Mengkonfirugasi teks

.....WELCOME.....

Mengkonfirugasi teks

SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA INI

PENDEKAR SLEBOR MACAN KEPALA ULAR


 


MACAN KEPALA ULAR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky









Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Macan Kepala Ular 

1

Sinar matahari naik cepat ke puncak hari. Tepat di
ubun-ubun setiap penghuni bumi, sinar tajamnya
menghujam. Dalam terik yang ganas itu, seseorang
melakukan semadi di tengah-tengah perbukitan pasir
tandus.
Badan orang itu amat kurus. Tulang iganya menonjol
keluar, cuma berbalut kulit. Kulitnya sendiri hitam. Tentu
saja bukan cuma akibat garangan sinar matahari saat itu.
Kulitnya memang hitam semenjak dia lahir ke bumi. Lelaki
kurus itu mengenakan semacam sorban dekil kecil di
kepalanya.
Bersemadi di puncak bukit pasir tandus serta di
bawah hujanan sengatan matahari saja sudah memancing
perhatian. Terlebih lagi karena dia seperti sengaja
membiarkan dirinya digarang sampai gosong dengan tubuh
terbuka tanpa pakaian cukup itu. Yang dikenakan cuma
kain penutup dekil di bagian ‘rahasia' saja.
Wajahnya terlalu asing untuk disebut sebagai
penduduk asli tanah Jawa. Hidungnya memancung
kelewatan. Agak membengkok seperti paruh burung
kakatua. Bibirnya tipis. Sedangkan matanya  yang  berbiji
besar, terpejam khusuk.
Tak seperti lazimnya cara semadi penduduk tanah
Jawa, orang satu ini melakukan hal itu dengan cara unik.
Kedua telapak tangannya bertemu di depan dada.
Sementara kedua telapak kakinya dipertemukan di atas
tengkuk! Dari kejauhan, tubuh lelaki itu terlihat seperti
hewan aneh negeri antah berantah....
Luar biasanya lagi, dalam keadaan yang begitu
menyiksa bagi orang lain, wajah si orang kurus bersorban
malah memperlihatkan ketenangan. Tak terbersit sedikit
pun mimik tersiksa.
Sementara karena kelewat hebatnya diganyang
panas, kulit lelaki bersorban menjadi demikian kering. Tak
ada lagi keringat. Bahkan kulit tersebut seperti 

memantulkan kembali sinar matahari. Sampai seorang
wanita datang tergopoh-gopoh padanya.
"Amitha, berhentilah kau melakukan yogamul Aku
perlu bicara!" bentak wanita yang juga berkulit hitam
'langsat'. Badannya sebesar biang kerbau. Kalau dihitung-
hitung, mungkin lemaknya bisa cukup untuk persediaan
makan orang satu rumah selama sebulan.
Wajah perempuan yang baru datang ini pun tak beda
dengan lelaki kurus bersorban. Hidungnya mancung dan
agak membengkok. Matanya besar dengan bulu mata
hitam pekat. Di antara sepasang alis lebatnya diberi tanda
titik hitam. Rambutnya hitam panjang, serta dikepang dua.
Dengan pakaian yang mempertontonkan perut
kendornya, perempuan itu  berlari-lari  mendekat. Bumi
menjadi 'gonjang-ganjing' akibat hentakkan badan
borosnya....
Dung! Dung! Dung!
Ngeri-ngeri, lelaki kurus yang dipanggil Amitha
membuka sebelah matanya. Menyaksikan perempuan
bengkak tadi datang, matanya cepat-cepat dipejamkan
kembali. Bibirnya sedikit meringis, meski dia sudah mati-
matian berpura-pura tidak tahu.
Tiba di depan Amitha, perempuan bengkak bertolak
pinggang. Perutnya yang selebar 'jagat' menaungi wajah
keling Amitha dari sengatan matahari. Itu bagus. Yang tidak
bagus,bau seperti lobak mentah justru langsung
menyengat hidung Amitha!
Amitha terbangkis.
"Hua... hua... chuihh!"
Kalau sedang melakukan yoga, Amitha biasa
mengendalikan inderanya. Dia bisa membuat telinganya
tidak menangkap suara-suara. Biasa membuat kulitnya
menjadi mati rasa. Atau bisa membuat hidungnya tidak
menangkap bau dan aroma. Tapi, aneh! Kalau giliran bau
istrinya, dia bisa mencium juga?!
Ya, perempuan bengkak itu memang istri Amitha.
Istri sah yang  dinikahi Amitha di tepian Sungai Suci 

Gangga, sebelum mereka berangkat ke pulau Jawa dengan
menumpang kapal dari Gujarat. Keduanya berasal dari
satu kasta yang sama. Mereka berasal dari kasta sudra*
Orang sudra hanya boleh menikah dengan sudra, begitu
aturannya.
Belum lagi sewindu masa pernikahan, Amitha sudah
merasa telah keliru besar mengawini perempuan bernama
Neelam itu. Bagaimana tidak begitu?
Dulu. Dulu sewaktu baru menikah di hadapan
pendeta tua Hindu,  tubuh Neelam begitu sintal, begitu
menggiurkan bagi lelaki mana pun. Wajahnya begitu
mempesona juga bagi lelaki mana pun. Memandang
matanya seolah menemukan keindahan purnama yang
tertangkap permukaan Sungai Gangga.
Tapi kalau sekarang, setelah hanya dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya, setelah mereka  menikah dan
berat perempuan itu langsung bertambah dengan pesat,
pesona Neelam berubah menjadi kiamat bagi Amitha.
Tubuhnya kini begitu menggidikkan... bagi lelaki mana pun!
"Kau jangan berpura-pura tidak mendengarku,
Amitha!" geram istrinya di depan Amitha. Geramannya lebih
menyeramkan dari seekor serigala betina kelaparan.
Amitha bergidik. Biasanya tangan besar Neelam bisa
seenaknya mendarat  sesuka hati. Bisa di ubun-ubunnya,
bisa di pipinya, bisa juga di tengkuknya. Tahu sendiri,
tangan orang sebengkak  itu pasti beratnya sama dengan
gada Manik Angkeran, musuhnya Damar Wulan dalam
cerita rakyat! Itu masih mending. Bagaimana kalau istrinya
tahu-tahu memeluntir kaki Amitha yang kebetulan
disangkutkan di tengkuk? Bisa-bisa dia benar-benar
menjadi hewan aneh!
Makanya Amitha langsung menyahut mendayu-dayu.
Sedikit merayu istrinya yang sedang marah-marah.
"Ada apa, Adinda Sayang...?"
"Ada apa, ada apa! Bangun kau! Kerjamu cuma bisa
yoga saja. Sana ke kotapraja! Cari kerja atau apa! Kita
butuh makan, tahu?!" semprot Neelam tak 

berperikemanusiaan.
Beringsut Amitha bangkit. Hatinya terus mengutuk-
ngutuk, sedangkan wajahnya dibuat tetap semanis
mungkin. Memang mesti begitu. Kalau tidak, bogem
Neelam bisa langsung melayang.
"Ayo sana cepat pergi!" usik Neelam.
"Baik Adinda...."
"Pergi!"
"Baik! Baik!"Tergopoh-gopoh, Amitha pergi dari
tempat itu.

***

Hari mulai agak bersahabat ketika Amitha tiba di
kotapraja. Sore jatuh melamat. Matahari condong
sepenggalan. Suasana kotapraja seperti hari biasa. Dari
awal pagi tadi sampai menjelang maiam nanti, denyut
daerah itu tak berhenti barang sejenak. Kalau hari mulai
agak larut, barulah sepi agak menguasai.
Sore itu juga Amitha tiba di sana. Selama hampir
sepertiga hari dia berjalan. Amitha memang harus begitu.
Kuda dia tidak punya. Uangnya saja tak cukup untuk
menyewa kereta reyot sekali pun.
Di tangannya ada semacam keranjang belanjaan
besar yang sebetulnya tak sesuai dengan ukuran badan
lelaki kurus itu. Tadi, sebelum dia benar-benar beranjak
jauh, istrinya memanggil santer. Diperintahnya Amitha
membawa keranjang belanjaan sekalian.
"Beli keperluan kita untuk seminggu!" begitu pesan
Neelam tegas, beringas dan mengancam.
"Tapi uangku hanya cukup untuk makan setengah
hari? Dengan apa aku membeli keperluan makanan untuk
seminggu?" keluh Amitha, berusaha membantah.
"Kerja! Kerja! Orang sudra tak akan bisa makan
kalau tidak kerja! Kita bukan orang-orang Ksatria*. yang
boleh uncang-uncang kaki sambil mengelus perut mereka
lalu menerima pajak dari perasan keringat orang-orang 

kecil seperti kita," sembur Neelam sengit.
Amitha ngeri kalau Neelam sudah bicara dengan
mata mendelik-delik. Bingung tidak bingung, lelaki kurus
itu jalan juga. Pesan istrinya yang lebih terasa sebagai
ancaman baginya tinggal bagaimana nanti saja. Mana bisa
dia belanja keperluan seminggu sementara uangnya cuma
cukup untuk makan setengah harian?
Ah, jalan satu-satunya dia harus kerja dulu untuk
memenuhi 'sabda' istrinya. Itu artinya dia tidak akan pulang
dalam satu dua hari. Itu artinya Neelam di rumah akan
menunggu lebih lama. Itu artinya....
"Hoi, jalan jangan bengong begitu! Apa kau mau
terlindas?!" bentak seseorang pada Amitha.
Amitha terkejut bukan main. Rupanya dia melamun
di tengah jalan kotapraja. Satu kereta kuda terhalang
olehnya. Dan itu menyebabkan sang sais menjadi gusar.
Amitha hendak meminta maaf, tapi kereta itu sudah
meluruk cepat.
"Ada-ada saja...," gumam Amitha.
Lalu Amitha berjalan gontai kembali di jalan
berdebu. Perasaannya serasa dijepit, mengingat dirinya
dilahirkan hanya sebagai orang sudra. Kenapa dia harus
dilahirkan sebagai sudra? Gumam hatinya, seperti
mencoba menghujat Tuhan. Apa memang Tuhan tak punya
cukup keadilan? Bukankah sewaktu dilahirkan semuanya
sama, tanpa pakaian dan embel-embel apa pun? Apa
Tuhan hanya memihak  para hartawan dan  bangsawan?
Kalau begitu, tidak perlu ada sorga, tak juga perlu ada
neraka. Bukankah kedua tempat akhir itu diciptakan untuk
menyempurnakan keadilan Tuhan yang tak ditegakkan
manusia secara benar di dunia?
Dunia... dunia, keluhnya membatin. Banyak jurang
yang telah diciptakan manusia sendirl Sudah terlalu penat
dunia ini dengan sekian dalih beberapa manusia dan
beberapa golongan untuk memelihara kepentingan sendirl
Amitha mengenyahkan segala pikiran tadi. Dia harus
cepat membereskan urusan. Ke kotapraja tujuannya 

hendak mencari keperluan hidup, sekaligus mencari
penghidupan. Bukan hendak menyesali nasib. Tapi, belum
lagi jauh Amitha beranjak dari tempat semula, dari arah
selatan terdengar teriakan menggidikkan seorang lelaki.
Teriakan tadi begitu giris di telinga Amitha. Me-
maksa lelaki kurus ini menoleh dengan mata membesar.
Ada apa? Tanya hatinya, penasaran.
Dilihatnya sekitar seratus depa dari tempatnya
berdiri, seorang bertelanjang dada sedang meregang-
regang di udara. Ada yang membuat tubuh kekar berotot
itu melayang setinggi belasan kaki. Selain itu, seperti ada
tenaga kasat  mata yang mencekik lehernya, membuat
orang tadi bagai direjam sakaratul maut!
Amitha berlari memburu ke tempat kejadian. Hatinya
dirasuki keingin tahuan membludak. Sementara berlari, dia
terus bertanya-tanya membatin. Ada apa? Tak lagi
dipedulikannya keranjang besar di tangannya. Seperti dia
tak peduli pada amukan Neelam nanti jika tahu dia malah
melancong ke urusan lain.
Ada hal yang sebenarnya membuat Amitha merasa
harus melihat kejadian itu dari dekat. Orang yang sedang
meregang maut di udara berasal dari negeri yang sama
dengan dirinya: India. Itu diketahui Amitha dari bentuk
tubuh dan wajahnya. Di tanah rantau yang jauh dari negeri
asal, selayaknya orang-orang seperti mereka saling
menolong, pikir Amitha.
Tiba di tempat kejadian, Amitha sudah nyaris
terlambat. Lelaki yang terapung di udara sudah mendekati
ajal. Regangan tubuhnya melemah, sebelum akhirnya
terjuntai tanpa gerak. Sebagai seorang yang cukup tahu
banyak tentang perihal tubuh manusia yang dipelajarinya
dari ilmu yoga, Amitha menyadari lelaki itu belum lagi mati.
Cuma, kalau dia sempat terlambat sedikit saja, maka
nyawanya akan benar-benar terlempar dari raga!
Untuk menolongnya, Amitha harus tahu dulu dalang
perbuatan keji  itu. Jika tidak, sama artinya dia hendak
mengeringkan sumur, kerja yang belum tentu ada hasilnya. 

