor
menantang balik, walaupun bibirnya meringis, ringis.
"Hi-hi-hi.... Kalau begitu, biar kubuktikan! Hih...!"
Seketika itu juga, Hetepheres yang menumpang di
tubuh Nofret mengacungkan telunjuk ke arah Pendekar
Slebor.
Wesss...!
Seketika serangkum kekuatan yang memanjang
lurus bagai tombak tanpa wujud pun melesat hendak
memangsa tenggorokan Andika. Kekuatan yang berpendar
putih menimbulkan bunyi manakala bergesekan hebat
dengan udara di sekitarnya.
Serangan awal itu bukan sekadar permainan sihir.
Pendekar Slebor bisa merasakan itu. Menurut
perkiraannya, serangan Hetepheres semacam tenaga
dalam langka berkekuatan inti es yang telah diperkuat
sekian kali lipat. Kebekuannya terasa sekali menguasai
segenap ruangan.
Sungguh satu kedigdayaan yang bertolak belakang
dengan keadaan Mesir yang dikuasai gurun. Andika
sempat terheran, bagaimana seorang ratu dari daerah
gurun bisa menguasai kekuatan kutub bumi seperti itu?
Apakah hal itu tidak janggal? Terbetik tanya singkat di hati
anak muda ini.
Andika yakin, ada sesuatu rahasia tersembunyi di
balik ilmu 'Inti Es'. Kalau saja tidak dalam keadaan
bertarung, tentu akan dipikirkannya lebih jauh.
Seandainya terkena, tubuh Pendekar Slebor tak
hanya membeku. Lebih dari itu, tubuh bisa langsung
mengalami pengerasan terparah dalam sekejap. Akibatnya,
seluruh daging, tulang dan serat' tubuhnya yang membeku,
akan menjadi retak-retak. Tak jauh berbeda sepotong arca
terhajar godam raksasa!
Makin kentara saja bahaya maut yang terkandung
dalam serangan itu, ketika Andika sempat melihat dinding-
dinding ruangan dirayapi serpihan putih, mengikuti gerak
laju pukulan inti es Ratu Mesir. Mudah diduga, tentu saja
akibat kelembaban udara yang membeku demikian cepat.
Sadar bahaya besar mengancam, Pendekar Slebor
menghindar dengan tiga kali salto manis di udara.
Selagi tubuh Pendekar Slebor masih berputaran di
udara dengan tubuh menekuk ke depan, serangan susulan
Ratu Mesir merangsak kembali. Lebih cepat, legih ganas,
dan lebih bernafsu. Biarpun raut wajah wanita cantik itu
tak sedikit pun mengalami perubahan. Tetap dingin,
sedingin serangannya.
Wizzz!
Kelincahan Pendekar Slebor dalam menentukan
keselamatannya untuk serangan ini memang sedang diuji.
Dan sungguh mengejutkan, dia merasa kehilangan
kelincahan secara mendadak. Sekujur sendinya seperti
terkunci. Urat-uratnya terasa melemah hingga
menyulitkannya bergerak. Padahal saat itu. saat yang
paling genting baginya.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada Pendekar
Slebor? Apa akal pemuda berotak cemerlang ini untuk
menyelamatkan diri kali ini?
Sementara. pukulan 'Inti Es' Hetepheres berkelebat
cepat menuju, di rongga kepala anak muda itu pun
melintas tak kalah cepat sebersit sinar terbang. Sebuah
akal agar bisa lolos dari kebekuan mematikan!
"Hiaaa...!"
Tak tahu apa maksudnya. Pendekar Slebor berteriak
keras. Amat keras.
Mungkinkah Andika telah putus asa?
Tidak! Sebagai seorang pendekar muda yang kerap
tertantang untuk mengerahkan kecemerlangan otaknya
dalam keadaan genting seperti itu, Andika pun rupanya
sedang melakukan siasat tempur guna mementahkan
serangan sulit lawan.
Teriakan Pendekar Slebor yang diisi tenaga dalam
tak tanggung-tanggung, menyebabkan getaran keras
langsung merebak ke segenap dinding! Salah satu batu
besar penyusun langit-langit mengalami getaran paling
hebat, karena dengan sengaja tenaga dalam pada
teriakannya diarahkan ke sana. Maka....
Grrr.... Grakhhh!
Celah langit-langit yang memang sudah renggang
karena penyusutan bebatuannya akibat hawa beku
Hetepheres, dapat dengan mudah lepas tersentak tenaga
dalam teriakan tadi.
Dan mendadak, satu batu besar langit-langit yang
menjadi sasaran teriakan, segera terlepas amat mudah.
Meluncur jatuh, lalu menjadi sasaran pukulan 'Inti Es' Ratu
Mesir.
Blazzz!
ltulah siasat cantik yang terpercik cepat di otak enter
si pendekar urakan. Tanpa kecerdikan itu, mustahil Andika
menghindari terjangan serangan kedua lawannya! Jleg!
Pendekar Slebor dengan susah payah akhirnya
dapat hinggap di atas bongkahan batu persegi, yang runtuh
tak jauh dari tempat berdiri Ratu Mesir ini.
Batu yang demikian besar telah diselimuti salju
setebal satu jengkal!
Kalau batu saja sudah demikian, apalagi tubuh
manusia?
"Cerdik? Sungguh cerdik!" puji Hetepheres dengan
raut wajah bertolak belakang. Bengis serta dingin.
"Kubilang juga apa...? Aku memang manusia paling
perkasa, paling gagah, paling angkuh. Sekarang, boleh kau
tambahkan kalau aku manusia paling cerdik!" kata
Pendekar Slebor sesumbar. Dan dia berusaha
menyembunyikan keanehan yang menimpa, saat
kelincahannya yang amat tersohor di dunia persilatan
hilang.
"Tapi tak cukup cerdik untuk lolos dari kematian di
tanganku!" dengus Hetepheres, gusar. Dia merasa dewa-
dewanya disepelekan anak muda itu.
“Kenapa tidak? Di dunia ini, kunyuk yang paling
dungu, bangsat yang paling tolol, serta warga kutu koreng
yang paling bodoh pun, bisa lolos dari tanganmu. Hua-ha-
ha!" ejek Pendekar Slebor makin menjadi.
Hetepheres menggeram, sarat ancaman. Murka
sudah dia, terpancing semua kata-kata pedas anak muda
ceriwis ini.
Namun justru itu yang sesungguhnya diharapkan
Andika. Selalu! Dalam pertarungan, kekalapan lawan selalu
menjadi satu keuntungan baginya. Sudah berkali-kali dia
memetik keuntungan dari Sana. Dengan begitu. lawan
cenderung bertarung tanpa perhitungan masak. Cerdik
juga dia?
Tapi, sekali ini Andika kecele. Lawan cantiknya
bukannya kalap membabi-buta. tapi malah kembali terlawa
cekikikan.
"Hi-hi-hi...!"
"Sundal!" rutuk Andika. "Siasatnya hanya jadi bahan
tertawaan. Apa hari ini nasibnya memang sedang apes?
"Coba-coba memancing kemarahanku, pemuda
tampan? Mau membuat aku sebagai bulan-bulanan
kecerdikanmu? Hi-hi-hi... Kau tak tahi, siapa aku? Aku
seorang ratu yang mengerti arti kekuasaan. Bagiku, tak
boleh seorang pun mempengaruhi...," urai Hetepheres
melantun nyaring. Matanya menyipit-nyipit karena dirayapi
kesenangan.
"Kecuali aku!"
Mcndadak terdengar sahutan seseorang di ruangan
itu.
Andika menoleh. Tapi, Hetepheres tidak. Sepertinya
arwah wanita dalam garba Nofret itu tahu, siapa yang telah
hadir di antara mereka.
Andika menyaksikan kehadiran orang yang
menyahuti dengan mata menyipit. Tajam lirikannya,
menyelidiki ke arah lelaki yang berdiri di dekat dinding di
belakang Hetepheres. Andika yakin, di dinding itu tentu ada
jalan rahasia. Dan dari jalan rahasia ilu orang itu keluar.
Hanya Andika tak bisa menduga, siapa
sesungguhnya lelaki itu? Dia mengenakan topeng kepala
serigala, seperti para Pendeta Mesir Kuno yang memimpin
upacara kematian. Pakaiannya seperti dalam lukisan Dewa
Anubis*, yang pernah Andika lihat di salah satu dinding
ruangan piramida.
"Siapa dia?" bisik Pendekar Slebor....
***
4
Tak mudah bagi Andika untuk menduga, siapa
sebenarnya orang bertopeng kepala serigala. Apalagi teka-
teki tentang piramida dan tujuan Ratu Mesir mengundang
mereka masih belum terpecahkan. Juga, mengenai si
Kepala Kacang yang menghilang begitu saja membawa
peta rahasia.
Andika jadi bertanya-tanya dalam hati, apa mungkin
orang bertopeng kepala serigala itu Kepala Kacang?
Namun rasanya tidak mungkin, karena lelaki sesat pemuja
setan itu juga anggota rombonga nundangan. Dalam waktu
yang demikian cepat, tak mungkin bisa begitu dekat
dengan Hetepheres.
Malah kini keakraban Hetepheres dengan orang
bertopeng serigala itu disaksikan Andika sendiri. Tak lama
setelah mendengar suara lelaki bertopeng, wanita itu
lantas berbalik. Didekatinya lelaki itu dengan sehimpun
kemanjaannya. Senyumnya yang menggoda, masih diiringi
lenggokan pinggul padatnya dan tatapan yang menggapai
birahi. Begitu mesra, dirangkulnya lelaki bertopeng itu
tanpa kesungkanan atau kesangsian secuil pun. Jelas-jelas
itu membuat Andika menyangsikan praduganya.
"Siapa kau?!" tanya Andika, menyelidik. Lelaki
bertopeng tak segera menyahut. Dicumbunya dahulu
Hetepheres dalam satu ciuman berapi-api, memaksa
Andika membuang pandangan ke arah lain dengan sikap
muak.
"Apa masih perlu menanyakan siapa aku? Karena
sebentar lagi kau akan segera menemui kematian,
pendekar muda tanah Jawa...," kata lelaki bertopeng
setelah memamerkan pertunjukan mesum.
Suara terserap topeng besar itu membuat Andika
sulit mengenalinya. Terdengar berat dan dalam. Namun
semua patahan kalimatnya masih cukup jelas ditangkap
telinganya.
"Kalau kau tak sudi menyebutkan siapa dirimu,
jangan salahkan aku bila menyebutmu seenaknya. . Kira-
kira, apa cukup bagus kalau kau kupanggil si Congor
Panjang? Atau, lebih manis bila kupanggil Manusia Iler?
Seperti serigala yang kebanjiran liur menemukan bangkai?"
leceh Andika asal bunyi.
"Aku Pangeran Anubis!" kilah lelaki bertopeng yang
mengaku bernama Pangeran Anubis.
"Wuah!"
Andika sengaja melonjak, Bibirnya membulat,
sengaja hcndak mengolok-olok.
"Tak kusangka, hari ini aku beruntung berhadapan
dengan dua orang besar sekaligus. Yang Pertama, seorang
ratu gelandangan. Habisnya, dia tak punya rumah, sampai
harus menempati 'rumah' kawan gadisku yang bernama
Nofret. Kedua, seorang pangeran tampan, Terlalu
tampannya, sampai-sampai merasa harus meminjam
wajah binatang rakus. He-he-he.... Wajahmu diloakkan ke
mana, heh?!" ejek Andika seenak udelnya. Sampai -sampai
dia lupa kalau saat ini berada disarang macan.
"Teruskan berceloteh sepuasnya, pendekar besar
mulut. Gunakan kesempatan untuk berbicara sesukanya,
sebelum maut menjemput nyawamu!" desis Pangeran
Anubis sarat ancaman, disusul berhembusnya asap putih
tebal dari bawah kakinya.
Asap itu seketika menutupi tubuh Pangeran Anubis
serta Hetepheres yang masih menguasai diri Nofret.
Bahkan sampai mengurung mereka pekat-pekat.
Pandangan Andika pun jadi terjegal. Tubuh ke-
duanya dilihatnya lagi. Bahkan sekadar batang hi-dung
sekalipun. Apalagi karena asap itu demikian pe-dih, seperti
hendak mencongkel matanya.
Andika mencoba menahan napas. Dia curiga asap
itu mengandung racun ganas. Namun ketika perlahan-
lahan asap menjadi samar dan menghilang, barulah
disadari kalau itu hanya dimanfaatkan untuk
mengelabuinya.
Begitu pandangan Pendekar Slebor terang kembali
Pangeran Anubis dan Hetepheres telah raib dari
lempatnya!
"Kadal!" maki pendekar muda urakan itu seraya
mengebutkan tangan, menepis sisa asap yang masih
berkeliaran semena-mena di depan wajahnya. "Bisa-
bisanya si Congor Panjang itu menghilang setelah
mengancamku...!"
Ancaman? Saat itu juga Andika menilai-nilai maksud
kata-kata terakhir Pangeran Anubis.
"Katanya aku akan dijemput maut?" bisik Andika
mulai dirambati ketegangan. "Sebodoh-bodohnya orang
sesat, tak akan mungkin meninggalkan ancaman kosong
belaka. Pasti akan terjadi sesuatu di ruangan ini!"
Dalam ruangan besar ini, tubuh Pendekar Slebor tak
bergerak sama sekali. Hanya sepasang bola matanya yang
berkeliaran, mewaspadai keadaan di sekitamya.
Ruangan kini lengang. Terlalu tenang, seperti
tenangnya permukaan air kolam di pusat ruangan.
Semenlara itu Patung Sang Ratu seperti menatap
Pendekar Slebor tajam-tajam dalam ketegangan yang kian
memuncak seperti ini.
Lamat, mata Andika mulai menangkap
ketidakberesan pada permukaan air kolam. Permukaan
yang Semula tenang tanpa riak, kini mulai bergetaran
membentuk gelombang kecil. Gelombang itu kian lama
bertambah besar. Dan pada waktunya, bisa dirasakannya
sendiri adanya getaran hebat dikawal gemuruh luar biasa
yang menyesaki ruangan.
"Modar aku! Apa bangunan raksasa ini akan
runtuh?" maki Andika mulai kelimpungan.
Yang disangka Pendekar Slebor memang tidak
terjardi. Tapi yang tidak diharapkan pun bukan berarti tak
ada.
Grrrrh...!
Brolll...!
Mendadak, terdengar suara bergemuruh riuh dari
empat penjuru. Bahkan empat bagian dinding di penjuru
yang berbeda, jebol seketika. Batu alam besar di dinding
tak bedanya gundukan kapur yang terhajar kekuatan
sepuluh ekor banteng kedaton. Lebur bertebaran menjadi
debu, menghamburkan serpihan yang begitu halus ke
tengah-tengah ruangan tempat Andika berdiri.