Cepat mata cekung Amitha mencari biang keladi
perbuatan keji tersebut. Tak sulit menemukannya. Amitha
menyaksikan seorang lelaki berpakaian kelabu dari kulit
kerbau berdiri melipat tangan di dada. Tubuhnya tinggi
kekar. Berdada penuh bulu lebat Wajahnya di samping
memperlihatkan paras kejam, juga menakutkan. Kedua sisi
wajahnya tak memiliki keselarasan satu dengan yang lain.
Lobang hidungnya besar sebelah. Seperti juga matanya.
Sementara bibirnya sebelah kiri melekuk ke bawah, dan
yang sebelah kanan melekuk ke atas. Berkali-kali kulit pipi
sebelah kanannya bergerak-gerak. Ada ketidakberesan
saraf wajah lelaki itu.
Sambil mendeliki terus lelaki India yang mengapung
sekarat di udara, otot dadanya mengejang. Tampaknya
lelaki berwajah buruk sedang mengerahkan tenaga amat
kuat. Tenaga itulah yang pasti sedang merejang lelaki India
dengan cara yang aneh di udara. 

*** 

2

"Hei, berhenti, kau!"
Bentakan Amitha membawa  hasil. Lelaki
berkebangsaan India yang sedang melayang meregang
nyawa di udara saat itu juga terjatuh ke tanah bersamaan
dengan teralihnya perhatian lelaki berparas buruk.
Dengan mata membersitkan kegeraman tak
terhingga, si lelaki berparas buruk menatap Amitha.
Sebelah matanya yang sudah besar makin membesar.
Tanpa berujar apa-apa, dilepasnya senyuman mencemooh.
Satu sikap yang selalu ditampakkan oleh orang-orang
berjiwa angkuh, menganggap dirinya terlalu besar dan
hebat untuk orang lain,
Amitha tak mempedulikan hal itu. Cepat diburunya
lelaki India yang baru saja terjatuh. Keadaan orang itu kini
jauh lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya yang semula
membiru matang mulai kembali pulih. Pernapasan yang
semula bagai tercekik tangan makhluk gaib mulai pula
dapat berhembus kembali, meskipun masih tersedak-
sedak.
"Kau tak apa-apa, Saudara?" tanya Amitha, mencoba
memastikan  keadaan lelaki yang mencoba menyanggah
tubuh lemahnya dengan sebelah siku. Satu  tangan yang
lain memegangi lehernya.
"Kau terlalu nekat mencoba  menolongku,
Saudara...," rintih lelaki itu pada Amitha. Bukan dia tak sudi
ditolong. Namun, nampaknya dia lebih tahu siapa yang
tengah berurusan dengan mereka saat ini. Baginya, lelaki
dari satu negeri yang mencoba menolongnya telah
melakukan kesalahan besar. Dan itu menyangkut
persoalan nyawa!
"Kau tak tahu kalau kau telah mengusik manusia
iblis, Saudara," desah lelaki tadi, menambahkan.
Amitha mendengus seraya melepas tatapan benci
kepada lelaki berparas buruk.
"Apa pun kau sebut dia, aku tak bisa membiarkan 

kau diperlakukan semena-mena," tepis Amitha. Untuk hal
satu itu, Amitha memang tak memandang siapa pun. Tak
ada kata takut untuknya ketika dia harus melakukan
tindakan ksatria. (Entah kalau Nee¬lam)!
Si lelaki sebangsa yang dibantu berdiri menggeleng-
gelengkan kepala.
"Kau tak lihat bagaimana dia melakukan perbuatan
tadi pada diriku, Saudara? Dia itu manusia iblis. Matanya
mampu mengeluarkan kekuatan yang mengerikan...,"
desisnya. 
"Sebaiknya, kau cepat pergi dari sinl Jangan pikirkan
aku...."
"Aku tak  akan pergi sebelum memastikan kau
selamat," tandas Amitha tegas.
Mendadak terdengar ledakan tawa deras di
belakangnya. Tawa serak bernada terpecah itu melompat
keluar dari tenggorokan lelaki berparas buruk.
"Kau merasa telah cukup hebat untuk menentangku,
Orang Kurus?"
Amitha menoleh mendengar hinaan tadi. Mata
besarnya membeliak marah. Cuping hidungnya meninggi.
"Tak ada yang perlu kutakuti. Kau pikir dengan wajah
menyeramkan dan kekuatanmu tadi aku menjadi takut
untuk menghadapi kelalimanmu?"
Lelaki berparas buruk tertawa lagi.
"Kalau begitu, nyawamu akan menggantikan nyawa
rekan Indiamu itu!" ancam si lelaki buruk, menandaskan.
Amitha menggeram. Dia sudah tak peduli lagi.
"Jangan...," cegah lelaki India tadi, sekali
memperingati ketika Amitha hendak beranjak mendekati si
lelaki buruk. "Kalau tadi saja dia hendak membunuhku
dengan cara yang begitu menyakitkan hanya karena aku
tak sengaja melanggarnya, apa yang bakal ia perbuat
padamu kalau kau menentangnya seperti itu? Kumohon
padamu Saudara, sebaiknya kau  cepat menyingkir dari
sini."
Amitha mendengus. 

"Kumohon padamu, Saudara. Sebaiknya kau
mengetahui bahwa kelaliman di atas bumi ini tidak bisa
didiamkan saja," sahut Amitha tegas.
Lalu lelaki India naas tadi tak bisa lagi menahannya.
Amitha telah telanjur  melangkah ke dalam bahaya yang
dianggapnya harus dihadapi demi sepotong kebenaran,
meski dia sadar nyawanya bisa saja melayang karena itu.
"Sekarang apa maumu?" tantang Amitha jumawa.
Lelaki berwajah buruk tergelak. Suara tawanya
meninggi seperti melompati ruang di atas ubun-ubun awan.
"Kau akan segera mampus!"
Di akhir ancaman tak main-mainnya, sebelah mata
lelaki buruk tadi mendadak membesar. Mata yang besar
sebelah itu menjadi memerah. Seperti ada aliran darah
berlebihan meruyak ke aliran darah di matanya. Amat
pekat, amat menakutkan.
Dan sebentuk tenaga dahsyat kasat mata kala itu
juga menerjang Amitha. Amitha merasa lehernya ada yang
mencekik dengan kekuatan regangan seratus tambang
kapal.
"Aaakh...."
Hanya erangan yang mampu dikeluarkan
kerongkongan lelaki kurus dari India itu.
Amitha tak bisa memahami apa yang telah dilakukan
oleh lelaki berparas buruk terhadap lelaki tadi,  dan kini
terhadap dirinya sendiri. Semuanya begitu aneh bagi
Amitha.
Tubuh Amitha meregang, berkutat untuk
membebaskan jalan napas di kerongkongannya. Setiap kali
dadanya hendak menarik udara, saat itu juga dia
merasakan rasa sesak teramat sangat. Perlahan-lahan,
wajah Amitha berubah kebiru-biruan. Kulit wajahnya yang
hitam makin membuatnya terlihat matang. Matanya
membeliak-beliak.
Kalau semula lelaki berparas buruk begitu
bersemangat melepas gelak tawa, kini dia justru
memperlihatkan garis wajah keras mengejang. Sebelah 

pipinya terus saja bergetar-getar. Napasnya tertarik dan
terlepas teratur serta panjang. Juga terdengar mendesis
sesekali.
Seperti lelaki sebelumnya, Amitha pun merasakan
tubuhnya mulai terangkat naik. Perlahan tapi pasti dia
terangkat semakin tinggi. Sementara itu, sekujur otot-otot
tubuhnya mengejang keras. Amitha menggeliat-liat liar.
Pandangannya mengabur dan mengabur, seiring  dengan
siksaan yang mendera sekujur tubuhnya.
Menyaksikan Amitha meregang maut seperti itu,
lelaki India rekannya menjadi nekat. Tak adil baginya jika
dia tak peduli pada keadaan Amitha, sementara
sebelumnya dia telah ditolong Amitha. Dia memang takut,
menyadari bagaimana hebatnya lelaki berparas buruk itu.
Tapi, dia tak ingin dianggap pengecut.
Terhina rasanya jika dia lari membiarkan orang yang
menolongnya dari kematian justru mati menanggung
akibatnya.
"Bajingan kau!"
Tanpa mempedulikan keadaan yang masih terlalu
lemah untuk melakukan serangan, lelaki tadi menerjang si
lelaki berparas buruk. Cara menyerangnya tak teratur,
menandakan dia bukanlah seorang warga persilatan.
Belum lagi sampai ke arah sasaran, tangannya sudah
terayun liar entah ke mana.
Memang, lelaki India itu bukanlah warga persilatan.
Dan di sana terlihat bagaimana tak tahu malunya si lelaki
berparas buruk telah memperlakukan orang lemah seperti
dia.
Setibanya di dekat si lelaki berparas buruk, lelaki
tadi mencoba menyarangkan pukulan sekenanya ke wajah
lelaki berparas buruk.
Sebelum sempat hantaman mendarat, lelaki
berparas buruk tiba-tiba saja mengalihkan bola matanya
kepada penyerang. Sebelah matanya membersitkan sinar
kemurkaan berbaur dengan sinar kekejian. Tak sampai
sekedipan mata, terjangan lelaki India tadi tertahan 

seketika. Tangannya yang sudah terangkat tinggi-tinggi
menjadi kaku di udara saat itu juga.
Lelaki India tadi menjerit. Otot di sekujur tangannya
seperti ditarik paksa oleh empat ekor kuda  jantan! Pada
saat yang sama, tubuh Amitha meluncur menghantam
tanah.
Terdengarlah teriakan keduanya menyatu menjadi
satu.
"Akkhhh!"
"Teriakan demi teriakan susul-menyusul. Yang
terakhir terpelanting keluar dari tenggorokan lelaki India
tadi. Tampaknya dia merasakan siksaan yang diterimanya
meningkat beberapa kali lipat, menyusul hentakan suara
lelaki berparas buruk. Dirasa tulang di bagian lengannya
hendak diremukkan dari dalam. Sedangkan sendinya
hendak tercerabut
Itu bukan sekadar perasaan si lelaki India. Karena
tak lama kemudian, bagian siku di lengannya be-nar-benar
terkuak seperti potongan dahan kering yang dipatahkan.
Krrk!
Dari bagian kulit yang terkoyak, bersemburan darah
segar, menyiram bumi, dan memerciki sebagian wajah
lelaki berparas buruk. Selanjutnya, tangan lelaki tadi benar-
benar terlepas dari sikunya!
Menyaksikan terjatuhnya bagian tangan korban,
orang yang melakukan perbuatan keji itu tergelak-gelak
diberondong kegiranganyang mengerikan. Darah korban
yang menempel di sebagian wajahnya disapu dengan
telapak tangan seiring seringainya.
Lalu seperti seekor kelelawar penghisap darah,
dijilatinya darah dari telapak tangan.
"Manusia iblis!" kutuk Amitha, menyaksikan kejadian
mengerikan tadi. Sekarang dia mulai mengerti kenapa
lelaki yang senegeri dengannya meminta dia agar tidak
berurusan dengan manusia satu ini. Lelaki itu benar. Orang
berparas buruk memang bukan lagi manusia, melainkan
iblis berwujud manusia! 