Dengan sigap, tangan pemuda itu terangkat untuk
melindungi matanya dari serpihan debu. Namun, justru ini
menjadi satu kesalahan. Begitu matanya mengerjap sedikit
saja, empat terjangan di luar kelaziman menyerbu dari
empat tempat sekaligus. Tepat keluar dari lubang besar
menganga di dinding
Terlebih, saat ini keadaan Andika cukup sulit, karena
seluruh bagian tubuhnya masih terasa kaku. Andai saja
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak sedang
terbelenggu sesuatu, serangan itu pasti dapat dielakkan
dengan mata terpejam. Sayangnya, tubuhnya terasa
semakin sulit digerakkan secara leluasa.
Akibatnya....
Des! Des! Des! Des!
"Aaakhhh...!"
Mulut Pendekar Slebor mengeluh berat tertahan.
Sungguh tak diduga serangan akan datang demikian cepat.
Kala itu juga, empat bagian tubuhnya terasa porak-
poranda. Apa yang baru saja menghajarnya, Andika belum
tahu persis. Bahkan untuk menduga saja begitu sulit,
akibat rasa sesakyang luar biasa.
Empat hajaran tadi amat keras mendarat di tubuh
Pendekar Slebor. Hanya karena datang dari empat arah
yang berbeda, tubuh pemuda itu jadi tertahan di tempat.
Seluruh tenaga Pendekar Slebor langsung terasa
terkuras lemas. Sambil mendekap bagian dadanya,
tubuhnya meluruk lunglai perlahan. dan hanya bisa
bertahan dengan kedua lututnya.
Untunglah dalam keadaan seperti itu serangan
berikut tak segera menerjang. Masih sempat-sempatnya
Andika mensyukurinya. Biapun tak urung, dia mengutuk
panjang-lebar di hati.
Samar-samar, pandangan Andika mulai pulih. Agar
lebih cepat rnenjadi jelas, kepalanya digerak-gerakkan dan
kelopak matanya dikerjap-kerjapkan. Pandangannya kian
jelas. Sekarang dia benar-benar harus mengutuk dari
mulut, begitu melihat apa yang baru saja menyerangnya.
Sekitar tiga tombak di sekeliling Pendekar Slebor,
telah berdiri empat sosok yang tak hanya menggidikkan,
tapi juga menjijikkan. Empat mayat yang sudah membusuk!
Dua di antaranya, Andika mengenal sebagai, Hakim Tanpa
Wajah dan Suami si Manyar Wanita. Sedang dua mayat
hidup lain, sama sekali sulit dikenali. Di samping kulit dan
daging keduanya sudah demikian hancur tercabik,
pakaiannya pun sudah tak berbentuk. Sehiruh kulit wajah
mereka bahkan sudah terkelupas sama sekali.
"Dedemit pengangguran mana yang kurang kerjaan
menghidupkan bangkai-bangkai busuk ini!" serapah Andika
jijik.
Nyaris saja seluruh isi perut Pendekar Slebor
bergolak bendak keluar. Bau bangkai-bangkai itu bukan
hanya menusuk hidung, tapi juga mengobrak-abrik
'jeroan'nya!
Andika mempersiapkan segalanya termasuk
mengerahkan hawa murni agar rasa sakit yang diderita
dapat sedikit dikurangi. Sekaligus, untuk menguasai rasa
mual yang berontak dari dalam.
Otot tangan Pendekar Slebor pun menegang.
Kepalanya bergerak ke depan. Satu kepalan bersiaga di
dada.
Perlahan-lahan pendekar muda urakan itu pun
bangkit dari simpuhnya. Matanya siaga mengawasi
keempat sosok menjijikkan yang masih terpaku tanpa
gerak sampai ke ujung jari sekalipun.
Kesiagaan Pendekar Slebor yang penuh rmenjadi
beralasan, ketika erangan menyayat terdengar dari
tenggorokan keempat mayat hidup itu diiringi terkaman
mereka yang bertenaga sepuluh ekor gajah luka.
"Nggghhhrrr!"
"Andika! Andika! Pak Tua Petualang...!"
"Nona Nofret! Nona Nofret!"
"Heiii di mana kalian?!"
Teriakan sambung-menyambung, timpang-tindih,
dan susul-menyusul, mengisi lorong demi lorong serta
ruang demi ruang yang dilewati para undangan Ratu Mesir.
Entah sudah berapa lama mereka berputar-pular,
menjelajahi segenap ruangan piramida. Namun tiga orang
yang dicari tak kunjung ditemukan.
Sudah sejak lama Kenjiro, pemuda Jepang berbadan
gempal itu menggerutu panjang-pendek. Kakinya sudah tak
kuat menahan tubuh yang kelebihan hehan. Lelah yang
dirasakannya sudah sampai ke ujung pusarnya. Perutnya
jadi mual, matanya berkunang-kunang.
Sementara Pendekar Dungu tak kebagian siksaan
seperti itu. Meski usianya sudah seantik keris pusaka
Empu Gandring, untuk soal tenaga nyatanya tak kalah
dengan yang muda-muda. Cuma, ya itu. Cerewetnya minta
ampun. Satu kali melangkah, ocehannya sudah dua belas
kalimat. Ada-ada saja yang diucapkan. Tanya inilah, itulah.
Masih mending kalau pertanyaannya sedikit waras. Masa'
di piramida seperti ini jamban segala ditanyakan? Kalau
kebetulan di dinding ruangan ada lukisan, tangannya pun
mengangguk-angguk khusuk.
"Ah! Ceritanya kurang seru!" gumam Pendekar
Dungu.
Dasar ctak lelaki bangkotan ini sudah karatan. Apa
dipikir lukisan peradaban Mesir Kuno itu sejenis cerita
bergambar?
Saat ini Chin Liong yang berjalan paling depan
menghentikan langkah tiba-tiba. Dari perubahan wajahnya
terlihat kalau pemuda itu menemukan sesuatu yang
mengejutkan.
Yang dicari lain, yang ditemukan lain. Antara percaya
dan tidak, seluruh anggota rombongan menyaksikan
dengan mata kepala sendiri sesosok mayat lerbujur kaku di
sebuah lubang dinding. Batu besar yang menjadi salah
satu penyusun dinding telah terlepas, membentuk lubang
setinggi setengah manusia. Di dalam lubang itulah mereka
menemukan mayat si Kepala Kacang dalam keadaan
duduk tertelungkup, seperti bayi dalam rahim.
Harus diakui, kematian tokoh pemuja setan itu
benar mengerikan. Tubuhnya membeku, dengan daging
terpecah-pecah mengeras layaknya tanah kering
kerontang.
Dengan masih tersisanya butiran-butiran putih
seperti salju, seorang yang tahu banyak tentang ilmu
kesaktian angkat bicara setelah lama mereka terpaku.
"Pukulan 'Inti Es'," kata Chin Liong, berpendapat.
"Aku heran, bagaimana ilmu yang demikian langka bisa
membunuh lelaki itu di tempat tandus seperti ini. Ini
sejenis ilmu yang dikembangkan di daerah yang sangat
jauh dari tempat ini...."
Salah seorang lain, lebih tertarik pada papirus yang
masih tergenggam erat di tangan Kepala Kacang.
"Hei? Bukankah itu peta yang dimaksud Andika San,"
seru Kenjiro, si lelaki berbadan subur sepupu Hiroto.
"Ya, benar," tukas Hiroto.
Chin Liong yang berada paling dekat dengan mayat
segera menjemput papirus tersebut. Dibukanya gulungan
papirus, untuk meyakinkan benda itu memang benar peta
yang dimaksud.
Sesaat meneliti, Chin Liong pun tampak
mengangguk pasti.
"Benar. Ini memang peta itu," kata pemuda dari Cina
ini rriernberitahukan yang lain.
"Apakah kau tak merasa ada satu keganjilan, Chin
Liong San?" tanya Hiroto. "Lelaki ini dibunuh seseorang di
dalam piramida. Tapi, kenapa si pembunuh tidak
mengambil peta yang sebenarnya begitu berharga?"
"Kau benar, Hiroto San," timpal Chin Liong. "Ini
benar-benar ganjil. Seolah-olah, ada satu rencana
tersembunyi untuk menjebak kita semua. Tapi, aku sendiri
belum bisa menduga, apa jebakan itu...." Kedua ksatria
muda itu saling tatap. "Sebaiknya, kita lanjutkan dulu
pencarian kita," landas Chin Liong, memutuskan.
Pencarian masih dilanjutkan. Dengan atau tanpa
gerutuan-gerutuan Kenjiro. Begitu tekad mereka. Tapi
sampai sejauh itu, tak sedikit pun tanda-tanda bakal
menemukan ketiga orang yang dicari.
Sampai akhirnya, mereka dihadang lorong buntu.
Biarpun hampir semua mencoba menemukan tombol-
tombol rahasia yang mungkin tersembunyi, tetap tak
menemukan jalan lain.
"Buntu. Lorong ini benar-benar buntu!" rutuk Chin
Liong, mulai gusar.
Karena kegusarannya, Chin Liong meninju dinding di
sisi kiri. Bukh!
Dan tiba-tiba saja, tepat di tempat Chin Liong
mendaratkan tinju kesalnya, dinding luar biasa tebalnya itu
pecah berhamburan. Ada tenaga hebat telah menabraknya
dari arah dalam. Akibat tenaga dcrongan, bahkan mampu
melempar deras tubuh Chin Liong ke belakang.
Semuanya terkejut. Sementara Pendekar Dungu
malah sudah mencak-mencak serabutan.
Chin Liong tak mengalami luka parah, biarpun
terlempar cukup jauh. Pemuda Cina itu segera bangkit
dengan terheran-heran. Tak mungkin dinding itu haincur
karena pukulannya yang tak bertenaga tadi.
Dan mereka lebih terkejut lagi, manakala
menyaksikan sesuatu yang baru saja menjebol dinding.
***
5
Kalau jerat maut selalu mengintai, kalau bau
kematian kerap datang tak terduga, kalau tangan-tangan
pencabut nyawa mengendap-endap membawa ancaman.
siapa yang akan menduga kalau tubuh Pendekar Slebor
yang menjebol dinding batu itu?
Semua para undangan mengira, jebolnya dinding
scbagai bentuk ancaman lain dari Piramida Tonggak Osiris.
"Andika!" teriak Ying Lien khawatir teramat sangat,
mendapati pemuda pujaan hatinya terbanting keras-keras
di Iantai lorong dalam keadaan mengenaskan.
Warna merah telah menyapu pakaian bagian dada
pemuda itu. Pakaiannya tak karuan lagi. Koyak-moyak di
sana-sini.
Dengan kecemasannya. Ying Lien menghambur
kearah Andika yang telentang lunglai. Tampak tubuh
Pendekar Slebor menggeliat samar menahan kesakitan.
Andika mengeluh berat di dekapan tangan halus
Ying Lien.
"Apa yang terjadi, Andika?" susul Ying Lien. Mata
gadis ilu hampir saja tak kuasa membendung kesedihan
tak terkirakan. Kesedihan yang mengoyak deras dari hati
yang tertambat pada Andika.
"Pakai tanya lagi?" gerutu anak muda urakan itu
meringis-ringis. "Kan kau sudah lihat aku sedang hancur-
hancuran...."
"Aku tahu. Tapi, kenapa?" "He-he-he... hekh!"
Andika berusaha tertawa. Tapi rasa sakit di dadanya
segera memenggal. "Kau tak akan percaya...." Anak muda
itu berusaha bangkit tertatih-tatih. "Nasibku sedang apes
hari ini. Sampai-sampai, bangkai-bangkai pun
memusuhiku...," sambung Andika setengah ngawur.
"Aku lak mengerti maksudmu.'" tukas Ying Lien.
"Sebentar lagi kau pasti mengerti," ucap Andika
seraya mcmusatkan perhatian pada lubang besar di
dinding yang baru saja jebol. Bibir anak muda itu komat-
kamit, menghitung.
"Satu..., dua..., tiga...." bisik Andika. Brolll...!
Pada hitungan ketiga, lubang di dinding jebol
bertambah besar. Untuk kedua kalinya, semua anggota
rombongan terkejut.
Lalu dari lubang bermunculan satu persatu sosok
yang sebelumnya menggempur Pendekar Slebor. Empat
mayat hidup bau busuk! Mereka melangkah terseret,
mendekati rombongan. Gerakan semua makhluk itu begitu
kaku. Selagi melangkah, sendi lutut mereka seperti sudah
tak bisa menekuk lagi Semuanya bergerak tegak, bagai
empat arca bernyawa.
"Mundur! Semuanya mundur!" bentak Andika.
Rahangnya mengeras. Gigi geriginya bergemeletukan.
"Bangkai-bangkai slompret itu harus membayar
perbuatannya terhadapku! Dendam kesumat! Aku
dendam!"
"Buju buneng! Seenaknya kau meremehkan orang
tua, yaaah," sela Pendekar Dungu sewot. "Memangnya
hanya kau saja yang mampu menjitaki mereka!"
Pendekar Dungu menunjuk-nunjuk seru pada
keempat mayat hidup yang terus melangkah ke dekatnya.
Kebetulan sekali, orang tua bebal ini paling dekat.
Sementara tangannya menuding-nuding sembarangan,
kepalanya sendiri menoleh pada Andika di belakang. Dan
karena kelewat keasyikan, tanpa disadari jarinya sudah
mencolok telak-telak hidung membusuk salah satu mayat.
"E e, mak! Ih! Amit-amit..., amit-amit!" sentak
Pendekar Dungu.
Seketika lelaki cebol ini menarik tangannya dalam-
dalam. Bahunya bergetar seperti orang yang baru selesai
membuang hajat kecfl. Dengan terjing-kat-jingkat, jari
telunjuknya tadi disentak-sentaknya.
"Lembek..., lembek!" teriak Pendekar Dungu selagi
menjauhi para mayat.
Andika maju.
"Sudah kubilang, mereka bagianku!" rutuk Andika,
masih dibakar kedongkolan.
'Tapi, aku bukannya takut, Iho," bisik Pendekar
Dungu di telinga Andika. Gayanya sok khusuk. "Aku cuma
geli...."
Bahu Andika mengedik-ngedik. Kalau soal geli,
Andika juga merasa geli melihat bibir si bangkotan yang
selusuh gombal menggelitiki daun telinga!
"Nah..., tuh-tuh! Mereka mendekatimu!" seru
Pendekar Dungu blingsatan.