Dijerang kemarahan meluap-luap dan napas yang
memburu, Amitha hendak menerjang lelaki buruk tadi. Apa
pun akibatnya, dia tak ambil peduli, yang ada dalam dirinya
saat ini cuma kebencian mendidihkan segenap kemurkaan
dan keberaniannya.
Belum lagi Amitha benar-benar menerjang, dari
kejauhan terdengar siulan bernada tinggi. Dari suaranya,
terdengar kalau siulan itu dilepas dari jarak yang amat
jauh. Sepertinya suara tinggi dan panjang tadi telah
melanglangi langit lalu mendarat di tempat itu.
Mendengar siulan, lelaki berparas buruk melirik ke
satu arah, di mana siulan tadi berasal. Tangannya merogoh
sesuatu dari balik baju di bagian dada. Sebentuk mata
kalung dari ujung tanduk rusa dikeluarkan. Lalu benda
sebesar jari telunjuk berbentuk pi-pih setengah lingkaran
dan memiliki lubang di satu sisinya itu ditiup. Maka,
terdengarlah siulan yang serupa dengan siulan di kejauhan
sebelumnya. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diduga
Amitha bahwa orang itu sedang menjawab pesan yang
diterima melalui siulan pula. Selesai meniup mata
kalungnya, tanpa mempedulikan dua korban
kekejamannya, dia melenting bagai tanpa bobot dari  satu
atap ke atap lain. Sampai akhirnya dia menghilang di
sebelah barat seolah diterkam matahari senja.

***

Neelam didatangi tiga orang asing. Seorang
perempuan muda, dan dua lelaki. Yang perempuan
memiliki wajah cantik mengundang hasrat lelaki. Dari
wajahnya seolah terpancar kuat godaan birahi. Matanya
berbulu lebar, merangsang namun berkesan jahat. Bibirnya
merah ranum, namun selalu tampak menyimpan seringai.
Kulit putih  halus tanpa cacatnya terbungkus seronok
dengan pakaian yang terbuka lebar pada bagian punggung
dan perut, makin  memadatkan kesan menggoda pada
dirinya. Sedang dua lelaki di sisinya bertampang kelewat 

bengis. Salah seorang adajah lelaki yang berurusan dengan
Amitha di kotapraja. Yang lain, berwajah tak kalah
menggidikkan. Tubuhnya cebol dengan wajah melebar.
Hidungnya pesek. Matanya besar dan mencekung dalam.
Tulang pipinya menonjol dengan kudis sebesar uang logam
di pipi kiri. Kepala lelaki cebol ini gundul. Berpakaian
kebesaran dari kulit ular sanca.
Wajah ketiganya tak sebetik pun memperlihatkan
sikap manis ketika menegur Neelam. Wanita India
kelebihan lemak yang ditegur saat itu sedang merajut
keranjang buah yang biasanya dijual untuk mendapatkan
nafkah.
"Hei perempuan!" sapa lelaki cebol.
Neelam menoleh acuh. Karena dia tak suka pada
cara  si lelaki cebol menegur, kembali dia melanjutkan
menganyam.
"Hei, aku bicara padamu!" bentuk si cebol
berangasan.
"Aku tak sudi menyahuti teguran orang tak tahu
adat," gerutu Neelam.
"Bangsat!" si  cebol gundul mengutuk. Dia hendak
maju menghajar bokong gempal Neelam yang
membelakangi. Tapi, tangan perempuan cantik di se-
belahnya cepat menahan.
"Kami cuma ingin bertanya," ujar perempuan cantik
tadi pada Neelam.
"Apa yang hendak kalian tanyakan?" Untuk
perempuan cantik itu, Neelam masih bersedia menyahut,
meski badannya tetap tak dihadapkan ke arah tiga orang
tadi.
"Apakah kau berasal dari negeri India?" susul
perempuan cantik.
"Ada urusan apa dengan kalian?" sahut Neelam
ketus. Dilemparnya anyaman keranjang yang baru saja
diselesaikan ke tumpukan. Diambilnya  potongan bambu
tipis dari tumpukan di sisinya. Dia memulai anyaman baru.
"Jika benar kau dari negeri India, kami ingin mencari 

tahu tentang satu hal...."
"Aku tak ada waktu. Kau lihat aku sedang bekerja?"
"Sebaiknya kau menjawab pertanyaan kami,
Perempuan  Gemuk! Kami tak mempunyai waktu untuk
bertele-tele!" si cebol mulai berangasan kembali.
"Kalau begitu, kenapa kalian tak segera saja
menyingkir dari sini?!" ketus Neelam.
"Kau terlalu memaksa kami untuk berlaku kasar
padamu...," kata perempuan cantik kembali. "Jadi, jangan
salahkan kami kalau...."
Kalimat perempuan cantik tadi belum lagi selesai,
Neelam sudah  bangkit dengan wajah garang. Lemak di
sekitar perut tambunnya berayun-ayun karena dia begitu
bergegas. Kalau lemak di perutnya saja begitu, jangan
tanya 'daging lebih' di bagian dadanya!
"Kalau aku tak mau bicara, kalian mau apa, hah?!"
hardik Neelam, menantang sekali. "Jangan mentang-
mentang aku ini cuma orang kecil, lalu kalian menganggap
bisa berbuat seenaknya padaku!" semburnya kembali
menggebu-gebu, berapi-api.
"Perempuan jahanam!" Meledak sudah kegusaran si
orang cebol.  Ditepisnya tangan perempuan cantik yang
mencoba menahan kemarahannya.
"Biar kukuliti kulit berlemaknya!"
Neelam diserang si cebol.
Kalau dilihat perbedaan tubuh antara Neelam denga
orang cebol yang menerjangnya, sungguh seperti kerbau
betina bengkak dengan anak kunyuk botak.
"Uaaah!"
Dengan kepala gundulnya, si cebol menyeruduk
perut kelebihan lemak Neelam. Gerak larinya berangasan.
Semangat seekor domba sabung tak ada apa-apanya
dengan keberangasan lelaki kekurangan tinggi tubuh ini.
Neelam tertawa. Dia geli melihat bagaimana lucunya
cara menyerang si cebol. Di benaknya, terbersit pikiran
untuk membiarkan perut besamya di tanduk kepala lawan.
Dia pikir, orang sebogel itu tak akan memaksa tubuhnya 

terpental ke belakang. Sakit saja mungkin tidak. Bahkan
mungkin dia justru akan memaksa tubuh lawan terpental
balik dengan sedikit sentakan pada otot perutnya.
Geliat pikiran Neelam bertolak belakang dengan
kenyataan. Ketika....
Begh!
Tepat manakala kulit kepala klimis si cebol men-
darat di perut Neelam, tubuh perempuan subur India itu
mencelat ke belakang. Ibarat sebatang daun kering
terhajar hantaman godam raksasa!
Dalam kancah rimba persilatan, kedigdayaan se-
seorang tidak diukur dari bentuk tubuh, melainkan dari
seberapa hebat dia menguasai jurus-jurus, tenaga dalam,
kelincahan serta ajian-ajiannya. Biarpun  ukuran tubuh
lawan terlalu kecil dibanding Neelam, namun kesaktiannya
justru jauh di atas Neelam. Apa-lagi modal Neelam
hanyalah ilmu bela diri biasa yang baru dipelajarinya di
tanah Jawa. Tenaga dalam sempat pula dipelajarinya. Tapi,
apalah arti tenaga dalam yang baru dilatih selama
beberapa bulan?
Tubuh besar perempuan India itu akhirnya jatuh di
dalam gubuk, setelah sebelumnya menjebol  dinding kayu
randu.
"Cebol busuk! Akan kulumat tubuhmu...," ge-ram
Neelam terbata. Perutnya didekap kuat. Napasnya seperti
ditahan oleh cekikan rantai baja. Sesak luar biasa.
Susah payah, Neelam bangkit. Untuk orang
kelebihan bobot seperti dia, mengangkat  tubuh adalah
pekerjaan paling menyiksa. Terlebih setelah menerima
hantaman hebat di bagian perut.
Melalui lubang besar di dinding gubuknya, Neelam
keluar lagi, menggiring golak kemarahan yang paling
ditakuti suami tercintanya. Kaki sebesar telapak badak
menghantami lantai tanah, membayangkan bagaimana
gusarnya dia dengan si cebol. Kalau ada sekawanan tikus
bersarang di bawah lantai gubuknya, dijamin mereka akan
terkena serangan jantung seketika! 

3

Mentari boleh ngotot mengganyang siapa saja. Boleh
menyuburkan perasaan tersiksa dalam diri siapa pun
dengan gempuran panasnya Siang di musim kemarau yang
melibas tanah Jawa memang sama sekali tak bersahabat.
Jangan lagi manusia, tetumbuhan dan binatang  pun
menelan bulat-bulat akibatnya. Rerumputan menjelma
sekering jerami. Pohon tergunduli. Tanah retak-retak.
Sawah sekarat.
Kemarau kali ini adalah kemarau terburuk selama
sepuluh tahun belakangan. Bencana sepertinya tersebar
merata ke segenap pelosok Jawa Timur, Barat, atau
Tengah. Lumbung padi milik rakyat kembang-kempis. Sisa
padi mungkin cuma cukup untuk persedian seminggu dua
minggu. Sementara, kemarau belum lagi diketahui
juntrungannya kapan hendak selesai.
Debu kering berlarian sekehendak hati. Menggiring
bibit-bibit penyakit menular mengerikan ke mana pun
mereka melayang. Korbannya sudah ratusan orang. Dan
belum pasti akan berhenti dalam bulan-bulan belakangan.
Malaikat maut tak pernah peduli untuk mencabut nyawa
siapa saja. Tua atau muda. Perempuan atau lelaki. 
Banyak orang bijak berpendapat, kejadian itu
sekadar isyarat. Orang-orang tanah Jawa telah banyak
melupakan sang Khalik, ujar mereka. Bumi yang ber-tasbih
selalu pada Penciptanya, mulai uring-uringan karena
banyak insan berubah jadi hewan di atas ubun-ubunnya.
Mereka berjalan dengan segenap ke-angkuhan dan
kerakusan. Jadi, ratakan saja dengan tanah! Agar mereka
tak bisa lagi membusungkan dada terlalu tinggi dan
meraup sekehendak nafsu. Wabah dan bencana pun
tercipta.
Bagi seseorang yang kini tampak berjalan di tanah
pematang kering, siksaan panas luar  biasa tak pernah
terlalu mengusik hari-harinya. Terus ke barat dia berjalan.
Tanpa beban. 

Orang ini berusia muda. Tampan. Kekar berotot.
Rambut panjang ikal sebatas bahu. Tanpa tataan, anak
rambutnya jadi meliuk-liuk liar diterpa angin panas.
Pakaiannya hijau-hijau. Di bahunya berkibaran kain
bercorak catur, berlomba dengan gerakan lemah gemulai
anak rambut.
Sejenak kakinya berhenti melangkah pada
percabangan pematang kering. Ditebarnya pandangan ke
sekitar. Di sana-sini yang ditemukan cuma petak-petak
kering kerontang. Angin mengikir permukaan-nya yang
berubah menjadi debu.
Bibir tipisnya meringis. Satu tangannya mengu-sap-
usap perut.
"Jangan-jangan, besok aku sudah tak bisa makan
nasi lagi.... Syukur-syukur masih bisa ketemu ubi.  Kalau
yang ada cuma sandal  bakiak? Apa aku mesti makan
sandal bakiak?" gumamnya.
Ah, gara-gara alam uring-uringan semuanya jadi
scngsara. Bahkan yang tak berdosa pun jadi ikut susah,
bisik batinnya. Barangkali, supaya semua manusia sadar
bahwa memelihara amanat sang Pencipta adalah tanggung
jawab bersama.... Jangan ada yang seenak udel mengeruk
untuk membuat gendut perut sendiri!
Usai berbincang dengan diri sendiri, anak muda itu
melanjutkan langkah.
Dia tentu saja Pendekar Slebor. Tujuannya tak jelas.
Dia sendiri belum yakin benar  apa benar-benar berniat
melangkah terus ke arah barat. Di mana-mana keadaannya
nyaris sama. Kekeringan, kekerontangan!
Melewati hamparan  sawah kering, anak muda itu
sampai di lembah berbukit. Di sana juga kering. Di tengah-
tengah lembah, matanya menemukan  satu gubuk kecil.
Sepi saja di luar. Terlihat tak ada satu manusia pun.
Namun, bukan berarti tidak ada orang. Siapa tahu
pemiliknya sedang berada di dalam.
Pendekar Slebor melangkah ke sana. Kerong-
kongannya sudah seperti karet terbakar. Terlalu kering, 