"Izinkan aku membereskan mereka, Andika San!"
sergah Hiroto di belakang Andika sambil membungkuk
hormat. Andika menoleh.
"Mereka masih punya hutang satu bogem sial
padaku. Tapi kalau kau memang berniat menagihnya
buatku, kupersilakan," ujar Andika. Sikap hormat ksatria
negeri Sakura itu membuatnya tak enak untuk menolak.
Hiroto membungkuk dalam-dalam, scbagai tanda
terima kasih.
Zrang!
Lelaki dari Nipon ini pun meloloskan samurai
panjangnya. Bisa jadi, Hiroto tak mau bertele-tele
menghadapi keempat mayat menjijikkan yang hanya akan
menunda-nunda waktu yang lebih penting dan darurat.
Bukankah mereka masih harus mencari Nofret dan si Gila
Petualang?
Dengan genggaman dua tangan kuat-kuat pada
gagang pedang, Hiroto mengangkat senjatanya tinggi-
tinggi. "Haiii!"
Diawali teriakan berapi-api, pemuda ini menerjang
satu mayat hidup yang melangkah paling depan.
Craz!
Sekali tebas, kepala si mayat hidup langsung
terpental dari leher, jatuh menggelinding di lantai dan
tergolek di salah satu sudut. Tak ada sepercik darahpun
membasahi.
Kepala mayat itu memang tak bergerak lagi. Namun
tubuh tanpa kepala di depan Hiroto, nyatanya masih bisa
bertindak di luar perkiraannya.
Wukh!
Satu sambaran tangan mayat itu menebas udara
lurus lurus. S.isarannya kepala Hiroto. Namun kecekatan
pemuda Nipon ini menyelamatkan dirinya dari sambaran
cepat. Tubuhnya merunduk sedikit. Begitu tangan mayat itu
lewat di atas kepala, samurai Hiroto kembali berkelebat.
Traz!
Bruk!
Lantai lorong untuk kedua kalinya dijatuhi potongan
tubuh membusuk. Kalau manusia biasa, tentunya korban
tebasan samurai Hiroto akan segera ambruk. Karena yang
dihadapinya kali ini bukan lagi manusia, maka tebasan
kedua pun tak berarti Hiroto berhasil menghabisinya.
Wukh!
Lagi-Iagi serangkum angin amat keras mendesir,
ketika sebelah tangan si mayat hidup mencoba me-
ngepruk batok kepala Hiroto. Dua kali usahanya untuk
menjatuhkan mayat hidup telah gagal. Dan kini mendapat
serangan dahsyat. Ini membuat kegeraman Hiroto
melonjak.
Setelah berhasil berkelit lincah dengan melompat ke
belakang, wajah sedingin es Hiroto menegang.Matanya
menyipit. Dahi dan pangkal hidungnya berkerut.
"Haaaiii...!"
Bersamaan satu teriakan kedua, Hiroto menge-
rahkan segenap tenaga tebasannya pada samurai.
Gerakan senjatanya memancung lurus-lurus dari atas ke
bawah.
Srat!
Rupanya Hiroto benar-benar sedang geram! Te-
basannya telah membuat tubuh mayat itu terbelah menjadi
dua bagian memanjang! Kalau kaki dan tubuhnya sudah
terpisah seperti itu, tak mungkin lagi bagi si mayat hidup
untuk bisa berdiri.
Tamatnya satu mayat, menjadi awal bagi Hiroto
untuk meladeni mayat hidup lain. Kedua kaki pemuda
Jepang ini berjalan bersilangan teratur. Sementara,
matanya menghunus ke arah satu mayat lain yang makin
dekat padanya. Sedangkan samurainya terbentang ke
depan.
"Heaaaat." Srat! Srat! Srat!
Entah berapa kali tebasan diiakukan Hiroto.
Kecepatan kelebatan samurainya yang luar biasa
mempersulit siapa pun untuk menghitung Yang jelas begitu
selesai, badan mayat tadi sudan terpotong-potong
menjadi beberapa bagian sebesar kepalan tangan.
Lalu dua mayat lain mendapat bagian yang sama.
Satu persatu. Sampai akhirnya, lorong menjadi senyap
kembali. Sedangkan di lantai, sudah berserakan potong-
potongan tubuh mayat. Sebagian masih saja bandel
bergemik-gemik. Plok! Plok! Plok!
"Hasil kerja yang bagus!"puji Manyar Wanita genit.
Rupanya wanita itu sudah tak ingat lagi pada
suaminya. Padahal di antara mayat-mayat yang baru saja
terpotong-potong adalah suaminya.
"Setuju!" teriak Pendekar Dungu. "Kalau gerak-anmu
secepat itu, ada baiknya kau yang menyunatku. Biar cepat
beres. Dan, aku tak tcrsiksa terlalu lama...."
Hiroto mengernyitkan kening. Mana mengerti
pemuda Jepang ini dengan maksud Pendekar Dungu
tentang sunat-menyunat. Kalaupun mengerti, bagaimana
bisa percaya kalau orang sebangkotan itu belum juga di....
Waktu bergeser terus. Penggalan demi penggalan
waktu membawa para undangan Ratu Mesir pada tepat
tengah malam. Lambat namun pasti. Dan ketika tengah
malah benar-benar telah tiba, apa yang sesungguhnya
bakal terjadi?
Masih terngiang jelas di benak semua anggota
rombongan yang tersisa pada papirus berisi pesan penuh
teka-teki dari Ratu Hetepheres yang dibacakan Nofret
ketika itu.
Intinya, mereka akan dihadapkan pada suatu
peristiwa puncak yang menjadi 'hidangan' dari si penguasa
Piramida Tonggak Osiris. Hidangan yang tak sekadar untuk
pemuas. Lebih dari itu, hidangan yang bakal mereka terima
bisa jadi hidangan maut!
Sementara itu, menjelang purnama menempati
singgasananya di puncak langit bebas, dua sosok terlihat di
sebuah kuil kuno besar yang jauh dari Piramida Tonggak
Osiris.
Dari bentuk tubuh masing-masing, jelas kalau
mereka adalah dua manusia berbeda jenis. Satu pria,
sedang yang lain wanita. Si wanita adalah Ratu
Hetepheres. Sementara si lelaki tak lain Pangeran Anubis,
tokoh yang masih rnenjadi teka-teki bagi Pendekar Slebor
yang sempat bertemu dengannya.
Kuil itu berada tak jauh dari bibir Sungai Nil, di
kebisuan gurun luas. Sebuah kuil yang usianya setua
Piramida Tonggak Osiris.
Bangunan kuil ini cukup tinggi. Tiang-tiang batu
besar menjadi rangka bangunan. Siapa pun akan berdetak
heran, bagaimana cara orang-orang Mesir Kuno itu
menyusun batu-batu tiang raksasa? Tak mungkin mereka
mengangkat batu yang lebih besar dari rangkulan enam-
tujuh orang itu begitu saja.
Menurut cerita sejarah, batuan raksasa penyusun
tiang-tiang kuil itu disusun dengan bantuan timbunan pasir.
Setiap satu bagian berdiri, segera ditimbun pasir gurun di
sekelilingnya. Dengan begitu, para pekerja dapat menyeret
batu raksasa lain sebagai bagian selanjutnya.
Tepat di kaki salah satu tiang besar di muka kuil,
Nofret yang dikuasai Hetepheres dan Pangeran Anubis
berdiri diam mematung. Terpaan angin gurun mengusik
pikiran masing-masing, tanpa bisa mengusik kebekuan
mereka. Rambut panjang wanita ilu sesekali menutupi
wajah jelitanya. Itu pun tetap tak membuatnya terganggu.
Sepasang bola mata dua manusia berbeda jenis itu
menohok dingin pada purnama berkabang di dinding
langit. Berkedip pun seperti sudah tidak perlu lagi, karena
begitu tajamnya mereka menatap.
Di bawahnya, Sungai Nil memamerkan riaknya.
Cahaya lamat purnama jatuh. lalu berpantul dalam
pecahan-pecahan kecil pada permukaannya. Namun
begitu, suasana tak menjadi syahdu. Bahkan terbangun
kesan menyeramkan, sulit digambarkan.
Purnama sebentar lagi berada di puncak
singgasananya. Tepat tegak lurus di angkasa.
Begitu Sang Ratu Malam itu tiba, tangan Pangeran
Anubis tiba-tiba terungkit tinggi. Telapak tangannya
membuka lebar ke arah benda raksasa angkasa tersebut.
Saat berikutnya, mencelat sebentuk mantera-mantera
mendirikan bulu roma dari mulut lelaki bertopeng kepala
serigala itu.
"Wahai para serdadu dari masa yang demikian tua!
Wahai para serdadu Ratu Penguasa Gurun serta Raja-raja
Mesir nan perkasa! Wahai kalian yang terbujur lama di
dasar permukaan Sungai Nil. Bangkitlah! Bangkitlah
memenuhi panggilanku!
Sebentar Pangeran Anubis menghentikan
manteranya. Sehimpun kekuatan batinnya seketika
mengalir di setiap manteranya, membuat suasana kian
menegang.
"Bersama kalian aku akan menegakkan kembali
kejayaan penguasa kalian yang kini berada dalam
genggamanku! Ooo, Hapi* bebaskan mereka untukku!
Serahkan padaku agar mereka mengabdi untukku!"
Begitlu suasana telah terkunci kelengangan.
mendadak bertiup deru angin kencang yang tak teratur dari
segenap penjuru mata angin. Riuh seketika menguasai
wilayah itu. Pasir diterbangkan liar memberangus
kehampaan. Awan gelap pun meringkus cahaya purnama
yang kian memucat.
Permukaan Sungai Nil yang semula beriak kecil, kini
mulai membentuk beberapa pusaran di beberapa tempat.
Pusaran air itu lama-kelamaan membesar dan membesar.
Sampai akhirnya, gelombang saling bertumbukan tak
terkendali.
Suasana makin dilantak keriuhan! Kala selanjutnya,
bermunculanlah kepala-kepala manusia dari gelombang
pusaran permukaan sungai. Jumlahnya bahkan mungkin
ratusan. Muncul segerombolan demi segerombolan dari
beberapa tempat berbeda.
Ketika awan gelap enyah dari wajah purnama,
cahaya pun jatuh bebas kembali ke permukaan Sungai Nil.
Maka, terlihatlah wajah-wajah yang muncul itu dengan
lebih jelas. Wajah-wajah yang sudah sulit dikatakan
sebagai wajah manusia, dan sebagian masih terbalut kain
balseman. Juga, terbalut tumbuhan liar sungai!
Seperti gerombolan binatang melata dari dasar
bumi, mereka semua mulai bergerak ke tepian sungai.
Arahnya, menuju tempat berdiri Pangeran Anubis dan
Nofret.
Begitu daratan mulai dijejaki, mereka segera
melangkah amat kaku menghampiri orang yang baru saja
mengundang. Di tangan masing-masing mayat hidup yang
telah tergolek sekian ratus tahun di dasar sungai ilu,
tergenggam berbagai jenis senjata khas pasukan Kerajaan
Mesir Kuno. Dari lembing berkarat yang mirip arit panjang,
belati-belati besar, pedang yang tengahnya meramping,
sampai kapak-kapak serta gada yang semuanya berbentuk
khas.
"Terus.... Berjalanlah kalian dengan kepatuhan yang
mcmbatu dalam kematian. Bersiaplah mengab-di pada
Tuan baru yang akan menitah kalian untuk membantai
para korban. Hisap tempurung mereka! Kunyah jantung
mereka!"
Seperti tak peduli pada Ratu Hetepheres dan
Pangeran Anubis, mayat-mayat dari dasar Sungai Nil itu
melangkah terseret menuju Piramida Tonggak Osiris.
"Ha-ha-ha.... Hi-hi-hi...!" Lalu melengkinglah tawa
meninggi, meningkahi riuh suasana yang mulai mclamal.
***
6
"Aku heran, kenapa kau seperti baru saja
dipecundangi oleh empat mayat itu, Andika?" tanya Chin
Liong ingin tahu.
Sungguh sulit bagi pemuda Cina itu untuk
mempercayai kalau Andika sampai terlempar dan menjebol
dinding dalam keadaan babak-belur, hanya menghadapi
empat mayat itu. Sebab jika dibanding-bandingkan,
kedigdayaan Andika sesuugguhnya berada di atas Hiroto.
"Sial kau! Bukannya menolongku malah meledek!"
semprot Andika. Masih saja Pendekar Slebor dongkol
dengan semua keapesan yang memamah dirinya mentah-
mentah.
Chin Liong tertawa kecil. Ditinjunya bahu Andika.
"Aku bukannya hendak meledekmu, kepala batu!
Aku hanya heran. Apa kau tak merasa heran terhadap
keadaanmu waktu itu?" kata Chin Liong lagi.
"Kalau dipikir-pikir, aku memang jadi tak habis pilar.
Kenapa aku seperti kehilangan kelincahan saat itu.
Dengan mudah bangkai-bangkai busuk itu menjadikan aku
bulan-bulanan! Slompret betulan!" rutuk Andika.
"Kau bersedia ceritakan apa saja yang telah kau
alami?" lanjut Chin Liong lagi.
Sementara itu, Ying Lien merawat luka-luka Andika di
sisinya.
"Biang kerok sekali kau, ah! Kenapa tak kau biarkan
dulu perawatan Putrimu ini kunikmati?!" bentak Andika
sewot.
Ying Lien hanya bisa tersipu. Dia maklum sekali
terhadap sifat urakan pemuda yang telah lama dikenalnya
(Baca episode: "Pengejaran Ke Cina").
Chin Liong jadi agak mangkel mendapati sikap
Andika seperti itu. Iseng-iseng, diusilinya Pendekar Slebor.
Bagian dada pemuda tanah jawa yang memar terhantam
pukulan mayat hidup, dijentiknya dengan sedikit
penyaluran tenaga dalam. Tik!
"Adaaaou! Slompret! Apa-apaan kau ini?!" maki
Andika dengan wajah benar-benar matang, menahan sakit.
"Itu sekadar untuk memastikan, jenis pukulan apa
yang telah menimpamu," kilab Chin Liong puas.
"Asal kau tahu, Ying Lien amat hebat dalam ilmu
pengobatan negeri kami yangjempolan! Aku sekadar
membantu saja untuk mencari tahu jenis pukulan yang...."
"Ah, diam kau!" penggal Andika melotot.
"Tadi kau katakan, kalau tubuhmu seperti ke-
hilangan kelincahan, bukan?" sela Ying Lien, begitu selesai
memberorehi luka memar Andika dengan ramuan Cina
yang dibawa.
Sedangkan untuk luka dalam, Andika menolak
mentah-mentah pertolongan siapa pun untuk menyalurkan
hawa murni ke tubuhnya. Dia masih mampu! Begitu
katanya dengan sikap keras kepala. Sebelumnya dia malah
bersikeras untuk ditinggal saja. Biar yang lain terus
melanjutkan pencarian ruang rahasia penyimpanan pusaka
ahli sihir.
"Eh! Kau dengar juga perbincangan sialku dengan
panglima perangmu yang juga sial ini, ya?" tukas Andika
acuh. "Aku kira, kau terlalu asyik memijat-mijat dadaku"
"Mau cepat-cepat membereskan masalah ini, atau
tidak?" tanya Ying Lien ketus. "Makin lama kita di piramida
ini, segalanya makin menjadi runyam saja!"
Andika memberengut.
"Iya-iya! Aku tahu itu!" gerutu Pendekar Slebor.
"Nah! Kalau begitu, jawab pertanyaanku...."
"Aku memang merasa seperti kehilangan kelincahan
waktu itu...," mulai Pendekar Slebor sungguh-sungguh.
"Maksudmu, kau merasa seluruh tubuhmu menjadi
demikian kaku?"
"Lho? Kau tahu?"
Ying Lien terdiam. Matanya menerawang kearah lain.
"Aneh...," gumam gadis ini.
"Aneh apa? Bagaimana anehnya?" desak Andika.
Dari berbaringnya, dia bangkit. Duduk berselonjor
menghadap Ying Lien.
"Aku hanya teringat pada satu ramuan dari negeri
asalku yang mampu membuat otot-otot dan sendi menjadi
amat kaku. Sebenarnya, ramuan itu dibuat para Biksu Cina
untuk pengobatan. Namun beberapa orang sesat justru
menambahkan beberapa bahan, sehingga malah menjadi
racun yang tak mematikan. Namun, bisa membuat
seseorang tokoh hebat rnenjadi tak berdaya...," papar Ying
Lien. "Apa mungkin ramuan seperti itu sudah ditemukan
pula oleh para ahli sihir Mesir?"
"Atau...," sela Andika, dengan mata menatap Ying
Lien seperti mencurigai sesuatu. "Ramuan yang kuterima
memang berasal dari negerimu!"
"Kau mau menjelaskan apa maksudmu, Andika
san?," sela Hiroto ikut angkat bicara. Dia menjadi tertarik
pada pembicaraan mereka.
Lalu Andika pun menceritakan dengan singkat
semua kejadian yang telah menimpa. Dari kepulan asap
tebal yang membuat kesadarannya hilang sampai
bentroknya dengan Nofret yang dikuasai roh Hetepheres.
"Tunggu..., tunggu," tukas Chin Liong. "Kau tadi hei
kata telah lerkena asap tebal yang membuat kesadranmu
hilang, bukan?"
"Betul"
Chin Liong menjentikkan jari. Matanya melirik Ying
Lien penuh arti.
"Hei-hei! Kenapa kalian jadi main mata seperti itu.
Jelaskan saja padaku, apa maksudmu?!" ujar Andika mulai
kambuh lagi dia.
"Bukankah Ying Lien telah mengatakan padamu
perihal ramuan pelumpuh itu?" Chin Liong malah balik
bertanya.
Andika mengangguk, membenarkan.
"Tampaknya, dugaanmu memang benar, Andika."
lanjut Chin Liong. "Asal kau tahu, ramuan dari negeri kami
itu sebenarnya dapat terbagi dalam dua bagian terpisah.
Satu ramuan diberikan melalui perantara asap yang masuk
ke paru-paru, lalu menyebar ke seluruh tubuh melalui
darah korbannya. Sedangkan sebagian lain harus diberikan
melalui minuman. Jika keduanya bersatu dalam tubuh si
korban, barulah keampuhan ramuan itu bekerja..."
"Tapi, Andika hanya menghisap asap itu saja...,"
sergah Ying Lien, mulai ragu.
"Tidak!" sergah Andika pula. Wajah Pendekar Slebor
berubah kaku. Sepertinya baru saja disadari sebuah
kesalahan amat besar yang telah mereka semua lakukan.
"Aku memang meminum sesuatu, saat asap itu
terhisap!"
Andika bergegas mengeluarkan kantung minuman
dari kulit yang telah diberikan si Gila Petualang padanya.
"Ini..., aku meminum air dari dalam tabung kulit ini!"
Andika menepuk bahu Chin Liong. "Biar aku
menebak sesuatu. Chin Liong. Apakah bila ramuan dalam
bentuk cairan diminum, orang itu akan merasakan panas
luar biasa?" Chin Liong menautkan alis.
"Bagaimana kau bisa tahu?" susul Chin Liong, malah
bertanya lagi.
"Dan jika ramuan cair itu diteguk untuk kedua
kalinya, maka pengaruh amat membakar itu akan
memunah?" papar Andika lagi, pasti.
Sekali lagi Chin Liong agak terperangah.
"Sekarang, rasanya aku sudah tahu, siapa 'biang
borok' semua ini!" tuntas Andika geram...
***
Sementara ilu segerombolan makhluk mengerikan
sekaligus menjijikkan mulai menerjang-nerjang pasir gurun
lewat seretan kakinya. Mereka terus melangkah seperti
rayapan sepasukan prajurit dari neraka, menuju Piramida
Tonggak Osiris.
Merekalah tentara perang andalan sebuah trah*
Kerajaan Mesir Kuno yang telah mati selama berabad-abad
yang lalu. Ketika Sang Raja mati, para prajurit setia itu pun
merelakan nyawa untuk mengiringi Sang Raja ke hadapan
Osiris dengan melakukan bunuh diri bersama. Karena
diyakini. Sang Raja yang diagungkan akan memerlukan
mereka sebagai para punggawa di kehidupan yang lain.
Lalu usai pembalsaman jenasah Sang Raja, jenasah
para prajurit itu pun dibalsem. Dan karena raja mereka
amat memuja Dewa Hapi, Dewa Sungai Nil maka mayat
mereka dibalsem dan ditenggelamkan ke dalam sungai itu
pula.
Kini, mereka dibangkitkan kembali oleh kekuatan
hitam Pangeran Anubis.
Sementara itu, Pangeran Anubis sendiri sudah tidak
terlihat lagi di antara mereka. Demikian juga Hetepheres.
Angin gurun yang saat itu bertiup garang, tak bisa
menahan satu mayat hidup pun. Kain pembungkus tubuh
mereka yang sudah terkoyak tak karuan, menjadi
permainan empuk angin yang bertiup. Debu berbaur pasir
pun mengembang di udara, sepanjang perjalanan akibat
seretan langkah berat seluruh makhluk menggiriskan itu.
Sekian lama mengarungi gurun dingin, Piramida
Tonggak Osiris pun akhirnya terlihat di kejauhan. Pucuknya
seperti hendak menusuk bulan. Penuh kesan angkuh,
dingin, dan memendam teka-teki.
"Nggg...!"
"Srrr...srrr...!"
Gumaman berlendir yang tumpang-tindih para mayat
hidup ditingkahi desis pasir terseret kaki. Rombongan
ganjil itu kian dekat ke tujuan.
Kini mereka pun tiba tepat di depan tangga raksasa
yang memanjang. Satu ujungnya bersambungan dengan
pintu masuk besar, yang sebelumnya tidak pernah
dimasuki rombongan undangan. Memang saat itu,
rombongan undangan masuk melalui satu pintu rahasia.
Semua mayat hidup berdiri dalam barisan tak
teratur. Sebagian besar berdiri tanpa bisa tegak. Meski
telah menjalani pembalsaman, masa yang sudah sangat
tua rupanya telah membuat tubuh mereka rusak juga.
Cukup lama para mayat balseman terdiam seperti
itu. Mereka baru mulai bergerak kembali. ketika pintu
besar di atas sana perlahan terkuak menimbulkan bunyi
bergemuruh dalam.
Kalau tadi gumaman berlendir mereka didampingi
desis pasir, kini berganti diiringi langkah-langkah berat
meniti anak tangga batu raksasa memanjang. Juga, ramai
ditingkahi denting senjata sebagian pasukan aneh, ketika
terseret di setiap anak tangga.
Suasana menegangkan lengkap sudah.
Dan ketika pintu besar mulai terkatup perlahan,
sepasukan mayat hidup itu pun tertelan di kegelapan
piramida.
"Ha-ha-ha...!"
Seiring dengan itu, terdengar tawa terbahak
seseorang yang membahana merangsak suasana. Tawa
kepuasan yang meluncur entah dari arah mana.
"Hua-ha-ha...! Sempurna sudah semuanya! Se-
karang aku benar-benar menikmati hidupku! Aku puas!
Puasss! Ha-ha-ha...!" Kini gurun bisu. Hanya angin yang
masih mendesah-desah resah.
***
"Keluar! Kita harus keluar dari tempat keparat ini!"
seru Andika tiba-tiba.
Baru saja para undangan ini selesai membicarakan
kejadian yang menimpa diri pendekar muda itu.
"Keluar? Apa maksudmu?" tanya Ying Lien, tak
paham.
"Ini semua hanya perangkap maut untuk kita! Kalau
kita terus di sini, itu artinya hanya mempertaruhkan nyawa
untuk hal yang sia-sia!"seru Andika lagi, meledak-ledak.
Yang lain untuk sesaat saling pandang. Bagi
beberapa orang yang sudah mengenal baik pendekar satu
itu, keputusan yang meledak mendadak barusan itu tidak
bisa dianggap main-main. Terutama Chin Liong dan Ying
Lien. Mereka amat tahu, bagaimana tajamnya pengamatan
Andika terhadap satu perkara pelik sekalipun. Teka-teki
yang mungkin luput ditangkap orang lain, seringkali bisa
dipecahkan secara mengejutkan.
Tapi, kedua orang itu merasa kali ini Andika luput
akan satu hal.
"Bagaimana dengan Nona Nofret, Andika?" tanya
Ying Lien, mengingatkan pemuda itu.
"Astaga...! Kenapa aku jadi seceroboh ini," desis
Andika mengutuk diri sendiri
Pendekar Slebor meninju telapak tangannya sendiri
dengan geram. Sekarang dia dihadapkan pada dua
keputusan yang sama-sama sulit. Pertama, mereka harus
segera pergi dari sana, jika tak ingin ada korban tcrgeletak
lagi. Jika mereka pergi, maka Nofret harus ditinggalkan. Di
lain sisi, jika memutuskan untuk mencari Nofret, apakah
mereka bisa menyelamatkan diri dari sekian jebakan maut
yang mungkin belum ditemukan?
"Jadi bagaimana, Andika San?" tanya Hiroto,
meminta keputusan Andika. Ksatria Jepang itu memang
sangat menaruh rasa hormat pada Pendekar Slebor.
Andika menggeleng lamat. "Aku tak bisa
memutuskan persoalan ini sendiri. Scmuanya tergantung
kalian. Jika lebih banyak yang memutuskan untuk mencari
Nofret atau sebaliknya, maka itulah keputusanku juga...,"
jawab Andika, mencoba bijak.
Sesaat, seluruh anggota rombongan saling
berpandangan kembali. Masing-masing seperti meminta
keputusan pada yang lain. Kecuali, si tua bangkotan
Pendekar Dungu. Menurut perkiraannya, semua orang
sedang main pelotot-pelotoran. Makanya, dia pun menebar
pelototannya kian kemari.
Sampai akhirnya mereka semua kembali menatap
Andika.
"Hei, jangan menatapku seperti itu!" sergah Andika.
"Aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Dan,
bukankah sudah kukatakan?"
Andika menarik-narik kain pusaka bercorak-caturnya
tanpa maksud.
"Kalau aku, sih.... Jelas hendak mencari Nofret," kata
Pendekar Slebor malu-malu. Chin Liong tersenyum samar.
"Rasanya, kita semua pun berpikir begitu, Andika," ujar
pemuda Cina kawan dekat Pendekar Slebor ini, mewakili
semua suara.
" Apa benar begitu?" tanya Andika. ingin meyakinkan.
Jawabannya adalah anggukan setiap anggota
rombongan.
"Kalau begitu, ma....
" Grrr...!
"Hei! Awas!" teriak Manyar Wanita, memperingati
Andika ketika lantai tempai dipijak tiba-tiba saja terkuak.
Kalimat Andika sendiri sudah terpancung sejak tadi.
Namun dia jadi terkesiap luar biasa. Untunglah pengaruh
ramuan yang mcmbuat kelincahannya lumpuh telah
dipunahkan keahlian obat-obatan Ying Lien.
Sigap dan begitu tangkas, Aidika melepas kain
pusaka yang kebetulan sedang digenggamnya. Begitu
lepas dari bahu, dilecutkannya kain pusaka itu ke arah
Chin Liong.
Chin Liong pun tahu, Andika tak bermaksud
menyerangnya. Satu-satunya maksud adalah meminta
bantuannya. Maka dengan cepat disambut lecutan kain
pusaka Pendekar Slebor.
tap!
Ujung kain itu berhasil dicengkeram Chin Liong.
Dengan begitu, Andika pun selamat dari telanan lubang.
Sebelum dia sendiri menghentak tubuh untuk kembali ke
atas, sesuatu amat cepat mencengkeram pergelangan
kakinya. Cengkeraman, yang kukuh seakan hendak
meremukkan…..
***
7
"Sinting! Apa-apaan ini! maki Pendekar Slebor kalap.
Rasanya, Andika tak suka menumpuk dosa. Tapi,
kenapa selalu dia yang apes!
"Ada apa lagi, Andika?" tanya Ying Lien Matanya yang
buta membuatnya sulit menduga apa yang sesungguhnya
terjadi dalam lubang. Kecuali. suara-suara aneh yang
terdengar.
"Ada mayat-mayat hidup lagi!" teriak Andika me-
lengking.
Di bawah lubang yang ternyata bersambung dengan
lorong lain, dua prajurit Mesir Kuno berusaha membetot
kaki Andika untuk masuk ke dalam lorong. Satu di
antaranya sudah siap menghujam punggung Andika
dengan tombak berkarat.
"Tahan sebentar, Chin Liong! Akan kudepak bangkai
sialan ini!" seru Andika lagi.
Chin Liong berkutat sekuat tenaga. Kalau dia saja
merasakan bagaimana kuatnya tarikan dari lubang,
bagaimana lagi Andika? Tapi sepertinya, pemuda itu sudah
rnenjadi kebal penderitaan. Padahal, saat itu tubuhnya
sudah seperti hendak terbelah dua.
"Nih, makan!" bentak Andika, seraya menggerakkan
sepenuh tenaga pada sebelah kakinya yang masih bebas.
Dugh!