hingga seperti melekat satu sama lain. Dia perlu sedikit
minum. Barangkali orang di dalam gubuk bisa  memberi
seteguk dua teguk air pelepas dahaga, harapnya.
Sampai di sana, Pendekar Slebor malah disuguhkan
pemandangan yang membuat kerongkongannya makin
kering. Disaksikannya seorang perempuan gemuk
tergeletak menjadi mayat. Tubuhnya tergeletak di belakang
gubuk dalam keadaan menyedihkan, kalau tak cukup
dibilang mengenaskan. Burung-burung pemakan bangkai
yang kelaparan dan akhir-akhir ini kebanjiran rezeki karena
banyak yang mati sekali ini mendapat santapan besar.
Ada sekitar tujuh ekor burung pemakan bangkai
mulai mencabik-cabik tubuh berlemak mayat perempuan
tadi. Satu sama lain saling menguasai bagiannya. Dengan
tamak dan rakus, mereka akan mematuk yang lain jika
merasa bagiannya diserobot.
Pendekar Slebor mengambil batu. Dilemparnya batu
itu untuk mengusir burung-burung pemakan bangkai.
Binatang-binatang itu pun berhamburan ke angkasa,
terbang dengan riuh rendah koakan yang memaki-maki
perbuatan Andika.
"Koak! Koak! Koak!" teriak mereka merangas.
"Kau yang 'koak'!" balas Pendekar Slebor bersungut-
sungut.
Anak muda itu lalu mendekati mayat perempuan
tadi. Seorang perempuan India. Neelam. Perempuan itu
tertimpa nasib malang di tangan si cebol. Si cebol dan dua
rekannya sendiri sudah tak ada di sana. Entah ke mana
mereka.
Pendekar Slebor meneliti sejenak. Debu menutupi
sebagian mayat Neelam. Dalam musim kemarau seperti
sekarang, wajar saja debu cepat campur tangan. Tapi kalau
menilik tebalnya debu, Andika yakin perempuan itu belum
lama mati. Lebih jelas lagi ketika dia melihat genangan
darah yang sudah agak mengental di samping leher
Neelam. Darah itu rupanya terpaksa keluar dari mulut
karena satu hantaman hebat di bagian dada. 

Untuk meyakinkan  dugaannya, Pendekar Slebor
memeriksa bagian dada mayat perempuan itu. Matanya
membesar menyaksikan bagian kiri mayat ternyata
mencekung dalam. Lebarnya sebesar telapak tangan
bocah kecil. Dalamnya sekitar setengah jengkal.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan itu makin
yakin saja kalau cekungan itu bekas pukulan tinju
seseorang ketika menemukan bentuknya yang mirip
kepalan. Tapi kalau menilik ukurannya, Pendekar Slebor
jadi ragu lagi. Apa mungkin seorang bocah dapat
melakukan hal sehebat itu? Sebab, menurutnya bukan
sembarang orang dapat melakukan. Pukulan itu adalah
hasil olahan sempurna tenaga dalam tingkat tinggi.
"Bocah kecil?" desisnya, masih tetap bersimpuh di
sisi mayat. Ingat bocah, dia jadi ingat Walet. Anak  itu pun
memiliki kesaktian tinggi. Tapi, dia bukan bocah
sembarangan. Dia sesungguhnya adalah titisan seorang
pangeran. (Lihat ceritanya dalam episode: "Mustika Putri
Terkutuk", dan "Bayang-Bayang Ga-ib").
Lalu apakah orang yang membunuh mayat
perempuan ini juga bocah ajaib seperti Walet? Andika
belum bisa memastikan. Selanjutnya, kembali diteliti mayat
tadi. Di tangan kanannya, anak muda itu menemukan satu
kalung. Tentunya kalung itu tersambar tanpa sengaja
ketika bertarung dengan lawannya, duga Andika.
Diperhatikannya kalung itu seksama. Mata kalungnya
terbuat dari  ujung tanduk rusa. Besarnya seukuran jari
telunjuk. Berbentuk pipih setengah lingkaran dan memiliki
lubang di satu sisinya.
"Tampaknya ini semacam peluit," reka Pendekar
Slebor. "Dengan benda ini, kuharap aku akan menemukan
pembunuh perempuan ini," tekadnya. Selaku seorang
ksatria sejati, tak pada tempatnya kalau Pendekar Slebor
tak mau ambil peduli. Memang, dia sama sekali tidak tahu
jelas persoalannya. Kemungkinan kalau mayat perempuan
itu adalah seorang tokoh sesat pun ada di benaknya. Tapi,
bagaimana kalau perempuan itu justru orang teraniaya? 

Untuk itu Andika merasa harus lebih jauh terlibat.
Kecamuk rasa penasaran di hati Pendekar Slebor
diberangus teriakan menggila seseorang di belakangnya.
"Neelaaaam! Wuaaa haaa!"
Andika terlonjak kaget. Dia sampai  melompat tak
sadar seperti seekor anak kunyuk. Tolol sekali ke-
lihatannya. Padahal Andika sebal kalau dirinya terlihat tolol
tanpa disengaja seperti itu. Maunya dia, kalau kaget ya
kaget saja. Tidak usah pakai melompat seperti itu segala.
Ya, yang namanya kaget masa' bisa diatur?
Orang yang baru datang ternyata Amitha. Dia
kembali ke tempat tinggalnya dengan perasaan tak
menentu. Lelaki di pasar yang berasal dari negeri yang
sama dengannya telah mati kehabisan darah. Sebelum
berangkat pulang, Amitha telah mengurus jenazahnya
dengan tata cara adat dari negeri mereka. Meski
sederhana, Amitha berharap dia telah melakukan dengan
sebaik-baiknya.
Tujuan semula untuk belanja keperluan sehari-hari
atas 'titah' istrinya sudah menguap dari benak lelaki itu.
Pikirannya terus saja digerayangi peristiwa di pasar tadi.
Setibanya di rumah gubuknya, betapa terperan-
jatnya Amitha menyaksikan sang istri. Dari kejauhan,
dilihatnya tubuh istrinya sudah membujur kaku di depan
seseorang tak dikenal tahu 'Adinda' tercinta yang sekaligus
dibencinya habis-habisan mati menyedihkan, lelaki itu jadi
mata gelap. Bukan sedih lagi pasti. Setidak-tidaknya
perasaan Amitha sebanding dengan kesedihan seribu satu
ditambah seribu satu
kakek pikun kehilangan istri kelima! Wih!
"Kau apakah dia anak muda keparat?! Kau apakan
dia?! Haaa!" teriak Amitha meledak-ledak selagi berlari
serimpungan mendekati jenazah Neelam.
"Jeee, memangnya aku apakan?" tangkis Andika
tersurut.
Andika beringsut ngeri-ngeri dari tempat semula.
Melihat penampilan Amitha saat  itu, seperti menyaksikan 

setumpuk tahi lalat sedang berlari. Hitam, dekil, bau....
Amitha menubruk mayat Neelam. Dia seseguk-an di
atas (maaf) pusar mancung istrinya. Membuat bangkai
empuk itu bergoyang-goyang bak alunan ge-lombang lautan
teduh. Sudah buyar begitu saja ajaran-ajaran yoga yang
selama ini dicoba didalaminya. Padahal yoga menekankan
pada seni penguasaan tubuh dan pikiran. Sekarang,
pikiran dan perasaan Amitha lebur jadi bubur. Keraknya
malah!
Puas sesegukan, diangkatnya kepala. Lagipula,
kalau terlalu lama dia bisa jatuh pingsan diserang baunya.
"Kau membunuhnya bukan?!" hardik Amitha dengan
mata berpijar-pijar pada Pendekar Slebor.
Andika serba salah. Mulutnya mengobral se-nyum
badak!
"Bukan aku, Saudara...," aku Andika jujur.
"Memang kau!"
"Bukan Saudara...," kata Andika lagi, berusaha
bersabar.
"Ah, memang! Memang! Memang!" 
"Kutu kupret!" jengkel Pendekar Slebor dalam hati.
Apa dimusim kemarau otak orang-orang jadi meleleh?
Masa' tak ada angin tak ada kentut, menuduh orang
seenaknya?
"Aku menemukan dia sudah menjadi mayat,
Saudara!" tandas Pendekar Slebor, mulai naik juga da-
rahnya.
"Aku juga!"
"Maksudku, aku tidak membunuhnya! Mengerti
tidak?!"
"Huu-huu-haaa!" Amitha mulai merengek-rengek lagi.
Air matanya terburai-burai, berlinangan melimpah. Aneh
juga kalau mengingat saat itu sedang kemarau panjang.
"Jadi siapa yang telah membunuh dia kalau ternyata
kau tidak mengaku?!" cecar Amitha kembali.
Entah karena tidak tahu lagi pada siapa harus
menumpahkan segala kegundahan, kesedihan dan 

kemarahan. Segalak tikus sawah Amitha melabrak
Pendekar Slebor juga. Nah lo! Kena getahnya anak muda
itu....
"Kau harus mati! Bayar nyawa istriku! Heuaaa!"           
"Bayar? Seenaknya menyuruh orang bayar. Memangnya
aku hutang apa sama dia?" rutuk Pendekar  Slebor
membatin. Sampokan telapak tangan selebar tiga kantong
kemenyan milik Amitha dihindarinya tanpa kesulitan.
Amitha jelas bukan tandingan nama besar Pendekar
Slebor. Sama sekali bukan. Amitha cuma seorang lelaki
biasa yang hanya memiliki keahlian yoga. Itu pun terbilang
tanggung. Jurus-jurus hebat dia tak punya. Apalagi ilmu
kanuragan yang sang-gup membuat bocor jidat seseorang.
Buktinya, di kotapraja dia dijadikan bulan-bulanan empuk
lelaki berwajah jelek.
Untunglah Pendekar Slebor masih punya pikiran
sehat. Biarpun dongkolnya sudah berdenyut-denyut seperti
bisul, Andika tak akan meladeni kekalapan tolol Amitha.
"Sudah! Sebaiknya aku pergi saja! Nanti kalau kau
sudah dingin, aku akan kembali! Aku janji akan mencari
siapa yang bertanggung jawab atas kematian istrimu!"
tukasnya mengakhiri. Setelah itu dia buron dengan
mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.
Tinggal Amitha meraung-raung sendiri sambil
mengacung-acungkan tinjunya.
Sekian jam berlalu sesudah menyingkirnya Pendekar
Slebor, Amitha sudah kekeringan air mata. Matanya
bengkak sembab. Sesekali dia masih terisak. Untuk
seorang lelaki, dia tak keberatan dibilang cengeng. Baginya
Neelam adalah segala-galanya setelah dirinya. Biar
gembrot, cuma dia satu-satunya orang yang dimiliki Amitha.
Buat Amitha, cintanya tulus. Murni. Putih. Cinta
sejenis itu, tak pernah dan tak perlu memandang zahir.
Cintanya datang langsung dari Hang hati. Ya, biar orang
bilang dia beristrikan gentong arak sekali pun, kalau cinta
mau bilang apa?
Terbayang kembali hidupnya bersama Neelam. 

Pahit, getir dan manisnya hidup dilalui bersama. Biarpun
lebih banyak getirnya....
"Neelam. Aku berjanji akan menuntut balas
kematianmu! Akan kucari pembunuhmu dan akan kubunuh
dia! Aku bersumpah Neelam! Aku  bersumpah!" ucap
Amitha di dekat perapian jenazah istrinya. Dengan upacara
sederhana, dia membakar jenazah Neelam. sebagaimana
kepercayaan yang dianut selama hidup.
Kayu pembakar. Bunyinya bergemeletakan. Api
mengangkasa. Merahnya seperti hendak membakar langit.
Dalam gerak jalan lidah api, Amitha menusukkan
pandangan. Matanya pun memendam api. Lebih panas
dari pembakaran jenazah, lebih merah dari darah.
Lalu di antara tabir api, lamat-lamat disaksikannya
wajah Pendekar Slebor, orang yang dianggap bertanggung
jawab atas kematian Neelam.
"Aku bersumpah Demi Dewa akan kubunuh kau...,"
desisnya.