Mayat hidup yang hendak menusuk Pendekar Slebor
rnenjadi sasaran empuk. Kepalanya langsung remuk,
menerima depakan bertenaga dalam tinggi warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat kesepuluh. Sebagian
kepalanya bahkan berhamburan menjijikkan.
Sayang! Tindakan Andika tidak berarti banyak.
Bukankah kejadian sebelumnya pun begitu? Mayat-mayat
hidup yang dibantai Hiroto, tak segera ambruk kalau benar-
benar belum dirajam sama sekali.
Begitu pula mayat hidup korban tendangan
Pendekar Slebor. Tombak di tangannya tetap siap
menembus punggung pendekar muda tanah Jawa ini.
Andika kontan terbelalak, menyadari kesalahan yang
baru saja dibuatnya.
"Tarik! Tarik!" teriak Pendekar Slebor kelimpungan
pada Chin Liong.
Mendapat sahabatnya yang kelimpungan, Chin Liong
pun mengerahkan segenap sisa tenaganya. Kali ini, dia
mendapat bantuan Hiroto.
"Heeaa!"
Hiroto dan Chin Liong berteriak berbarengan. Tapi...
Crap!
"Adauw!"
Sekejap dari teriakan keduanya, Pendekar Slebor
dipaksa berteriak sekeras-kerasnya pula. Bagaimana tidak,
bila dua kekuatan hebat ketika itu bertarung dalam arah
berbeda melalui tubuhnya? Memang sentakan kuat Hiroto
dan Chin Liong berhasil mengungguli tarikan tangan
beberapa mayat hidup pada kaki Andika. Namun
sayangnya, mata tombak berkarat milik mayat hidup yang
hancur kepalanya sempat menembus paha Pendekar
Slebor.
Begitu tubuh Andika tertarik keluar lubang, Chin
Liong meringis ngeri. Bukan karena meliat tombak yang
masih menancap di paha sobatnya, melainkan ada sekitar
cnam potongan tangan setengah membusuk menempel di
kaki Andika.
"Bangkai sial! Sudah tak punya kepala masih juga
bisa membuatku susah!" rutuk Andika geram sekali.
Dicabutnya tombak dari paha kiri. Kemudian, masih
dengan mengumpat-umpat disingkirkannya potongan-
potongan tangan tadi.
"Sebaiknya kau memberikan pil pemunah racun
pada Andika, Ying Lien...,'' ucap Chin Liong. "Bukan
mustahil kalau tombak itu beracun."
Ying Lien segera mengeluarkan sebuah tabung kecil
dari kantung pakaiannya. Lalu dikeluarkannya dua butir pil
kecil berwarna ungu dari tabung ke telapak tangannya,
disodorkan pada Andika.
Andika baru hendak mcnjulurkan tangan, ketika tiba-
tiba saja ada tangan yang lain dari belakang menepak
tangan Ying Lien. Pak!
Seketika pil-pil tadi terpental tinggi, setelah itu lebur
menghantam langit-langit lorong.
Begitu Andika menoleh, tampak tiga mayat hidup
telah berdiri terkatung. Wajah yang sudah tak berbentuk
lagi, membuat Andika jadi terperanjat.
"Mak!" seru Andika nyaris terlonjak. Wuk!
Kalau tak ingin kepalanya lepas, Andika harus
segera memutus keterperanjatannya cepat-cepat. Karena
tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Slebor untuk
menarik napas lagi, tiga mayat hidup dari dasar Sungai Nil
itu melabraknya dengan senjata masing-masing.
"Bagaimana bisa bangkai-bangkai itu melompati
lubang penghuhung antara lorong?" tanya Chin Liong,
terheran.
"Bagaimana bisa kau diam saja?!" hardik Andika.
Lagi-lagi Pendekar Slebor dibuat kalap menyadari nasibnya
yang naas kembali.
"Baru saja terluka, sudah dikeroyok bangkai-bangkai
sialan!" rutuk Andika membatin. "Yang lain dulu, kenapa...."
Seketika Pendekar Slebor mencelat ringan ke
samping, menghindari sabetan lembing satu mayat hidup.
"Mundur, Andika! Kau haras menelan dahulu pil-pil
dari Ying Lien! Biar aku yang menghadapi mereka!" seru
Chin Liong.
"Wall, bagus itu! Kenapa tidak dari dulu saja?!" tukas
Andika, tetap jengkel.
Begitu kata-katanya habis, Andika bersalto enteng
beberapa putaran ke belakang. Tepat ketika Andika
bergerak, Chin Liong meluruk ke depan dengan tendangan
terbangnya. "Hiaaa!" Des!
Dada satu mayat hidup terhantam, membuat
makhluk itu terjengkang ke belakang menuju lubang.
Beberapa mayat hidup yang baru saja hendak merayap
naik ke atas lubang langsung tertimpa tubuhnya. Sehingga,
mereka terjatuh kembali ke lorong di bawah.
"Haiiit!"
Hiroto tak tinggal diam. Ksatria Jepang itu sudah
menggenggam samurai erat. Sambil berteriak, samurainya
diayunkan beberapa kali di udara.
Zing... zing... zing!
Ketika satu mayat hidup hendak menghadang la-
rinya, samurai panjang berkilat pemuda Nipon itu pun
menyambut. Bles!
Leher si mayat hidup tertembus hingga setengah
samurai. Hiroto tak ingin menarik senjatanya dari leher
lawan. Dia tahu, tindakannya akan sia-sia. Lawan tentu tak
akan ambruk begitu saja. Maka.... Srrrt!
Hiroto menekan kuat-kuat samurainya ke ba-wah.
Begitu sayatan samurai melewati selangkangan, Hiroto
menariknya cepat. Dan setelah itu, dibabatkannya ke atas.
Tas!
Kepala mayat hidup itu menggelinding. Sementara,
tubuhnya terbelah dua. Tumbang ke dua sisi berbeda!
Amukaii Samurai Negeri Sakura itu tidak terputus
hingg.i di situ. Seperti sebelumnya, Hiroto pun menyerang
tak lazim dengan keberingasan seekor macan liar.
Sisa satu mayat hidup yang sebenarnya lebih dekat
dengan Chin Liong malah langsung dirangsak Hiroto.
Seakan, dia tidak ingin memberi kesempatan pada rekan
barunya.
Zing!
Trang!
Sabetan samurai Hiroto ke dada dihadang keras
oleh pedang besar li. tangan si mayat hidup. Tangan yang
lain mcncoba menyambar kepala Hiroto. Sambarannya
seperti cakar seekor elang. Cepat serta tak terduga.
Hiroto merunduk. Namun tak luput. Srat!
Gulungan rambut Hiroto tersambar juga. Dan adalah
hal bodoh jika kepalanya dihentak untuk melepaskan
cengkeraman lawan. Bisa-bisa kulit kepalanya terkelupas.
Pemuda Jepang ini tidak bisa memenggal tangan
mayat hidup dengan samurainya. Kala itu, samurainya
sendiri berada daiam keadaan mati untuk melakukan
tebasan kual, agar bisa memutuskan lengan itu.
Biar bagaimanapun, tindakan tepat harus segera
dilakukan. Kalau tidak, kepala Hiroto bisa dipeluntir tangan
berkekuatan hebat tersebut. "Hiaaat...!"
Disertai teriakan meninggi. cepat Hiroto melepas
satu tangannya pada gagang samurai. Dengan tangan itu,
diloloskannya pedang pendek dari pinggangnya. Dan
seketika langsung ditebasnya tangan mayat hidup
manakala sedang berusaha memutir kepalanya.
Bet! Tras!
Tangan mayat hidup sekejap saja terpotong sebatas
siku. Dan itu cukup untuk menyelamatkan kepala Hiroto
sendiri. Selanjutnya dengan dua senjata di sepasang
tangannya dibuatnya kepakan ke arah dalam.
Set! Bret!
Dua sayatan Hiroto melintang di dada mayat hidup.
Kalau lawannya adalah manusia biasa, sudah bisa
dipastikan akan segera tergeletak tanpa nyawa. Namun
seperti sebelumnya, sayatan dalam melintang itu pun
belum berarti banyak. Mayat hidup itu tetap bisa
melakukan serangan balasan. Bahkan tidak sedikit pun
tenaganya berkurang.
Zing!
Pedang besar di satu tangan mayat hidup yang
masih utuh menebas lurus ke wajah Hiroto. Gerakannya
sungguh kaku, namun begitu cepat. Jika terlambat sedikil
saja berkelit, kulit wajah Hiroto sudah pasti tcrsayat.
Bahkan mungkin saja kepalanya akan terbelah.
"Haiii!"
Sambil memutar tubuh ke belakang, Hiroto
mcngayunkan samurainya ke atas. Tas!
Dengan satu gerakan, Hiroto telah memetik dua
hasil sekaligus. Wajahnya selamat dari tebasan pedang,
dan juga berhasil membuat tangan lawannya kembali
terputus!
"Sekarang, kau hanya bisa menunggu kubabat
habis!" geram Hiroto kesal.
Lalu dengan teriakan yang khas, Hiroto melempar
pedang pendeknya dengan tangan kiri. Zing! Jlep!
Pedang pendek Hiroto menembus dada mayat hidup
itu. Tenaga dorongnya memaksa si mayat hidup tersurut ke
belakang. Tepat pada saat itu, ada mayat hidup Iain yang
baru berhasil naik dari lubang.
Tak ayal lagi, mata pedang yang menembus di pung-
gung mayat hidup pertama menghujam dadanya juga. Bles!
Kesempatan itu digunakan Hiroto sebaik mungkin.
Setelah melempar teriakan pertarungan sekali lagi,
tubuhnya mencelat tinggi-tinggi menuju dua mayat hidup
yang tertembus pedang pendeknya rnenjadi satu.
Begitu meluncur turun, tangan Hiroto langsung
menebaskan samurai yang mungkin jarang sekali
dikerahkan hingga sebatas itu.
"Heaaa!"
Tras!
Sekejap bunyi sayatan tajam terdengar. Kejap
berikutnya, tubuh prajurit masa lampau itu terpenggal dua!
'Sekali tepuk dua lalat'!
Sebelum potongan tubuh dua mayat itu jatuh,
dengan penuh ketangkasan Hiroto menyambar pedang
pendeknya kembali.
Begitu mendarat di tanah, Hiroto kembali bersiaga
penuh, menanti serangan berikut. Belum ada lagi mayat
hidup yang ingin dibabatnya. Hanya telinganya menangkap
kekisruhan di belakang sana, di mana anggota rombongan
lain berada.
Hiroto langsung menoleh, dan betapa terkesiapnya
dia, melihat kejadian baru. Ternyata anggota rombongan
lain sedang digempur habis olehi sepasukan mayat hidup
dalam jumlah tak terbilang. Entah, berapa ratus. Dan,
entah pula datangdarimana. Seakan-akan makhluk-
makhluk menjijikkan itu tembus dari celah dinding!
"Pantos saja tak ada yang memberi bantuan ketika
rambutku tercengkeram," desis Hiroto, seraya meyibakkan
rambutnya yang sudah kehilangan pengikat. Masih terasa
pedih di bagian kulit kepala.
Mata berkelopak sempit Hiroto sejenak mencari cari
liar. Ada salah satu anggota rombongan yang tak tcrlihat.
"Ke mana Andika San?" gumam pemuda Jepang ini
was-was.
Setahu Hiroto, pendekar muda tanah Jawa yang
dikaguminya itu dalam keadaan terluka yang tidak bisa
dianggap remeh. Karena bukan tidak mungkin, dia sudah
dirasuki racun ganas seperti kata Chin Liong sebelumnya.
"Hiroto San, di belakangmu!"
Teriakan Ying Lien menyadarkan Hiroto. Dengan
badannya dijatuhkan ke depan. Selang sekedipan.
meluncur terkaman satu mayat hidup di atasnya.
Sempat Hiroto memuji Ying Lien. Bagaimana gadis
itu tahu kalau ada mayat hidup yang hendak membokong
dari belakang? Padahal Ying Lien buta….?
***
8
Kemana Andika sebenarnya?
Ketika serbuan besar-besaran pasukan mayat hidup
menyesaki lorong, sesuatu memancing perhatian anak
muda sakti dari tanah Jawa itu. Dia melihat sekelebat
bayangan di tikungan lorong udara. Meski hanya sekilas,
masih bisa dikenali kalau orang yang terlihat adalah Nofret.
Tanpa peduli pada amukan mayat-mayat hidup,
Andika langsung mengejar Nofret. Tak dipedulikan lagi luka
menganga di paha kiri. Darah terus saja merembes celana
panjang hijaunya. Bahkan tak lagi terpikir kemungkinan
racun ganas dari masa lampau yang bisa saja mulai
merambahi aliran darahnya....
Empat mayat hidup yang dikenal sebagai mummi,
mencoba menghadang Pendekar Slebor. Tak mudah untuk
menyingkirkan, karena makhluk-makhluk yang
dibangkitkan dari kematian hampir seluruhnya memendam
kekuatan hitam. Dan ini membuat mereka lebih tangguh
daripada seekor gajah jantan gila. Bahkan lebih gila
daripada amukan banteng edan!
Sewaktu mereka menggebraknya, Andika merasa
harus mengerahkan kesaktian tanpa tanggung-tanggung.
Sekejapan waktu baginya amatlah penting, kalau tak mau
kehilangan Nofret kembali.
"Manusia-manusia borok slompret!" damprat Andika
seraya melecutkan kain pusakanya ke dua penjuru.
Satu sabetan Pendekar Slebor telah disalurkan
tenaga sakti tingkat kesembilan belas. Tak tanggung-
tanggung pula, dalam satu sabetan tangannya membuat
sekian getaran.
Cletar! Tas! Tas! Tas!
Dua serdadu mayat hidup rnenjadi makanan empuk
senjata pusaka Pendekar Slebor. Satu sabetan lain
manakala mengenai sasaran, membuat dua bangkai itu
sekejap mata terpotong-potong rnenjadi sepuluh bagian!
Tak bedanya irisan-irisan roti.
"Biar mampus benaran kalian!" maki Andika se-saat
sebelum dua mummi lain menerjangnya. "Hgrrr!" Cletar-
cletar!
Menyambut serangan dua lawan yang lain, Pendekar
Slebor pun tak sudi berlama-lama. Dengan kain pusaka
pula, dua bangkai dari masa lalu itu mengalami nasib
serupa.
Belum sempat potongan menjijikkan itu berserakan
di lantai lorong, tubuh pendekar muda ini sudah mencelat
amat cepat. Diterobosnya arus serbuan para mumi secepat
lepas dari busur dan selincah seekor walet di antara bukit
karang. Andika berlari dengan memanfaatkan kepala
mereka sebagai titian!