*** 

4

Tak habis-habisnya Pendekar Slebor menyumpahi
kesialannya hari ini. Bertemu Amitha, baginya tak lebih dari
kesialan. Menyakitkan kalau dirinya dituduh untuk satu
perbuatan yang tidak dilakukan. Sudah begitu,
tenggorokannya urung mendapat siraman air. Padahal
dahaganya sudah keterlaluan sekali.
Sementara ini, dia akan melupakan dulu soal kalung
yang didapatnya dari tangan mayat Neelam. Sumpah
mampus, dia tak ingin mati kehausan.
Kebetulan dilewatinya satu sumur  terbengkalai di
balik bukit wadas. Tampaknya, sumur itu sengaja dibuat
untuk tempat minum para buruh pengangkut batu.
Dijulurkannya kepala ke mulut sumur. Dalam sekali.
Cahaya tak sampai. Andika tak bisa menentukan apakah di
dalam sana dia bisa mendapatkan air.
Untuk memastikan, sengaja dilemparnya batu kerikil
ke dalam sumur tersebut.
"Aneh juga. Kenapa tak ada suara sedikit pun
kudengar," bisik Pendekar Slebor setelah beberapa lama
tak juga didengarnya bunyi selang batu dilemparkan ke
dalam.
Anak muda itu penasaran. Diambilnya batu kedua.
Dilemparnya pula ke dalam sumur. Lagi-lagi tak ada
seberkas bunyi pun didengarnya. Seperti sebelumnya, tak
ada suara percikan air, atau bunyi tanah terbentur jika
sumur itu ternyata kering. Tidak ada sama sekali.
"Kalau  begitu, bukan kupingku yang tidak beres.
Sumur ini jelas...."
"Hoiii! Siapa yang iseng-iseng menjahiliku?! Jangan
gila, ya?!"
Andika terperanjat. Sedang seru-serunya dia
melongok-longokkan kepala, tahu-tahu melompat keluar
suara serak cempreng dan berlendir. Kepala anak muda itu
sampai tersentak ke belakang. Pasalnya, kekuatan suara
tadi mengundang dorongan seperti tenaga besi sembrani 

sebesar biang gajah. Ah, itu belum cukup. Tepatnya
mungkin sebesar biang gajah bengkak dan buncit pula!
Andika pikir dia sedang berurusan dengan memedi
sumur tua. Tapi apa iya memedi nekat keluar tengah hari
bolong begini?
"Siapa di dalam?!" seru Pendekar Slebor, ingin
mencari tahu.
"Siapa di luar?!"
Anak muda itu merengut. Pertanyaannya terjawab
juga belum, malah dia ditodong pertanyaan balik.
"Aku seorang pengelana yang membutuhkan sedikit
air untuk pelepas dahaga!" Pendekar Slebor mengalah.
Dijawabnya dulu pertanyaan dari dasar sumur. Dia cuma
tak mau harus menahan haus lagi. Siapa pun di dalam
sana, mau memedi kek, mau manusia lumut kek, kalau
bisa diminta sedikit air 'kan tak ada salahnya sedikit
beramah-tamah, pikir anak muda itu. 
"Mau air?"
Pendekar Slebor lega sekali. Tawaran yang sumpah
mampus disambar geledek pelan-pelan akan di sambutnya
dengan suka cita,
Terdengar lagi suara dari dasar sumur. 
"Nih kau terima... khoek cuih!"
Plok!
Wajah tampan pemuda itu dihinggapi 'air' berbau
kotoran siluman pemakan jengkol!
Dua kali Pendekar Slebor terperanjat. Tak pernah
disangkanya kalau orang di dasar sumur meludahinya
demikian  rupa. Tak sempat disadari, tahu-tahu wajahnya
sudah basah. Betapa  hebat  orang di dalam sana telah
melakukan itu demikian cepat dan dari jarak yang
demikian jauh. Kalau si anak muda kesohor yang membuat
banyak warna sesat dunia persilatan pontang-panting saja
bisa terkecoh, bagaimana pula kesaktian orang di dasar
sumur?
Rasa jijik  menggerayangi cepat. Terburu-buru
disapunya wajah dengan telapak tangan. Wajah Pendekar 

Slebor meringis-ringis. Cuping hidungnya kembang-kempis.
Baunya membuat dia nyaris muntah. Slompret!
"Apa air itu yang kau minta?!"
Dari dasar sumur, terlempar lagi pertanyaan.
"Tentu saja bukan dedemit!" maki Pendekar Slebor
dongkol. "Aku butuh minum. Bukan butuh 'racun'!"
sambungnya sewot.
"Oooo, bilang kenapa dari dulu...."
"Dari dulu... dari  dulu...," gerutu Pendekar Slebor
mengekori.
"Kalau begitu, turunkan timbanya!"
Berhubiing haus makin menjadi-jadi, Andika tak bisa
banyak rewel. Diturutinya perintah tadi. Tali timba di palang
sumur diturunkan.
"Sekarang tarik!" susul suara dari dasar sumur ketika
tali timba sudah terulur seluruhnya.
Sekali lagi pendekar muda bernama besar itu
dijadikan kambing congek. Dia mengangkat juga tali timba
sesuai perintah. Ditarik... ditarik. Tak lama, dari kegelapan
dan kelembaban mulut sumur menyembul kepala
seseorang. Wajah keriput perempuan tua terlihat. Ya
ampun, seorang nenek jompo nangkring di atas timba!
Pendekar Slebor mendelik. Hatinya saat itu juga
berdoa habis-habisan supaya orang yang dilihatnya cuma
mimpi. Dia itu Nyai Silili-lilu.
Dia adalah adik kandung buyut Andika, Pendekar
Lembah Kutukan. Seorang petapa wanita berusia amat
uzur. Hidup lebih dari tiga keturunan. Dunia persilatan
bahkan telah menganggapnya siluman perempuan karena
kesaktian dan keganjilan tindak-tanduknya.
Bagi Pendekar Slebor, perempuan bangkotan tengik
itu adalah salah seorang yang paling ingin dihindarinya
setelah buyutnya sendiri! Nenek jompo sakti yang
tingkahnya setiap saat bisa membuatnya mati berdiri!
(Untuk mengetahui tentang tokoh ini, bacalah episode:
"Sepasang Bidadari Merah").
"Oeeiii! Kita ketemu lagi!" seru Nyai Silili-lilu meriah. 

"Pantas semalam aku bermimpi bertemu ular kadut! Hi hi
hi!"
Andika sendiri terpaku seolah benar-benar mati
berdiri!

***

Sehari terlewati. Amitha terlihat di dalam gu-buknya.
Lelaki India kurus kering itu berjalan hilir-mudik. Ada
sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya. Wajahnya
menampakkan kebimbangan kental. Kematian Neelam
tentu saja membuat dirinya seperti direnggut dari
kehidupan. Tapi yang merisaukannya kali ini bukan hal itu.
Ada sesuatu yang lain.
Lama Amitha hanya melakukan hal itu. Sebentar-
sebentar dia berhenti melangkah. Dipandanginya satu
bagian lantai gubuk dengan mata nanap. Tangannya
mengepal kuat, seakan ingin membulatkan tekad.
Sebentar kemudian, kepalanya menggeleng-geleng ragu.
Dia berjalan lagi. Tak lama, diulanginya pula
memperhatikan satu bagian lantai tanah gubuknya.
Sampai akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk
melaksanakan niat yang terus mendidih dalam dirinya.
"Aku harus melakukannya! Harus!" tekadnya seraya
bergegas mengambil cangkul kecil dari gantungan dinding.
Membawa benda tadi, didekati bagian lantai tanah yang
sejak tadi diperhatikan. Di bagian tersebut, Amitha mulai
menghujamkan mata cangkul dengan wajah mengeras.
Gambaran rasa tegang dan waswas yang bertumbukan
kasar dalam dirinya.
Selam seperempat jam berikutnya, sudah tercipta
lobang selebar roda pedati. Dalamnya satu kaki. Di dasar
lubang, didapat satu peti kayu berkerangka baja. Kayunya
sudah tampak begitu tua. Namun tetap kokoh. Sedangkan
kerangka bajanya sudah berkarat. Tampaknya sudah
begitu tua.
Peti tersebut diangkat Amitha dari dasar lubang. 

Dibawanya ke atas meja kayu, dan diletakkan di tepi-nya.
Untuk beberapa saat, si lelaki kurus hitam itu hanya
memandangi peti itu. Keraguan tampaknya meruyak lagi
dalam dirinya. Lebih terlihat jelas dalam bersit sinar
matanya. Ketika ingat kematian mengenaskan Neelam,
wajahnya mengeras. Garis-garisnya menguat, menebarkan
hawa dendam, lalu menying-kirkan keraguan dalam dirinya.
Dengan rahang mengejang, tangan Amitha  lambat-
lambat mendekati peti di depannya. Tangan kurus itu agak
bergetar, pertanda dia hendak melakukan sesuatu yang
pasti amat berat untuk dikerjakan. Tutup peti lalu
dibukanya jalang, seakan ingin membunuh keraguan yang
masih mencecarnya bertubi.
Kini, terlihatlah satu kitab kuno setebal setengah
jengkal. Sampulnya terbuat dari kulit Harimau Jawa.
Sedangkan lembar-lembar di dalamnya terbuat dari kulit
ular sendok  yang disamak demikian tipis. Tepat di pusat
sampul, tertulis aksara Jawa kuno berbunyi: Kitab Ular dan
Macan.
Amitha terpaku sejenak menatapi gurat aksara tadi,
lekuk demi lekuk. Tangannya makin bergeletar. Dibaliknya
sampul kitab. Di halaman kedua, ditemukan dua baris
tulisan lain.
Gagal akan mati, berhasil akan sesat!
Kitab Ular dan Macam adalah kitab kanuragan sesat
yang telah ada jauh sebelum zaman kejayaan Majapahit.
Kitab itu ditulis oleh seorang petapa sakti  dari puncak
Gunung Krakatau.
Petapa sakti itu sendiri sebenarnya menulis kitab
tersebut untuk diwariskan pada seseorang yang mampu
mengembannya. Namun apa lacur, pengaruh kesaktian di
dalam kitab justru membuat sifat seseorang menjadi
serendah hewan.
Sang petapa sakti baru menyadari kesalahan yang
dibuatnya ketika dia menyerahkan Kitab Ular dan Macan
pada seorang petapa muda dari kaki bukit anak Krakatau.
Petapa muda itu menjadi sosok manusia yang tak 

mengenal peri kemanusiaan. Rasa manusiawi dalam
dirinya digantikan oleh sifat-sifat buas seekor macan lapar.
Dan kekejiannya bagai dirasuki darah dingin seekor ular.
Rupanya, wangsit yang  selama ini diterimanya
sengaja diturunkan Penguasa Semesta untuk menguji hati
manusia. Manusia seringkali tergiur oleh hal-hal yang bisa
membuatnya berkuasa di dunia. Entah itu kekayaan,
kedudukan, atau kekuatan. Dengan diturunkan wangsit
pembawa ajian-ajian yang ditulis dalam kitab, setiap orang
yang kebetulan mendapatkannya akan diuji ketegaran
hatinya. Ibarat ujian bagi Adam yang diperintahkan Tuhan
untuk tidak me-makan buah khuldi dalam Taman Firdaus.
Ketika sang Petapa Suci dari puncak Krakatau
hendak memusnahkan kitab tersebut, datang lagi wangsit
pada satu malam. Wangsit itu mencegah sang petapa
untuk memusnahkan Kitab Ular dan Macan.Dengan berat
hati, petapa itu tak jadi memusnahkan benda tersebut.
Untuk mengingatkan siapa pun yang kebetulan
mendapatkan Kitab Ular dan Macan, dia menuliskan dua
bait pesan dalam hala-man pertama. Pesan itulah yang
berbunyi: Gagal akan mati, berhasil akan sesat!
Sesuai wangsit terakhir, sang Petapa Suci kemudian
meletakkan Kitab Ular dan Macan dalam peti. Peti itu
kemudian dilemparkan ke tengah kawah Gunung Krakatau.
Beberapa puluh tahun kemudian, terjadi amukan
Krakatau. Gunung itu meletus sejadi-jadinya, sehebat-
hebatnya,  sedahsyat-dahsyatnya. Bumi diguncang.
Samudera disibak. Lahar termuntah. Peti yang selama ini
terkubur dalam lahar dingin di permukaan kawah
Krakatau, saat itu juga dimuntahkan keluar. Terlempar
jauh ke tengah samudera. Lahar panas membara yang
tersembur membakar bagian luar peti kayu berkerangka
baja itu. Merubah warnanya dari coklat kayu menjadi
hitam.
Gelombang akibat letusan Krakatau kemudian
menggiringnya sampai ke pulau Jawa. Letusan teramat
hebat saat itu membuat kekuatan gelombang sanggup 

menggapai jauh ke dalam pulau Jawa.
Peti itu lalu terkubur dalam endapan lumpur selama
beratus-ratus tahun.  Waktu bergulir. Endapan lumpur itu
kemudian menjadi daerah pertanian subur di sekitar
wilayah Kulon Jawa,
Amitha dan Neelam, kebetulan adalah pendatang
yang  mengolah tanah di mana peti penyimpanan kitab
terpendam. Sewaktu dia hendak membajak ladang,
cangkulnya tanpa sengaja menghantam benda keras. Peti
tua itu ditemukan.
Semula sepasang suami-istri perantau itu mengira
peti yang mereka temukan adalah harta karun. Belum lagi
dibuka, Neelam sudah mengidam-idamkan menjadi
Kanjeng Putri hartawan. Setidak-tidak-nya menjadi bandar
martabak  seantero Jawa Namun .ketika dibuka, Neelam
langsung kecewa. Mimpinya berubah menjadi gerutuan
sebulan penuh.
Amitha menanggapi hal tersebut tak seperti Neelam.
Dia tertarik dengan kitab kuno tersebut. Dia yakin telah
mendapatkan satu kitab kesaktian tinggi. Ketika dia mulai
berniat menyimpannya, Neelam langsung pasang
bogemnya di depan batang hidung Amitha. Amitha ngeri.
Tapi dia tak berniat menyingkirkan kitab itu. Diam-diam,
disimpannya benda tersebut dalam tanah tepat di bawah
lantai gubuk.
Kejadian aneh mulai saat itu menghantui diri Amitha.
Seminggu berturut-turut semenjak mendapatkan kitab itu,
dia didatangi seseorang dalam mimpi. Mula-mula seorang
lelaki tua berpakaian putih berjenggot. Tubuhnya seperti
diselubungi sinar. Lelaki tua itu mengangkat tangannya,
seolah-olah mencegah Amitha melakukan sesuatu. Sosok
lelaki tua itu lalu memupus. Digantikan oleh sosok
menyeramkan. Besar, bertaring, bermata satu. Di tangan
kirinya ada air dalam bejana berwarna merah bara dan di
tangan kanannya ada api.
Sosok menyeramkan itu menyodor-nyodorkan air
pada Amitha. Kalau lelaki tua tak pernah berbicara sepatah 

pun, makhluk menyeramkan ini justru membujuk-bujuknya.
"Ayo, terimalah air ini. Dengan air ini, kau akan
berkuasa! Kau akan abadi seperti abadinya diriku. Kau
akan menjadi raja diraja manusia! Ayo, terimalah...."
Sekujur tubuh Amitha saat itu menjadi panas. Meski
dalam mimpi, dia begitu merasakan bagaimana sodoran
air di tangan kiri makhluk menyeramkan tadi demikian
menyengat. Lebih hebat dari slaksa kali sengatan bara
paling panas di muka bumi. Aneh, api di tangan kanannya
justru sama sekali tak terasa panas.
Ketika Amitha mencoba memandang air itu, wujud
air dalam bejana semerah bara tadi berubah menjadi satu
baris tulisan: Ular dan Macan....
Mulai saat itu, Amitha terus digerayangi ketakutan
dalam setiap tarikan napasnya. Mimpi tentang makhluk
alam kegelapan demikian menjejak jelas di benaknya.
Karena terus dihantui, dia lalu berusaha mengusir
bayangan menakutkan tersebut dengan memperdalam
yoga.
Selama itu pula, Amitha berusaha menafsir-nafsir
mimpinya. Karena penasaran, dilihatnya kembali kitab itu
tanpa sepengetahuan Neelam. Dia mulai menyadari kitab
apa yang telah didapatnya ketika membaca dua bait
tulisan di halaman pertama. Sebuah kitab sesat yang
menuntut nyawanya jika dia gagal mempelajari. Kalaupun
berhasil, dia akanjatuh ke jurang kesesatan teramat
dalam.

***

Di lain tempat, tepatnya di sumur tua di balik bukit
wadas.
Karena setengah modar tak suka bertemu dengan
Nyai Silili-lilu, Pendekar Slebor cepat-cepat melepas tali
timba yang dipegangnya. Dia berharap nenek setengah
edan yang nangkring seenaknya di atas timba segera
terjatuh kembali ke dasar sumur. 

Andika boleh berharap begitu. Kenyataannya
berbalik seratus delapan puluh derajat. Timba tetap
menggelantung di tempat. Bobot Nyai Silili-lilu mungkin tak
lebih berat dari seekor kadal.
Menyaksikan kegagalannya, Pendekar Slebor
menepak kening kuat-kuat. Baru dia sadar kalau si nenek
sinting memiliki ilmu kanuragan setaraf dengan buyutnya
sendiri. Pendekar Lembah Kutukan. Jadi, jangan heran
kalau dia bisa menguasai berat tubuhnya demikian rupa.
"Mau main licik? Atau 'main' yang lain?" goda Nyai
Silili-lilu genit.
Pendekar Slebor menarik napas. Panjang-panjang.
Dalam-dalam. Bakal  benar-benar kena musibah, pikirnya.
Tabah... tabah....
Dari atas timba, si nenek sakti melompat ringan.
Hinggap di samping Pendekar Slebor membawa senyum
sarat kemenangan.
"Weleh... kau makin guanteng saja, Andika!" pujinya.
Kumat lagi penyakit genitnya. Orang sejompo dia mestinya
sadar kalau bau tubuhnya sudah seperti tanah. Kalau yang
namanya Nyai Silili-lilu, hal seperti itu justru jadi tabu. Apa
tidak sinting?
"Boleh dong, aku meminta sedikit ciuman sebagai
salam pertemuan?" serbunya lagi.
Andika cengengesan. Cium katanya? Daripada cium
dia, lebih baik cium telapak kaki buto ijo sekalian, pikir
Andika merajuk.
"O, jadi tidak mau?" desak Nyai Silili-lilu semena-
mena. Mata keriput berwarna kelabunya mendelik. Pakai
tolak pinggang segala lagi. Lagaknya sudah mirip penjajah
dari Mongol.
"Kalau begitu, cium tangan saja!" bentaknya, mulai
memerintah.
Wajah Pendekar Slebor tambah terlipat. Mau di-
turuti, dia tak sudi. Tidak dituruti, tahu sendiri. Nenek
sinting satu itu bukan cuma bisa membuatnya jadi bulan-
bulanan. Dijitaki bertubi-tubi saja masih  untung. 

Bagaimana kalau dia dibuat telanjang bulat? Andika takut?
Bukan soal takut. Ini masalah menyebalkan baginya. Cuma
itu.
"Eee, cicit kemenakanku mulai membantah, ya?"
Selesai menghardik, Nyai Silili-lilu menggeram. Di
telinga Pendekar Slebor, geramannya lebih menakutkan
dari gonggongan biang setan.
"Cepat cium!"
Nyai Silili-lilu menyodorkan punggung tangan tinggi-
tinggi. Meski badannya sudah membengkok bak tongkat,
masih juga sok ditegak-tegakkan. Biar terlihat lebih
berwibawa di mata cicit kemenakannya, barangkali.
Dengan terpaksa, Pendekar Slebor akhirnya
'bertekuk-lutut'. Diciumnya juga punggung tangan Nyai Silili-
lilu. Khidmat tidak khidmat, peduli setan, rutuknya.
"Sebenarnya, sedang apa kau di sini, Uwak?"
Tanya Andika setelah dia terbangkis-bangkis berkali-
kali.
"Usaha," jawab Nyai Silili-lilu singkat.
Andika kebingungan. Jawaban tadi sulit dimengerti,
meski otaknya sudah tergolong encer.
"Bertapa, tolol! Cari tambahan ilmu. Barangkali
masih ada sisa jatah buatku. Apa itu namanya bukan
usaha?"
Andika mengangguk-angguk mengerti. Heran juga
dia, orang sesakti Nyai Silili-lilu masih juga mau menambah
ilmunya.
"Apa merasa belum cukup, Wak?"
"Apanya yang belum cukup?"
"Ilmunya? Kurasa kau sudah cukup sakti...."
"Bocah gendeng tidak punya otak! Apa kau pikir aku
bertapa untuk mencari ilmu kesaktian tambahan?"
"Jadi?"
"Aku mencari hikmah! Ini...," Nyai Silili-lilu menunjuk
dadanya. "Hati kita selama hidup pasti penuh kekotoran.
Aku yang sudah mau mampus, ingin sekali
membersihkannya terlebih dahulu dengan cara mencari 

hikmah. Itu yang aku perlukan—"
'Tapi kok heran ya...."
"Heran bagaimana?"
"Anu, tingkahUwak masih saja tengik...," gumam
Andika takut-takut.
"Eee, jaga bacotmu!"

*** 

5

Amitha tiba di atas puncak Gunung Kawi,
Karisidenan Cirebon.  Berhari-hari dia melakukan
perjalanan kaki dari Kulon Jawa menuju Wetan Jawa. Di
balik pakaiannya tersembul Kitab Ular dan Macan.
Sejak terakhir mengangkat kitab dari lubang, Amitha
telah memeram tekad untuk mempelajarinya. Apa pun
akibat yang akan menimpa, akan ditanggungnya. Dia
sudah tak peduli lagi. Dia nekat. Dendam telah
membutakan mata hatinya. Lelaki kurus hitam itu tak bisa
lagi membedakan mana cara yang benar dan mana cara
sesat.
Waktu itu, tepat ketika Amitha mencoba membaca
halaman kedua Kitab Ular Macan, mendadak saja dari
tempatnya berpijak tersembur asap hitam pekat, tebal dan
menggumpal padat.
Amitha ketakutan. Amitha panik. Setakut-takutnya
dia, sepanik-paniknya dia, lelaki itu tak bisa berbuat apa-
apa. Seluruh jaringan otot dan persendiannya seperti mati.
Dia tak mampu bergerak, meski sekadar mengedipkan
kelopak mata.
Dalam kungkungan ketakutan teramat sangat, asap
kelam yang merubunginya di tempat perlahan  tapi pasti
mengumpul menjadi sosok tinggi besar berbulu. Mulutnya
menyembulkan dua taring besar. Matanya hanya satu,
tepat di atas batang hidungyang tak kalah besar dengan
bola mataberwarna merah darah. Ada desis menggebah
bulu roma ketika mata itu me-natap Amitha.
Makhluk terkutuk itulahyang dilihat Amitha dalam
mimpi!
Si lelaki perantau dari India itu merasa jantungnya
berhenti berdenyut untuk sekian saat. Badannya bergetar
hebat. Jauh lebih hebat dari gigil orang terserang malaria.
Apalagi ketika makhluk mengerikan itu mendekat dengan
cara aneh. Tanpa menggerak-kan kaki, tubuh menebar bau
itu bergerak seperti kabut memperpendek jarak dengan 

Amitha.
Satu tombak dari Amitha, gerak tubuh makhluk itu
berhenti. Tawa terlepas dari mulut yang melebar
mendadak, seakan ingin menelan Amitha bulat-bulat.
Suaranya terdengar terpendam, tapi juga melengking.
Terdengar menggaung, tapi juga mendenging. Terdengar
pekat, tapi juga menghambur. Serak, juga mengabur.
"Aku Dajjal Yang Terkutuk. Datang untuk memberimu
apa-apa yang kau kehendaki...," ucapnya. Suara makhluk
itu mendadak mendayu lebih memikat dari suara Dewa
Kebajikan atau Bidadari dari sorga.
Amitha tidak berkata apa-apa. Pita di
kerongkongannya seperti melekat erat.
"Kau ingin membalas kematian istrimu. Pelajari kitab
itu di puncak Gunung Kawi...."
Selesai menambahkan, sosok itu mendadak pupus.
Asap tebal pekat pun menghilang seketika, tak beda
dengan gelombang mimpi yang tiba-tiba terjaga.
Keesokan harinya, Amitha benar-benar berang-kat
ke Wetan Jawa. Gunung Kawi yang dituju. Akan
dipelajarinya kitab sesat di sana. Dan hari ini, dia tiba.
Di atas batu besar seukuran tiga ekor gajah, Amitha
duduk bersila. Dibukanya Kitab Ular dan Macan yang sejak
tadi hanya ditatapinya tanpa gemik.
Tepat ketika halaman yang berisi tentang ajian-ajian
maut dalam kitab tersebut, bumi diguncang gelegar
halilintar. Lidah petir seperti menebas ubun-ubun Gunung
Kawi. Alam berubah kelam dalam pandangan Amitha.
Amitha tidak peduli sama sekali pada apa pun yang
terjadi. Tekadnya sudah penuh. Dia harus memulai!

***

Tampaknya hari-hari belakangan  Pendekar Slebor
sedang dilanda kesialan demi kesialan. Semula  dia
bertemu Amitha dalam haus teramat sangat. Belum cukup
kenyang dengan kesialan itu, ada lagi kesialan baru yang 

tak kepalang tanggung. Bertemu dengan Nyai Silili-lilu.
Bertemu saja tak terlalu merongrong dirinya. Tapi kalau si
perempuan bangkotan itu ingin mengikutinya? Sama saja
sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Edannya lagi, perawan
lapuk itu minta digendong pula!
"Aku sebenarnya sedang ada urusan penting, Uwak.
Kenapa kau ingin sekali turut denganku?" tanya Andika.
Dongkolnya berusaha ditahan-tahan sekuat mungkin. Di
sumur tadi, dia belum sempat minum. Sekarang
perjalanannya malah ditambah beban di punggung.
Mestinya berat nenek kerempeng seperti Nyai Silili-lilu tak
terlalu merepotkan seorang pemuda kekar berotot seperti
Andika. Herannya, anak muda itu justru merasa sedang
menggendong seekor kerbau!
Pendekar Slebor tahu dia sedang dikerjai. Nyai Silili-
lilu memang usil. Andika bukan tak mau maklum. Cuma
saja, dia tak habis mengerti kenapa  mesti tertimpa
'musibah' bertemu dengan perempuan peot itu? Di lain sisi,
Andika tak bisa menolak begitu saja permintaan ngotot
Nyai Silili-lilu. Mana bisa nenek keras kepala dan mau
menang sendiri itu ditolak? Sehebat-hebatnya sifat keras
kepala Pendekar  Slebor, Nyai Silili-lilu barangkali seribu
satu kali lebih hebat.
"Aku juga ada urusan penting. Memangnya cuma
kau saja?" tukas Nyai Silili-lilu ketus.
Merasa nenek buyut kemenakannya tak
mempercayai kesungguhan ucapannya, Pendekar Slebor
mencoba meyakinkan. Dikeluarkannya kalung yang
ditemukan dalam genggaman mayat Neelam.
"Aku hendak mencari seorang pembunuh, Wak. Ini
buktinya...," kata Andika bersungut. Diperlihatkannya
kalung tadi ke depan hidung Nyai Silili-lilu yang nangkring
seenak perut di punggungnya.
"Ah, cuma kalung butut! Apa hubungannya dengan
seorang pembunuh yang hendak kau cari? Kau cuma mau
mengibuli aku saja!"
"Aku tidak bohong, Uwak! Apa kau pikir aku mau 

kualat membohongimu?"
"Coba kulihat!"
Andika menyerahkan kalung pada Nyai Silili-lilu.
"E, buyut!" Nyai Silili-lilu tersentak.
"Ada apa, Uwak?"
"Aku kenal dengan kalung ini."
"Masa'?"
"Jangan masa'-masa'!" "Katanya tadi aku cuma mau
mengibuli...." "Sudah jangan banyak bacot! Kau mau
mencari pemilik kalung ini apa tidak?" 
"Ya, mau."
"Kalau  gitu, kita mesti cepat ke pesisir Pantai Laut
Selatan!"
"Pantai Laut Selatan? Dengan menggendong Uwak?"
"Jangan banyak bacot, kataku. Lari saja ke sana!"
"Lari sih, lari. Cuma kalau sambil menggendong
manusia bau seberat kerbau, apa tidak cari susah
namanya? Apalagi tempat yang dituju jauhnya bukan main.
Dasar apes!" maki Pendekar Slebor membatin.

***

Pertarungan sengit sedang berlangsung di sekitar
Kadipaten Karang Gantung. Tiga orang sedang terlibat
pengeroyokan terhadap seseorang.
Ketiga pengeroyok adalah orang-orang yang pernah
mendatangi Neelam beberapa hari lalu. Seorang lelaki
India kalang-kabut digempur mereka. Si lelaki India
bertubuh tegap. Berpakaian jubah kurung khas negerinya
berwarna merah hati. Wajah banjir peluhnya
memperlihatkan raut tegar usia empat puluhan.
Rambutnya amat pendek, dibiarkan tumbuh hanya
sepanjang setengah kuku.
Perkelahian berjalan sama sekali tak seimbang.
Bentrokan-bentrokan tangan, dan kaki terdengar susul-
menyusul. Diricuhi pula oleh deru gerakan demi gerakan
cepat. Pertarungan tersebut telah berlangsung cukup alot. 

Orang yang dikeroyok punya cukup kemampuan yang
diandalkan untuk bertahan dari serangan ketiga lawan,
meski dia terus terdesak.
Bersenjatakan sebuah gada besar yang ujungnya
berbentuk bulat, lelaki India tadi berusaha mengim-bangi
serangan-serangan para pengeroyoknya. Sementara, di sisi
para pengeroyok, hanya perempuan cantik
mempergunakan senjata rantai panjang bermata baja
berbentuk cakar.
Pertarungan mereka beringsut terus, dari tempat
yang satu ke lain tempat. Terjadi karena orang yang
dikeroyok berusaha untuk membebaskan diri dari
kepungan.
Tiba di tepi sebuah telaga, lelaki India jatuh dalam
keadaan terjepit. Dia tidak bisa lagi bergerak lebih leluasa
dalam usaha melepaskan diri dari kepungan. Telaga
terbentang dibelakangnya. Sementara di depan dan
sisinya, tiga lawan setiap saat dapat menendangnya ke
hang lahat.
"Sekarang kau tak dapat menyingkir ke mana pun,
lelaki India!" cibir perempuan cantik, mencoba
meruntuhkan semangat perlawanan lelaki India.
"Ya, kau tak bisa lagi menghindar dari kami. Dan
kami pun tak perlu sungsang-sumbel mencarimu. Karena
hari ini kau akan segera mati!" timpal orang berwajah
bengis yang beberapa waktu lalu telah membunuh seorang
India pula di kotapraja.
"Kenapa kalian begitu menginginkan kematianku?!"
tanya lelaki India, serak. Dadanya kembang-kempis tak
beraturan. Wajahnya setiap kali membersitkan ketakutan.
Tampaknya meski dia punya cukup kepandaian bela diri
untuk bertahan, tak urung dia digerayangi rasa takut.
Orang cebol  terkikik geli. Sehabis tertawa singkat,
wajahnya berubah berangasan kembali. "Kau pikir kami
akan melepaskan begitu saja orang yang akan merusak
rencana besar kami, heh?!" tukasnya sinis.
"Tapi kalian memang merencanakan suatu yang 

busuk!" kecam lelaki India.
"Itu sebabnya kau harus kami singkirkan! Rencana
kami tak boleh bocor! Tak boleh ada satu orang golongan
putih persilatan yang tahu rencana kami itu. Kami tak ingin
mereka menyusun kekuatan untuk menghalangi kami!"
sela wanita cantik. Wajah merangsangnya tetap dingin.
"Tapi apa urusannya denganku?! Aku tidak akan
mencampuri urusan kalian!"
"Ketika kau mendengar secara tak sengaja per-
temuan kami di hutan waktu itu, itu artinya kau telah
mencampuri urusan kami!" tandas lelaki berwajah bengis.
"Mana aku tahu kalian mengadakan pertemuan
rahasia di sana. Aku sendiri tak berniat mencuri
pembicaraan kalian. Aku waktu itu hanya berniat mencari
kayu bakar! Apa salahnya dengan perbuatan itu?!" sangkal
lelaki India lagi.
"Salahnya? Kau mau tahu salahmu? Salahmu,
kenapa kau bertemu dengan kami..."
"Ah, kalian memang cuma orang-orang sesat yang
mencari segala alasan untuk membenarkan tin-dakan
laknat kalian!" maki lelaki India gusar.
Si cebol terkikik meriah. Sulit menentukan apa yang
dianggapnya lucu dari makian lelaki India tadi. Yang jelas,
sepasang bola matanya tetap menerjangkan sinar haus
darah ke arah lawan.
"Sekarang, berdoalah secepatnya kepada Tuhanmu,
sebab kami akan segera mengirimmu ke akhirat!"
Akhir ucapan orang cebol menjadi pemicu pe-
ngeroyokan tak seimbang kembali. Manusia bertubuh
kerdil itu memulai dengan satu lepasan tinju menggeledek
di atas selangkangan lawan.
Wukh! Deb!
Lelaki India tahu dirinya tak mungkin lagi
menghindar ke mana pun, selain memapaki tinju lawan.
Dengan agak nekat, disambutnya  tinju si cebol dengan
senjatanya.
Prak! 

Hantaman hebat mengenai ujung gada dari batu
alam itu. Saat bersamaan, terdengar derak keras.
Ujung senjata tadi berserpih menebari udara dalam
pecahan-pecahan kecil. Tinju ganas yang pernah mengirim
nyawa Neelam ke  akhirat kini dipergunakan si cebol
kembali!
Lelaki India terkesiap. Semula dia tak
memperkirakan tinju si cebol memiliki kekuatan
penghancur yang hebat. Tapi, tak sedikit pun dia
memperhitungkan kalau kehebatan tinju lawan sanggup
melantakkan senjatanya. Padahal dia tahu pasti, batu yang
dipergunakan untuk ujung senjatanya termasuk batu mulia
yang memiliki kekerasan tak diragukan.
Tak dapat dibiarkan berlarut-larut keterkesiapannya
tadi manakala tangan si cebol yang lain menderu pula
mengejar dirinya.
Wukh!
"Haih!"
Jarak yang terlalu dekat memaksa lelaki India
berjumpalitan ke depan, melewati kepala si cebol. Sayang,
di sana sudah menunggu lelaki berwajah berangasan.
Pijakan kakinya di tanah disambut oleh sepakan setengah
putaran kaki lelaki itu.
Zeb!
Sekali  lagi, lelaki India pontang-panting
menyelamatkan diri. Tak  ingin dibiarkan kepalanya
diremukkan punggung kaki lawan. Dia mengembalikan
tubuh ke belakang dengan salto sempit agar tak terlalu
dekat ke arah si cebol.
Belum lagi napasnya lega, wanita cantik mulai pula
melepas gempuran. Senjata rantainya menanduk udara,
memperdengarkan desing tipis di sisi bu-ruannya,
sementara tubuh lelaki India sendiri masih berada di
udara.
Lelaki India benar-benar hendak dijadikan bulan-
bulanan!
Keadaan yang sudah amat terjepit membuat lelaki 

India tak bisa lagi melakukan kelitan seberapa lincah pun
dia. Jalan satu-satunya, dia harus mementahkan ancaman
rantai berujung cakar baja tadi. Dengan gagang baja sisa
gadanya, untung-untungan disampoknya tandukan hebat
ujung rantai.
Trangng!
Cuma satu harapan lelaki India agar ujung maut
berbentuk cakar itu urung menghantam iganya. Sayang,
tenaga yang terkandung dalam senjata lawan nyatanya
jauh dari perkiraan. Gagang gadanya terpental saat itu
juga. Nyeri luar biasa menjalari sekujur tangannya.
Saat berikutnya, bukan cuma nyeri di tangan di-
rasakan, tapi juga sebentuk rasa sakit tak alang kepalang
menerjang bagian bahu kirinya.
Tendangan susulan lelaki berwajah seram rupanya
telah bersarang empuk. Tenaga tendangan itu melontarkan
tubuh lelaki India ke tengah-tengah telaga.
Byur!
Permukaan telaga menelannya. Air beriak.
Gelombangnya mengembang sampai jauh, membentuk
cincin-cincin bergerak mengembang. Perlahan-lahan, riak
permukaan telaga menghilang. Tubuh lelaki tadi tak
kunjung muncul di permukaan.
Telah direnggut ajalkah dia?
"Apakah kau yakin dia bakal benar-benar menemui
ajal Mata Dewa Kematian?" tanya si cebol.
"Aku yakin sekali," sahut lelaki berwajah seram yang
dipanggil Mata Dewa Kematian. "Tendanganku mengenai
dada kirinya. Setidaknya jantungnya telah pecah!"
tambahnya yakin.
"Jangan ceroboh mengambil kesimpulan," sela
wanita cantik di tengah-tengah mereka. 
"Dalam hal ini, kita tak bisa berjudi. Kita harus
memastikan lelaki itu benar-benar telah mati! Apa kalian
mau dia membocorkan rencana rahasia kita pada orang
dunia persilatan kalau ternyata dia masih hidup?"
"Benar juga," timpal si cebol. 