"Hei! Anak muda kualat!" semprot Pendekar Dungu,
ketika kepalanya sempat menjadi satu pijakan. Dia
memang hampir tersaru di antara mayat-mayat hidup itu.
"Maaf. Pak Tua! Aku kira kau salah satu bangkai sial
itu!" seru Andika, seraya terus memompa kecepatan.
Kelokan lorong utara telah dilewati Andika. Ke-
handalan ilmu lari cepatnya yang tersohor, telah membawa
Pendekar Slebor amat jauh dari tempal semula. Tapi,
buruannya tak terlihat sama sekali.
"Ke mana Nofret?" bisik Andika dengan napas turun
naik.
Pendekar Slebor kini berhenti di satu lorong lembab
berkabut. Lorong yang diyakininya baru sekali ini dilewati.
Tak mungkin aku salah lihat Tadi itu memang
Nofret," gumam Andika, mencoba meyakinkan diri.
"Tapi, bagaimana mungkin tak juga kutemukan? Aku
sudah mengerahkan segenap kemampuan lari cepatku
Mestinya, dia sudah terkejar karena sama sekali tak
memiliki kedigdayaan apa-apa kecuali sihir. Apa mungkin
karena jasadnya masih dikuasai roh jahat Hetepheres?"
"Kau mencari aku?"
Mendadak terdengar sebuah suara di ujung lorong
lembab. Cepat Andika menegaskan pandangannya. Kabut
yang bergentayangan lamban, membuat cahaya obor-obor
di sepanjang lorong tak berdaya. Dalam pandangan samar-
samar Andika melihat sesosok tubuh berdiri di kejauhan
sana. Seorang wanita. Dan lagi-lagi, Andika mengenali
bentuk tubuh itu.
"Nofret, kaukah itu?!" seru Andika keras. Tak ada
jawaban.
"Nofret?! Apakah kau sudah sadar?!" panggil Andika,
mencoba kembali.
Tak ingin pemuda ini bertindak ceroboh dengan
menghampiri langsung sosok di kejauhan sana. Dia yakin,
yang dilihatnya memang Nofret. Namun di lain sisi, dia pun
yakin setiap saat jebakan maut bisa mengganyangnya.
'Andika...."
Suara sosok itu kembali terdengar, menyusuri
lorong. Kemudian memantul di antara dinding, dan tiba di
telinga Andika sebagai suara Nofret.
Andika makin yakin kalau telah menemukan Nofret
Namun hatinya belum cukup yakin, apakah Nofret yang
terlihat kini memang benar-benar Nofret atau masih di
bawah kekuasaan Hetepheres.
"Jawab pertanyaanku, Nofret! Apakah kau sudah
sadar?!" seru Andika.
"An-di-ka.... Tolong aku...."
Pendekar Slebor tergugu kaku. Suara Nofret yang
terdengar kali ini begitu memelas.
"Andika. tolonglah!" Suara Nofret menanjak. " tolong,
Andika!"
Makin meninggi suara itu, lalu melengking....
"Andika.. tolong aku!"
Andika terkesiap. Dia hendak segera menghambur
ke arah Nolret, tapi nalurinya mengingatkan akan satu
bahaya keraguannya benar-benar menguasainya saat itu.
Kabut mendadak menebal, menyergap pandangan
Pendekar Slebor. Sosok Nofret di kejauhan sana tertelan.
Saat itu pula, Andika menyadari kalau dirinya bisa
kehilangan jejak lagi.
Tanpa peduli resiko yang siap memamahnya, Andika
mengempos ilmu lari cepatnya kembali. Tapi begitu kabut
tebal yang lembab terlewati, Nofret sudah tak ada lagi di
tempatnya...
"Bangsat congek! Kunyuk bodong, babi botaaak!"
sumpah serapah kasar pun berhamburan dari mulut
Pendekar Slebor. Kakinya menjejak-jejak geram ke lantai
lorong, sampai tak sadar kalau akibat tindakannya telah
membuat lantai batu amat keras rnenjadi hancur
berhamburan.
"Jangan kau coba mempermainkan aku, Pangeran
Anubis! Aku tahu siapa sesungguhnya dirimu! Aku tahu!
Kau memang sejenis ular kadut pengecut! Keluarlah kau!
Hadapi aku seperti seorang lelaki jantan! Jangan bisanya
hanya bersembunyi dan main belakang!"
"Ha-ha-ha...!"
Jawaban yang didapat pendekar ceriwis itu hanya
tawa seorang lelaki.
"Apa benar kau telah memecahkan teka-teki yang
paling besar dari seluruh rencanaku, Anak Muda?" tanya
suara itu, menggema.
Suara itu terdengar berat dari arah belakang, begitu
dekat di belakang Andika.
Pendekar muda itu sendiri terkesiap. Merasa akan
dibokong, tubuhnya berbalik sigap.
Tak seorang pun ditemukan Pendekar Slebor.
Sepanjang pandangannya, hanya bentangan lorong
berkabut yang terlihat. Rupanya suara tadi dikirim lewat
ilmu 'Pengirim Suara' jarak jauh yang demikian sempurna.
"Lihatlah! Betapa pengecutnya kau!" rutuk Andika
kalap tertahan.
"Ha-ha- ha...!"
Tawa membahana mengisi lorong lagi. "Lalu apa
maumu, Anak Muda? Kau ingin langsung berhadapan
denganku? Tak usah tergesa.... Permainan ini belum lagi
tuntas...."
Ucapan itu berpindah kcmbali ke belakang Andika.
Seperti sebelumnya, terdengar begitu dekat. Seolah-olah,
orang yang berkata persis berdiri di be-lakangnya.
Keledai dungu pun tak mau terperosokdalam lubang
yang sama. Begitu pikir Andika. Dia yakin, ucapan itu pun
sekadar suara yang dikirim dari jarak jauh dengan
sempurna. Oleh sebab itu, tubuhnya tak berbalik.
Namun, justru dengan keputusan itu, Pendekar
Slebor telah terperosok dalam lubang yang baru. Orang
yang dikira berbicara dari jauh, ternyata memang benar-
benar telah berdiri hanya selangkah di belakangnya!
"Apa kau ingin menarik tantanganmu tadi, Anak
Muda? Bukankah kau ingin berhadapan langsung
denganku?" kata Pangeran Anubis dengan tangan terlipat
di depan dada.
Mendengar kalimat terakhir lelaki itu, barulah Andika
sadar sepenuhnya kalau telah melakukan kesalahan baru.
Demikian cepat darahnya berdesir te-gang. Segenap
ototnya mengejang. Tubuhnya mesti secepat mungkin
dilempar ke depan. Namun terlambat.... Des!
"Aaakh,..!"
Pendekar Slebor seketika merasakan bagaimana
punggungnya terhantam telapak tangan. Bila
kesadarannya langsung hilang saat itu, tentu tak akan
tersiksa apa-apa. Dan Andika sama sekali tidak ingin
kehilangan kesadaran, biar kepalanya bagai diganduli
dunia sekalipun. Justru karena itu, dia pun harus me-
nikmati bagaimana hebatnya siksaan rasa sesak amat
sangat yang mendera sekujur dadanya akibat hantaman
tadi.
"Khoek!"
Darah kehitam-hitaman termuntah dari mulut
Pendekar Slehor begitu tubuhnya terjerembab dalam
keadaan tertelungkup. Nyaris saja kepalanya tak bisa
diangkat.
"Bagaimana? Apa kau sudah bisa menikmati seluruh
rencana besarku?" cemooh si pembokong, tanpa rasa malu
sedikit jua.
Andika bangkit terseok. Dadanya didekapnya dengan
wajah menahan sakit.
"Lihatah dirimu? Betapa kau sudah tidak punya
harga diri lagi," cemooh Andika membalas.
"Harga diri? Apa yang kau tahu tentang harga diri?
Aku tahu betul tentang harga diriku. Karena itu pula, aku
melakukan semua ini...," kata Pangeran Anubis, agak
bergetar.
Di balik topeng serigala lelaki itu, Andika bisa
menangkap geliat kekecewaannya. Kekecewaan karena
apa ? Itu yang belum dapat diraba.
"Kau tak memerlukan topeng jelekmu lagi. Kenapa
benda itu tak ditanggalkan saja. Apa kau merasa, aku
belum tahu siapa dirimu sebenarnya?" kata Andika,
mencoba menyudutkan.
"Aku percaya, kau telah tahu aku yang sebenarnya.
Di antara sekian banyak pendekar kenamaan dunia, kau
termasuk memiiiki ketajaman otak yang patut mendapat
pujian...."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kau malu karena
selama ini wajahmu digunakan hanya untuk kedok tabiat
terpujimu. Lalu, kau pakai topeng pula untuk menutupi
kepalsuanmu, Itu artinya, selama ini kau hanya
mengenakan topeng. Kau selamanya tak pernah memiiiki
muka. Kau manusia tak bermuka, yang bersikap baik di
depan. Namun, di belakang menerkam.... Kau tak lebih
berharga dari kotoranku!" leceh Pendekar Slebor, tak
hanya menyakitkan telinga, tapi juga perasaan orang.
Tapi, benar kata Andika barusan. Orang di depannya
agaknya sudah tak memiiiki muka. Tanpa rasa malu, dan
tak lebih berharga dari kotoran manusia. Mestinya, dia
akan terbakar mendengar kata-kata Andika. Nyatanya,
justru tidak. Seolah-olah hati lelaki itu sudah sekeras batu.
"Buat apa membuka topeng ini? Karena aku tahu,
kau adalah anak muda berotak cemerlang. Jadi, aku tak
akan membuka topeng ini secepatnya. Kau tahu, kenapa?
Karena bukan tidak mungkin kau belum tahu siapa aku.
Lalu, kau pun bersiasat seolah-olah tahu agar aku
membuka topeng ini. Hm..., siasat cerdik!"
"Kau memaksaku untuk menyebut siapa dirimu
sesungguhnya?" desis Andika terpatah-patah. Kemuakan
pada sikap lelaki itu membuat rasa sakit didadanya makin
menjadi-jadi.
"Baik," pulus Andika tegas. "Kau adalah si Gila
Petualang! Lelaki tua berhati busuk yang berkulit orang
suci! Kau sesungguhnya tak beda dengan Dua Rahib Dari
Tibet! Bangkai yang terbungkus kain putih
"Hmh...!"
Terdengar dengusan samar di balik topeng kepala
serigala Pangeran Anubis.
"Kau memang berotak encer, Anak Muda...," puji
Pangeran Anubis terdengar gusar.
Kegusaran lelaki itu terlihat jelas manakala melepas
topeng kepala serigalanya dengan kasar. Lalu, terlihatlah
wajah di balik topeng itu. Samar di antara sapuan cahaya
obor lamat. Wajah si Gila Petualang! Andika menyeringai.
Dugaannya tak meleset. "Bagaimana kau bisa
membongkar rahasiaku, Anak Muda?" tanya si Gila
Petualang. Nadanya terdengar gusar.
Lagi-lagi Pendekar Slebor menyeringai. mengejek si
Gila Petualang yang sebelumnya begitu dihormati. Andika
tidak merasa menang. Apalah arti kemenangan yang
didapat dengan mengalahkan orang lain. Bagi Andika,
kemenangan sejati diperoleh dengan mengalahkan diri
sendiri. Kalaupun mulutnya menyeringai, itu karena
kemunafikan si Gila Petualang pantas menerima ejekan.
"Kau masih berminat untuk mengetahui, bagaimana
aku bisa memecahkan teka-teki konyolmu?" tantang
Andika enteng.
Rasa sakit di dada Pendekar Slebor mulai me-
ngabur. Selama itu, dicobanya mengerahkan hawa murni
diam-diam ke bagian dadanya, agar luka dalamnya dapat
diatasi.
Si Gila Petualang hanya menatap anak muda yang
berdiri sembilan tombak di depannya dengan sinar mata
menusuk.
"Kau ingat dengan ini? Kata Andika memulai lagi
sambil mengeluarkan kantong minuman dari kulit dari balik
pakaian. "Kau yang memberikan ini padaku, bukan? Dari
dua sahabat Cinaku, aku tahu kalau minuman ini adalah
bagian ramuan yang bisa me-lumpuhkan jaringan otot. Kau
tentunya telah mempelajarinya ketika bertualang ke Negeri
Cina...." (Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah episode
sebelumnya: "Undangan Ratu Mesir").
Andika menimang-nimang kantong minuman di
tangannya.
"Di samping itu, apa kau pikir aku tak akan heran
ketika Hetepheres mengerahkan ilmu 'Inti Es'nya.
Bukankah kcsaktian itu dikembangkan amat jauh
dari tempat ini. Hanya ada satu kemungkinan, kalau ilmu
itu sampai disini. Seseorang telah membawanya ke tempat
ini. Di antara kita semua, hanya kau satu-satunya yang
telah banyak menjelajahi negeri orang. Termasuk, asal ilmu
kesaktian itu, bukan?" lanjut Andika panjang lebar.
Andika mendehem-dehem menyaksikan perubahan
wajah si Gila Petualang. Lelaki itu tampak terbakar
kemarahan.
"Kecurigaanku sebenarnya sudah terbetik, ketika
kapal armada Cina milik Ying Lien sedang menyusuri
Sungai Nil. Gerombolan Kuda Nil yang tak lazim
bckerjasama untuk menenggelamkan kapal,
mengingatkanku pada gerombolan elang-elangmu!
Bukankah di antara awak kapal, hanya kau yang bisa
melatih dengan baik binatang-binatang liar yang
dimanfaatkan untuk tujuan tertentu? He-he-he.... aku betul
lagi, ya?" (Baca episode sebelumnya: "Piramida Kematian")
Plok! Plok! Plok!
Andika lalu bertepuk tangan. Bukan sekadar hendak
memuji kecerdikannya sendiri, tapi sudah pasti untuk
melecehkan lawannya separah mungkin. Biar
kemarahannya meledak. Kalau sudah begitu, dia bisa
mengambil sedikit keuntungan....
"Benar katamu dulu.'Seharusnya, kita selalu ber-hati-
hati pada siapa pun. Wajah yang bagus, tidak selamanya
mencerminkan diri yang baik'...," lanjut Pendekar Slebor.
setengah mengolok-olok.
"Kau memang berhasil membongkar rahasiaku.
Anak Muda. Tapi, bukan dengan begitu semuanya usai.
Permainan belum tuntas seluruhnya. Bukankab itu sudah
kukatakan tadi?" sergah si Gila Petualang, meledak-ledak.
Sifat-sifat bejatnya kini terlihat jelas.
"O-o! Kau rupanya begitu dongkol denganku, karena
telah mengacaukan rencana puncakmu, bukan?"
Si Gila Petualang menghempas napas. "Kau akan
tahu, apakah rencana puncak milikku benar-benar telah
kau kacaukan. Atau, sebenarnya rencana puncakku baru
saja dimulai! Ha-ha-ha...!"
"Bah! Apa bukan sebaliknya? Rencanamu justru
sudah hancur lebur seperti bubur. Tipu dayamu sudah tak
berguna, seperti tak bergunanya peta rahasia tentang
tempat penyimpanan pusaka para ahli sihir yang
sebenarnya tak pernah ada! Dengan peta buatanmu itu
tentu kau ingin menggiring kami memasuki jebakan demi
jebakan, bukan?"
"Pemuda keparat!"
"Hua-ha
Andika membayar gelak tawa si Gila Petualang
dengan gelaknya pula.
"Kau boleh menganggap rencanaku telah
berantakan! Tapi, tidak bagiku. Aku puas karena telah
menebus sakit hatiku pada dunia persilatan!" tandas si Gila
Petualang.
"Kasihan anak Emak,... Kau sakit hati?"
“Tutup bacotmu, Anak Muda! Kau dan seluruh
undangan telah mewakili dunia persilatan untuk membayar
sakit hatiku! Aku puas! Puas! Kau tahu, kenapa aku
bertualang? Sebelum aku bertualang, kehadiranku tak
diterima orang-orang dunia persilatan. Mereka hanya
menganggapku sampah tak berarti. Tak berdaya apa-apa
dan tak berguna apa-apa. Aku banyak dipermainkan orang-
orang persilatan seenaknya. Aku pun memendam
kebencian yang membakar hatiku. Lalu, aku bertualang.
Semula, untuk melarikan diri dari segenap cemooh orang
persilatan. Setelah itu, tcrpikir olehku untuk
mengumpulkan kesaktian dan ilmu, yang nantinya akan
berguna untuk membalas sakit hatiku!"
***
9
"Sayang sekali, rupanya kau hanya disesati
perasaanmu sendiri, Pak Tua!"
Kalimat Andika melunak mendengar penuturan
terakhir si Gila Petualang. Kini anak muda itu bisa melihat
jelas perkara sebenarnya. Seketika timbullah rasa
prihatinnya.
Sebenarnya lelaki tua itu hanyalah korban
permainan dunia yang memuakkan. Begitu, pikir Andika.
Ya, sekadar korban. Sayang, dia mengambil jalan salah
untuk menyelamatkan diri sendiri....
"Tidak semua warga dunia persilatan bersikap
seperti itu padamu. Apakah kau tak merasa, bagaimana
aku, Ying Lien, dan Chin Liong begitu menghormatimu
sebelum semua ini terjadi?"
"Bagiku, sikap kalian sudah terlambat!" tegas si Gila
Petualang.
Andika mengbela napas. "Jangan kau membiarkan
hatimu membatu, Pak Tua...," bujuk Pendekar Slebor.
"Aku tak peduli! Dendamku sudah berkarat! Seperti
besi yang sudah tak mungkin lagi dibersihkan! Aku hanya
puas, bila telah melaksanakan pemba-lasan dendam ini!"
teriak si Gila Petualang parau.
"Pak tua! Belum terlambat untuk mcnghentikan
semua kegilaan ini.... Rasanya kami bisa mengerti beban
apa yang kau tanggung sclama ini." bujuk Andika lagi.
" Tidak! Sudah kuputuskan untuk menuntaskan
semua ini. Kalian yang mewakili dunia persilatan, harus
mcmbayar lunas seluruh sakit hatiku! Kalian akan hancur
lebur bersama piramida ini!"
Begitu kala-katanya selesai, si Gila Petualang
berkelebat.
"Pak Tua, tunggu!"
Seruan Pendekar Slebor sia-sia. Lelaki tua yang
sempat dihormatinya telah menerjang dengan satu
pukulan maut ke arah Pendekar Slebor.
Wukh!
Untuk serangan pembuka, Andika tak mau ambil
akibat terlalu banyak. Dia memang sudah mengenal si Gila
Petualang. Tapi, belum cukup mengetahui sampai di mana
tingkat kesaktiannya.
Secepat mungkin Andika berkelit. Tubuhnya
dimiringkan ke samping.
Salah satu kckhasan jurus milik Pendekar Slebor
adalah gerakannya yang terlihat awut-awutan. Termasuk
cakarnya menghindari scrangan. Si penyerang tak akan
menyangka, kalau Pendekar Slebor sedang menghindar.
Yang terlihat justru seperti sedang terhuyung limbung.
"Haih!"
Selagi tubuh si Gila Petualang yang selama ini
mengaku sebagai Pangeran Anubis menyorong ke depan,
kaki Andika membuat sapuan kilat. Dalam keadaan begitu,
si tua itu akan dirugikan oleh tenaganya sendiri. Tubuhnya
bisa terpelanting karena jegalan kaki Pendekar Slebor.
Namun yang dihadapi pemuda dari tanah Jawa ini
bukan tokoh kacangan. Si Gila Petualang sudah
menjelajahi lima benua dan lima samudera. Bisa di-
bayangkan, sudah berapa banyak ilmu ditimba?
"Eaaa!"
Sekali menjejak saja, tubuh lelaki tua itu sudah
berputaran di udara, menghindari sapuan kaki Pendekar
Slebor.
Selagi di udara, biasanya pertahanan seseorang
akan lemah. Itu sering diperhatikan Andika. Tahu si tua itu
sedang melayang, Pendekar Slebor memanfaatkannya.
Secepat kilat tangannya disibak ke atas. Punggung
tangannya yang menekuk seperti tangan seekor kera,
mencoba menanduk si Gila Petualang di udara.
Bet!
Pada saat yang sama, si Gila Petualang pun
melancarkan tinju keduanya. Akibatnya....
Daghhhl
Benturan tangan bertenaga dahsyat tadi pun sudah
pasti mengakibatkan kedahsyatan tak kalah menggiriskan.
Tubuh si Gila Petualang kontan terlonjak lebih tinggi
ke udara, kemudian meluncur cepat dan menghantam
langit-langit lorong. Bagian yang terkena menjadi hancur
berlubang sedalam bagian tubuhnya yang melesak hingga
sebatas dada. Kini tinggal bagian bawah badannya yang
tergantung-gantung.
Andika sendiri mengalami akibat yang tidak kalah
parah. Kalau si Gila Petualang melesak di langit-langit,
Pendekar Slebor melesak di lantai lorong. Sama-sama
sebatas bahu, seperti juga dialami lawannya. Jelas, pada
saat terjadi benturan, tingkat tenaga dalam yang
dikeluarkan seimbang.
Tak lama berselang keduanya sama-sama mencelat
dari lubang masing-masing. Si Gila Petualang
menggunakan sepasang tangannya untuk mencelat,
sedangkan Pendekar Slebor menggunakan kaki.
"Pak tua, tunggu!" ulang Andika, berusaha menahan
serangan lebih lanjut si Gila Petualang.
"Kenapa, Anak Muda? Kau takut menghadapiku?
Bukankah kau memiliki nama besar di dunia persilatan?"
leceh si Gila Petualang tanpa sedikit pun luka di tubuhnya
bagian lain. Padahal kekerasan langit-langit lorong bisa
meremukkan tulang seekor badak.
"Sadarlah, Pak Tua. Belum lerlambat bagimu untuk
menyadari kalau sebuah dendam tak berguna untuk
dimuntahkan... Kau bertindak pada alamat yang salah.
Menuntut dendam pada orang-orang yang keliru...," ujar
Andika.
"Siapa peduli pada kckeliruan. Dunia ini pun telah
bertindak keliru padaku. Kenapa aku dilahirkan, kalau
akhirnya disingkirkan? Bukankah itu kekeliruan? Lalu, apa
salahnya aku membuat satu kekeliruan pula agar puas!"
balas si tua ini.
"Janganlah kau menghujat Tuhan, Pak Tua.... "Aku
hanya menghujat manusia-manusia yang telah
mcngasingkan diriku seperti sampah! Tak menggubris
kehadiranku seperti anjing buduk!" teriak si Gila Petualang.
"Tidak semua orang, Pak Tua.... Tidak semuaya...."
"Phuih...!"
Dengan napas turun-naik digebah kemurkaan, si Gila
Petualang mcmbuang ludah.
"Kau membuatku muak dengan kebijakanmu, Anak
Muda... Aku sebenarnya iri padamu," kata lelaki tua mi
mengakhiri perdebatan yang diselingi pertarungan singkat.
Sk-u-l.ih ilu kembali si Gila Petualang menggen-jnl
lubuhnya. Namun sekali ini, dia tak hendak mela-ktikan
gcmpuran. Dia hanya menyingkir, entah ke mana. Lalu,
tubuhnya menghilang di antara kabut yang tcrhuyung.
"Pak Tua!" panggil Andika, tapi sia-sia. Andika
mengeluh. Napasnya dilepas dalam desah.
Andai saja Pendekai Slebor tahu sebab musabab
lelaki itu melakukan ini semua, tentu akan lebih suka
memaklumi.
***
10
Sementara itu, pertarungan sengit antara para
undangan dengan mayat-mayat hidup masih saja
bergejolak. Ketidak seimbangan dalam jumlah, tidaklah
berarti ada satu yang terkalahkan. Rombongan para
undangan ternyata sanggup mcladeni gempuran serdadu
Mesir Kuno yang bangkit kembali dari kematian!
Sudah demikian banyak potongan bangkai
menumpuki lantai lorong. Namun jumlah mereka seperti
tidak pernah menyusut. Kalau keadaan seperti itu terus
berlanjut, bukan tidak mungkin pihak para undangan akan
kehabisan tenaga. Artinya, cepat atau lambat, mereka
akan menjadi bulan-bulanan serbuan bangkai-bangkai
hidup!
"Kita harus segera menyingkir! Tak mungkin kita
terus membantai mereka. Tenaga kita terbatas. Se-
dangkan jumlah mereka seperti tak terbatas!" pekik Ying
Lien di antara kepungan gencar lawannya yang menjijikkan
"Ya! Aku pun berpikir begitu, Nona!" teriak Kenjiro
yang sudah bermandi peluh.
Lelaki Jepang bertubuh tambun itu berkali-kali nyaris
terbabat senjata. Dengan tubuh besar seperti itu, dia lebih
cepat menjadi lelah ketimbang yang lain. Untunglah Hiroto,
saudara sepupunya selatu siap melindungi.
"Bagaimana menurutmu, Hiroto?!" teriak Kenjiro
pada ksatria pcrkasa yang mengamuk dengan samurainya.
Hiroto tidak sedikit pun menggubris. Baginya tidak
ada kata mundur dalam satu pertarungan. Baginya, mati
lebih terhormat daripada jadi pengecut.
"Aku tahu, bukanlah kebiasaanmu untuk mundur
dari pertarungan, Hiroto San. Tapi kau tentunya tak ingin
ada anggota kita yang akan menjadi korban, bukan?!"
timpal Chin Liong, mengingatkan Hiroto.
"Kalau begitu, cepatlah kalian menyingkir! Aku akan
buka jalan bagi kalian!" putus Hiroto, mengejutkan yang
lain.
Lalu, lelaki itu bertcriak amat keras. Teriakan-nya
terlalu kacau, hingga terdengar meraung-raung. Tubuhnya
digenjot tinggi-tinggi ke barisan depan serbuan para mayat
hidup. Dan di tengah-tengah kepungan itu, dia hinggap.
Sekejap kemudian. Hiroto mengamuk sejadi-jadinya.
Samurainya berdesing kian kemari, seakan memiliki mata
sendiri. Satu gerakan seperti melahirkan sekian sabetan
maut. Dua-tiga mummi pun terpenggal!
Wukh-zing-zing!
"Cepat kalian menyingkir! Aku akan menghambat
mereka!" seru Hiroto di antara desingan tajam samurainya.
"Bagaimana kami bisa meninggalkan kau sendiri?!"
sergah Chin Liong kacau.
"Jangan pikirkan aku! Satu korban lebih baik,
daripada keseluruhan!"
"Tidak bisa! Aku tidak akan membiarkan hal itu!"
tolak Chin Liong.
"Tapi hanya ini satu-satunya kesempatan agar kalian
bisa lotos! Hargai usahaku, Chin Liong San!"
Chin Liong ragu. Di belakang mereka, jalan sudah
terbuka. Ying Lien dan Manyar Wanita barusaja
menuntaskan enam mummi yang menghambat.
Sementara, arus serangan di depan diputus amukan
membabi buta Hiroto.
"Cepat pergiii!" hardik Hiroto menangkap sekelebat
keragu raguan Chin Liong. "Selamatkan sepupuku! Karena
kalau aku mati, dia harus bisa pulang ke Jepang agar bisa
mengabari keluargaku!"
Chin Liong tercekat, sadar, Hiroto memang benar.
Hanya itu satu satunya harapan agar yang lain bisa lolos.
Kalau Chin Liong bersikeras mendampingi Hiroto, siapa
yang akan melindungi yang lain? Bukannya Chin Liong tak
percaya pada Ying Lien. Tapi biar bagaimanapun, gadis
tangguh itu buta! Semen-lam, Manyar Wanita belumlah
cukup tangguh dibanding Ying Lien. Pendekar Dungu? Ah!
Bagaimana mengharap lelaki tua berotak kerbau itu untuk
memimpin yang lain?
"Baik!" putus Chin Liong akhirnya. "Selamat
bertarung, Hiroto San. Aku tak akan memaafkanmu, kalau
kau tak bisa bertemu kami lagi dalam keadaan selamat!"
Sempat-sempatnya bibir Hiroto menampilkan
senyum samar mendengar ucapan Chin Liong.
***
Masih di lorong lembab berkabut, sekali lagi Andika
menyaksikan Nofret. Kalau sebelumnya tampak
sekelebatan, kali ini Nofret muncul di ujung lorong. Diam
sebentar, kemudian mulai melangkah satu-satu ke arah
Andika.
Pakaian amat tipis yang dikenakan gadis itu
membuat bola mata Andika membulat semakin besar.
Apalagi di balik pakaian itu. lekuk liku tubuhnya jelas
terlihat tanpa selembar benang lagi menutupinya. Pakaian
tipis itu berkibar perlahan, seiring langkah Nofret. Seketika
jantung Pendekar muda itu semakin berdebar tak karuan.
Pemuda berbaju hijau itu sungguh tak mengerti.
Mengapa Nofret masih memakai baju tipis yang pernah
dilihatnya ketika berada dalam pengaruh Hetepheres?
"Nofret...," sebut pemuda itu ragu-ragu. Tidak bisa
dijamin kalau saat itu Nofret benar-benar 'Nofret'. Besar
kemungkinan dirinya saat itu adalah Hetepheres!