"Jadi meriurutmu, sebaiknya kita memastikan dia
benar-benar mampus?" kata Mata Dewa Kematian agak
tersinggung.
"Kalau kau tak mau melakukannya, sebaiknya biar
Katak Merah yang melakukan," sergah wanita cantik datar,
namun menusuk  Si cebol yang disebut Katak Merah
menyeringai. Dia ingin mengejek Mata Dewa Kematian.
"Kerja mudah buatku," tukasnya meremehkan.
Mata Dewa Kematian mendengus.
"Kau pikir apa yang hendak kau lakukan. Katak
Merah? Mencoba menyelam seperti katak buduk ke dasar
telaga?" gerutu Mata Dewa Kematian.
Katak Merah mengepalkan tinju. Rahangnya
mengeras. Dia hendak menindak lelaki tadi. Tapi cepat
dicegah oleh si wanita cantik.
Mata Dewa Kematian terpancing juga oleh ulah
Katak Merah. Mata merahnya menatap tajam-tajam. Dari
mata mautnya itu membersit kilatan menggidikkan.
"Kerjakan saja apa yang diperintahkan!" sentak si
wanita cantik, melihat gelagat yang tak baik.

*** 

6

Puncak Gunung Kawi. Tempat di mana sebentang
kekuatan hitam alam gaib membentuk benteng. Tempat di
mana manusia banyak datang melakukan pemujaan.
Tempat di mana banyak manusia terjerembab dalam
persekutuan dengan sang Durjana!
Di salah satu celah gunung yang membentuk gua
pendek menjorok ke dalam, seorang terlihat. Diam, dingin
bagai area. Kegelapan menyelimuti. Siang dan malam tiada
beda. Karena sinar matahari tak bisa menembus masuk.
Udara di dalam dingin lembab. Hanya kelelawar atau
binatang melata yang biasanya mendekam di dalam sana.
Tidak seperti biasanya orang bertapa, cara duduk
orang ini begitu aneh. Dia harus duduk di dalam lumpur
lengket kehitaman setinggi leher yang menjadi dasar gua.
Hanya kepala berambut klimis pada bagian atas lelaki  itu
yang menyembul di atas permukaan lumpur.
Orang itu memang Amitha. Hari ini, memasuki hari
kedua dia melakukan tapa untuk mengamalkan rapalan-
rapalan ajian dalam Kitab Ular dan Macan. Empat hari
sebelumnya, dia.telah berhasil tuntas mempelajari isi Kitab
Ular dan Macan. Beberapa  syarat sebelumnya telah dia
selesaikan. Tapa kali ini adalah syarat terakhir baginya
agar dapat memperoleh ilmu kanuragan sesat.
Di permukaan lumpur, terlihat potongan-potongan
kecil makhluk menjijikkan. Ratusan lintah, melata di sana!
Bahkan mungkin, jumlahnya lebih banyak di dalam lumpur.
Binatang-binatang itu bergerak-gerak, menggeliat-geliat
bersama lendirnya di sekujur wajah dan tubuh Amitha.
Sejak memulai tapa, lelaki itu harus membiarkan
dirinya menjadi santapan lintah. Membiarkan darahnya
dihisap sedikit demi sedikit oleh makhluk-makhluk kecil
penghuni lumpur.
Mula-mula, amat sulit bagi Amitha. Baru dia hendak
memulai memusatkan perhatian dan menghilangkan
pikirannya, di beberapa bagian tubuhnya terasa ada 

geliatan-geliatan halus, menyusul rasa gatal teramat
sangat sewaktu lintah-lintah itu mulai menghisap darahnya
rakus-rakus. Perhatiannya jadi terpecah.
Agar dia bisa menjalankan syarat terakhir, dengan
segenap kekuatan pikiran, Amitha berjuang untuk
mengenyahkan perasaan-perasaan yang mengusiknya.
Latihan yoga selama ini cukup memban-tunya. Meski susah
payah, dia berhasil juga mencapai pemusatan pikiran dan
perasaan.
Namun, untuk syarat kali ini dia dihadapkan pada
perjudian maut. Nyawanya akan dipertaruhkan.
Sebab semakin lama dia berada dalam lumpur
sarang lintah tersebut, akan semakin banyak darahnya di-
kuras. Lintah-lintah itu seperti tak pernah kenyang.
Dua hari berlalu. Saat-saat ini keadaan begitu kritis
bagi Amitha. Darah ditubuhnya sudah tak bisa lagi dihisap
lebih banyak oleh lintah. Kalau  itu terjadi, maka organ-
organ dalam tubuhnya akan kekurangan darah. Dia bukan
saja akan kehilangan kesadaran, tapi juga akan mati.
Dalam perjuangan untuk tetap menjaga kendali
tapanya, Amitha merasakan tubuhnya begitu lemah.
Perlahan tapi pasti, ada perasaan  mual tak terhingga.
Kepalanya memberat, seperti dilimpahi timbunan wadas.
Darah dalam tubuhnya rupanya makin menipis.
Lama kelamaan, timbul gambar-gambar aneh dalam
kepalanya. Bentuknya tak beraturan, Simpang-siur dan
beragam. Amitha tak menyadari kalau dia mulai tak kuasa
lagi mengendalikan kesadarannya. Sebentar lagi, dia akan
terjatuh pingsan.
Pada saat Amitha merasakan tubuhnya seperti
terapung perlahan di atas, terdengarlah tawa serak
menggetarkan dinding gua.
"Ha ha ha! Kau telah berhasil anak manusia! Kau
telah berhasil! Bangkitlah dengan kesaktian dalam dirimu.
Kini, kau telah menjadi sekutuku! Kau telah rela untuk
mempertaruhkan nyawamu sendiri untuk dendammu!"
Suara menggidikkan tadi memupus. 

Amitha membuka mata perlahan. Kelopak matanya
begitu berat untuk digerakkan. Sepertinya dia akan
membutuhkan waktu berjam-jam hanya untuk melakukan
itu.
Begitu matanya terbuka, cahaya terang menyerang
seketika. Otot-otot matanya menjadi linu. Tanpa sadar,
Amitha mengangkat tangannya untuk menghalangi
terjangan cahaya. Matanya mengerjap-ngerjap.
Lambat laun, akhirnya pandangan Amitha bisa wajar
kembali. Amitha mendapati dirinya sudah tidak berada di
dalam gua berlumpur. Melainkan di dalam liang lahat
terbuka.
"Mungkinkah aku gagal dan telah mati?"  bisiknya
bergetar.
Amitha mendongak pada lubang liang.
Disaksikannya matahari tepat berada di atas ubun-ubun.
Itu artinya, dia belum mati.
Tapi di mana aku?" bisik batinnya.

***

Lelaki berjuluk Mata Dewa Kematian berdiri diam di
tepi telaga. Tak ada gerak. Hanya dadanya yang terlihat
mengembang kempis teratur. Pandangannya dihujamkan
lurus-lurus, lekat-lekat pada permukaan telaga. Angin
mendesis-desis mengusik permukaan telaga hingga
membentuk riak kecil. 
"Heaaa!"
Mendadak kesunyian diporak-porandakan. Mata
Dewa Kematian memekikkan lengking melolong panjang.
Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi ke atas dengan
telapak terbuka kejang.
Di ujung teriakan membahananya, permukaan telaga
tiba-tiba meruyak, bergolak. Suara riuh-rendah seperti
badai tercipta. Gelombang-gelombang besar pun tercipta.
Gelombang itu tak seperti biasa. Kalau ombak biasa akan
bergerak menyamping, ombak  yang terjadi kali ini malah 

mencelat lurus ke atas. Tingginya sekitar empat tombak.
Ombak itu kemudian menyatu di udara, dan melayang
untuk beberapa saat. Air telaga seakan sedang diciduk
gayung gaib raksasa sebesar pendapa!
Gumpalan terapung air raksasa tadi kembali jatuh ke
telaga ketika Mata Dewa Kematian tak menemukan apa
yang dicarinya.
Permukaan telaga tersibak lagi, mengiringi timpaan
gumpalan air raksasa tadi. Disusul oleh lengkingan suara
Mata Dewa Kematian.
"Heaaa!"
Kemudian, hal seperti sebelumnya pun terulang
kembali. Terulang dan terulang lagi. Sampai akhirnya tubuh
orang yang diburu terikut salah satu gulungan air raksasa
ke udara.
"Itu dia, Dewi Kecubung!" seru si cebol meng-gebu.
"Bereskan!". perintah wanita cantik berjuluk Dewi
Kecubung. 
Cepat Katak Merah mengerahkan tenaga dalam ke
sepasang telapak tangannya. Tak tanggung-tanggung lagi
dikerahkan tenaga dalamnya. Seperti  ucapan Dewi
Kecubung belum lama, dia memang harus benar-benar
memastikan bahwa kali ini, buruan mereka akan sampai di
akhirat!
Jeph!
Serangkum angin pukulan berhawa kuat yang
sanggup melantak karang membelah udara. Arah yang
dituju, tepat tubuh lelaki India yang masih terapung di
udara bersama gumpalan air raksasa.
Drat!
Didahului dengan hantaman pada gumpalan air,
tubuh lelaki India terpental. Sejauh sepuluh depa tubuh itu
melayang terhempas kembali ke permukaan sungai,
tenggelam beberapa saat, lalu mengapung tanpa gerak.
"Kuyakin dia kini benar-benar telah mampus! He he
he!" Katak Merah terkekeh menyaksikan hasil kerjanya.
Tubuh lelaki India itu. 

Dewi Kecubung menjentikkan jari, mengajak dua
sekutunya meninggalkan tempat tersebut.
Telaga di Kadipaten Karang Gantung itu sunyi
kembali. Airnya agak surut karena musim kemarau
berkepanjangan. Namun tak turunnya hujan sekian lama
tak membuat telaga itu menjadi kering sama sekali. Hanya
sekitar tepian telaga yang mengering.
Beberapa ekor rusa terlihat datang mendekat
Mereka meneguk airnya. Sejak aliran sungai kecil yang
membelah Kadipaten Karang Gantung kering, banyak
hewan menjadikan telaga itu sumber air minum. Seperti
halnya penduduk di sekitar.
Ketenangan kawanan rusa tadi diusik oleh sesuatu
dari tengah-tengah telaga. Mereka menghentikan minum,
menegakkan kepala siaga. Mata bulat jernih hewan-hewan
itu menatap tak berkedip ke tengah telaga di mana
sesuatu mengapung.
Kawanan rusa tadi lari berhamburan ketika tubuh
yang mengapung sekian lama barusan mulai bergerak.
Tangannya terkayuh lemah di permukaan bersama suara
kecipak air. Tampaknya dia berusaha untuk berenang ke
tepi dengan sisa-sisa tenaga.
Dalam keadaan amat payah, akhirnya orang tadi tiba
juga di tepi telaga yang mengering. Dia berjalan terseok.
Dari sudut bibirnya yang basah mengalir darah. Juga dari
lubang hidungnya.
Orang itu yang belum lama dikeroyok tiga