"Ya, Andika.... Ini aku," sahut gadis ini lamat. Bibirnya
mendesah perlahan.
Kini, tubuh gadis itu berdiri dalam keadaan sangat
menggiurkan, sekitar sepuluh depa dari tempat Andika.
"Bagaimana bisa...?" gumam Andika seraya menatap
tajam.
Selagi pemuda dari Lembah Kutukan ini
diberondong rasa keheranannya, Nofret memutarkan
lehernya ke belakang perlahan dengan mata terpejam
rapat. Gerakan gadis itu seakan menggelinjang nikmat.
"Wuih! Nofret...!" pekik Andika dalam hati.
Sungguh, pemuda itu hampir tidak kuat menahan
beban tubuhnya. Kedua lututnya gemetar menyaksikan
semua itu.
Kemudian, penuh kegemulaian Nofret melangkah
perlahan menuju Andika. Setiap kali kakinya melangkah,
terbentuk gerakan lembut menakjubkan di seputar pinggul
padatnya. Dan yang lebih mendebarkan jantung, buah
dada ranum yang nampak samar-samar di balik pakaian
tipis itu pun ikut bergetar, seolah menjanjikan sesuatu
pada Andika.
Andika memejamkan mata, sebisa-bisanya. Tanpa
sadar hal itu dilakukannya, seperti takut kalau dirinya tak
kuat menahan 'panggilan Nofret' yang luar biasa!
"Kau sudah sadar?" tanya Andika parau, masih
memejamkan mala.
"Apa yang terjadi sesungguhnya terhadap diriku,
Andika?" Nofret balik bertanya. Langkahnya membawa
tubuhnya semakin dekat pada Pendekar Slebor.
"Apa kau tak ingat?" susul Andika. Kali ini pendekar
muda itu memberanikan diri membuka matanya.
Nofret berhenti lima depa dari tempat Andika. Bibir
merah menantang milik perawan Mesir itu bergerak
perlahan, di antara desah gelombang napasnya. Matanya
yang indah menatap tembus ke bola mata Andika, seakan
begitu mendambakan belaian pemuda dari Lembah
Kutukan ini.
Tanpa sadar, Andika melangkah. Matanya tak lepas-
lepas memandang tubuh putih Nofret yang memiiiki buah
dada padat dan pinggul menggiurkan. Semakin dekat,
napas pemuda itu kian memburu.
"Apa saja yang kau alami, Nofret?" tanya pemuda
urakan itu yang rupanya masih mempunyai nalar di saat-
saat genting begini.
"Yang aku ingat, aku dikepung asap tebal di satu
ruangan yang kumasuki. Setelah itu. aku tak ingat apa-apa
lagi...," tutur Nofret
Andika mencoba mendekat lagi. "Kau yakin tak apa-
apa?" tanya Andika lebih lanjut.
"Aku..., aku merasa tubuhku begitu letih. Aku merasa
ada sesuatu yang membebaniku sebelumnya."
Andika makin mendekat.
"Ceritakan padaku, apa yang kau rasakan
sebelumnya?"
Nolret terdiam sesaat. Ada sesuatu yang dicoba
diangkat dari benaknya.
"Ingat ingatlah...," sambung Andika hati-hati.
Pemuda dari Iembah Kuti.kan itu rupanya tengah
berusaha keras menghilangkan letupan gairah yang
sedang menyergapnya. Karena itu dia lebih menekankan
ke mana Nofret selama ini, daripada terus memandangngi
sekujur tubuh menantang milik gadis Mesii itu.
"Aku..., aku merasa diriku terkunci waktu itu. Aku
melihatmu. Lalu, aku menyerangmu. Itu bukan
kemauanku, Andika.... Itu bukan kemauanku.... Aku sendiri
berusaha menahannya, tapi tak kuasa...." Setelah itu
terdengar isak kecil Nofret. Andika tersentuh. Seketika itu
juga gairahnya terkikis habis begitu melihat butir air bening
di pelupuk mata gadis jelita di hadapannya. Yakinlah
Pendekar Slebor kini, kalau Hclephercs telah mening-
galkan diri Noliel. Enlah, apa sebabnya. Mungkin karena
rencana datangnya telah hancur.
Saat itu, Nofret butuh dukungan semangat dari
seseorang. Jiwanya tentu terguncang atas seluruh kejadian
teramat dahsyat yang baru kali ini dialami. Begitu pikir
Andika. Maka, cepal-cepat Andika menghampirinya.
Tubuh jelita Nofret lalu didekap eral-erat dan hangat.
Dicobanya memberikan kctenangan ke dalam diri gadis itu.
Nofret pun membalas dekapan si perjaka. Wajahnya
dipendam dalam-dalam di dada bidang Andika. Di sana,
isaknya termuntahkan.
"Sudahlah.... Kau tidak apa-apa...," ucap Andika
lembut.
"Tapi, semua ini begitu mengerikan, Andika," isak
Nofret.
"Kau akan baik-baik saja. Percayalah. Aku berrjanji
akan menjagamu." hibur Andika.
Di dada bidang si pemuda perkasa, cukup lama
seguk kecil Nofret terulur lamat. Agar lebih memberi rasa
tenang, Andika membelai-belai rambut hitam Nofret
lembut. Pemuda itu tidak memikirkan lagi tubuh halus di
balik baju tipis yang berada dalam dekapannya. Yang ada
dalam benaknya, kini hanya ingin menenteramkannya.
Sekarang? Ya, sekarang. Masa' dalam keadaan demikian,
niat usilnya harus muncul? Apalagi melihat tubuh Nofret
yang begitu menantang.
" Nofret..," sebut Andika setelah sekian lama ncrlalu.
"Boleh aku bcrtanya sedikit padamu?" Nofret mengangkat
wajahnya yang sembab. "Kau pernah dengar nama
Hctepheres?" sambung Andika.
Wajah Nofret berubah. Ada ketakutan
menghujamnya.
'Tak lis ill lakuL Katakan saja padaku."
"Beliala Ratuku, Andika. Penguasa Piramida Tonggak
Osiris ini...," jelas Nofret nyaris berbisik. "Aku merasa, dia
masih hidup. Karena, di piramida yang rnenjadi tempat
pemakamannya ini, tak pernah ditemukan jenazah."
Sementara berbicara, tangan Nolret bergerak lambat
di belakang punggung Andika. Lambat. Jarinya terbuka,
menegang kaku. Telapak tangannya menghadap punggung
Andika, siap menghujamkan satu pukulan 'Inti Es'!
Sementara, si calon korban yang berjuluk Pendekar
Slebor ini belum juga sadar. Padahal maut siap
melalapnya!
Dan.... Des!
"Khghhh!"
Mendadaksaja terasa bagai ada sebongkah besar
salju kutub utara merasuki dada Pendekar Slebor Rasa
sakitnya luar biasa. Lebih hebat daripada rajaman seribu
tombak bermata kembar! Di samping itu, karena terlalu
dingin yang terasa, di dada Andika justru malah terjadi
siksaan panas luar biasa.
Masih dalam dekapan Nofret, tubuh Andika melorot
lunglai.
"Hetepheres... roh wanita keparathhh! Rupanya kau
masih berada dalam diri Nofret!" rutuk Andika terbata.
Wajah Pendekar Slebor mendongak lemah.
Membiru. Bibirnya segera rnenjadi pecah-pecah. Dalam
gigilan yang teramat sangat, diberangusnya mata wanita itu
dengan tatapan sembilu.
"Kau salahbesar, Andika.... Ratu Hetepheres se-
sungguhnya tak pernah ada!" sentak Nofret, amat sangat
mengejutkan Pendekar Slebor. Lebih mengejutkan dari
pukulan mendadak yang luar biasa dinginnya tadi.
"Ap-pa..., mak-sudmu?"
"Aku adalah aku, Andika. Nofret! Hetepheres
hanyalah sebagian dari rencana yang dijalankan guruku. Si
Gila Petualang! Sebagai seorang murid, sudah sepantasnya
membantu untuk melunasi sakit hatinya pada dunia
persilatan!"
"Asta-ga.... Ja-di, semua ini benar-benar sudah dialur
demikian matang?" keluh Andika, mulai me-nyadari
maksud perkataan si Gila Petualang. Bukankah
sebelumnya lelaki tua itu mengatakan, kalau rencana
besarnya belum seluruhnya hancur?
"Apa kau tak merasa ganjil jika roh seorang wanita
yang telah mati ratusan tahun lalu, bisa mempelajari ilmu
‘inti Es’ yang diturunkan si Gila Petualang, guruku?"
Terjagalah Andika.dari kebodohannya. Hajaran demi
hajaran leka-teki rangsangan demi rangsangannya, dan
ancaman maut yang begitu rumit, membuatnya lupa
menyadari hal sekecil itu! Padahal, kesalahan kecil bisa
berarti amat besar! Berarti, ancaman buat nyawanya
sendiri serta nyawa undangan lain.
Siapa pun bisa lengah oleh musuh dalam selimut.
Tcrmasuk diri Pendekar Slebor sendiri. Termasuk para
undangan lain....
"Apa maumu sejkarang, Nofret?" tanya Andika
dirasuki kekecewaan dan penderitaan. Gigilan tubuhnya
makin mcnghebat. Bahkan sempat membuat kaki Nofret
yang menyangganya ikut bergetar.
"Aku harus membunuh. Itu perintah guruku. Semua
yang diundang ke tempat ini harus disingkirkan, agar
guruku puas. Sekaligus agar namanya tetap baik di dunia
persilatan...," papar Nofret dingin.
Masih bersimpuh lemah di lutut Nofret, Andika
mencoba mengucapkan kalimat dari dasar hatinya untuk
menggugah hati Nofret.
"Sungguh tak kusangka akan begini akhirnya, Nofret
Kukira, kau adalah gadis yang patut kucintai. Apa kau tak
tahu. aku telah memendam benih-benih perasaan tak
terlukiskan dalam dirimu?" pancing Pendekar Slebor, lirih.
"Maafkan aku, Andika. Aku tidak bisa membohongi
diri. Aku pun sebenarnya menanam benih cinta padamu.
Tapi, aku sama sekali tidak ingin mengecewakan guru.
Sekali lagi, maaf bila semua rasa cinta padamu kubunuh.
Dan nyatanya, aku berhasil membunuhnya meski dengan
amat sulit...," tutur Nofret tetap dingin.
Nampaknya, benar kata gadis itu. Dia telah berhasil
membunuh seluruh benih cinta yang berkecambah di
hatinya terhadap si perjaka perkasa. Pendekar Slebor.
Andika meneruskan tatapannya. Dia tahu, seorang
yang telah memiliki benih cinta tentu akan tersentuh
hatinya bila menatap langsung mata orang yang dicintai.
Namun, Nofret menyadarinya. Dihindarinya tatapan
menghujam Andika, dengan membuangnya jauh-jauh ke
tempat lain.
Begilu tangan Nofret terangkat, sekonyong-konyong
udara di sekitarnya berubah dingin membekukan. Uap di
sekitar tangan gadis itu bahkan telah berubah mcnjadi
butiran-butiran es kecil. Siap meremukkan batok kepala
Andika!
Dalam keadaan lemah seperti itu, bagaimana cara
Pendekai Slebor menyelamatkan diri?
"Hihl"
Tanpa menoleh lagi, sepasang tangan berhawa
memkukan Nofret turun deras ke sisi-sisi kepala Pendekar
Slebor.
Bagi Andika sendiri. jangankan menghindar.
Mengangkat tangan untuk menangkis hantaman maut
Nofret saja, sudah begitu sulit. Tubuhnya sudah setengah
membeku. Tapi. siapa lagi yang hendak menyelamatkan
dirinya?
"Wahai, Penguasa Semesta! Beri aku kekuatan!"
mohon Andika dalam hati dalam kejap-kejap menentukan.
Setelah itu. Pendekar Slebor memusatkan seluruh
perhatian kesatu titik terdalam direlung hatinya. Dia harus
berontak dari kebekuan itu!
"Heaaa!"
Beriring teriakan mengguntur yang menggetar
dinding lorong. Andika memecah kekakuan dalam dirinya.
Penghimpunan tenaga sakti yang dipusatkan, menentang
belenggu kebekuan dalam tubuhnya.
Plak!
Dan Andika berhasil menjegal hantaman tangan
Nofret. Bahkan dalam sekejap, langannya bergerak.
Sisa tenaga sakti di tangan digunakan dalam selang
waktu yang begitu singkat, untuk menghajar ulu hati gadis
jelita ini.
Dugh!
"Aaakh!"
Nolret kontan memekik. Tubuhnya kontan terlempar
deras ke belakang dan baru bertienti meluncur ketika
dinding batu alam kokoh menghadang. Dan bagian
belakang kepalanya pun terbentur keras.
Krak!
Terdengar suara tengkorak yang retak. Sesudah itu
sunyi. Nofret melorot perlahan, di sisi tembok tanpa nyawa.
Malaikat maut terlalu cepat menjemput dara mempesona
yang telah menjadi tumbal kebejatan gurunya.
"Nofret.... Nofret...," panggil Andika masih dalam gigil.
Ingin sekali pemuda itu memburu ke tubuh Nofret.
Mendekap dan memeluk erat-erat. Biar bagaimanapun,
Andika sadar kalau gadis yang sempat menitipkan pesona
dan tanda-tanda cinta itu sebenarnya hanyalah korban. Tak
lebih dari itu.
Apa mau dikata? Yang bisa diperbuat Pendekar
Slebor hanya menyilangkan tangan di dada. Rasa dingin
masih terus merajamnya. Tubuhnya menyusut sampai
tertelungkup rapat.
"Nofret..., maafkan aku...." Masih sempat terdengar
desis lirih pemuda itu.
***
Hari masih muda, mulai menggeliat di luar Piramida
Tonggak Osiris. Matahari menampakkan tepinya yang
matang kemerahan. Gurun cukup ramah. Sejuk adalah
sapanya.
Pagi itu, sisa para undangan berhasil keluar dari
piramida yang telah menuntut sekian tumbal nyawa.
Andika ditemukan rombongan Chin Liong yang berusaha
keluar dari tempat terkutuk itu.
Si Gila Petualang sendiri pergi meninggalkan
piramida dengan bara tetap mcmbakar di dada. Rencana
besarnya telah luluh lantak. Namun dia masih memelihara
sehimpun dendam. Itu sebabnya para undangan dapat
keluar dengan mudah setelah kepergiannya.
Di laut lepas sana. ada peisjalangan maut baru
menanti mereka…..,
Tunggu serial Pendekar Slebor Selanjutnya
PEROMPAK-PEROMPAK LAUT CINA
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar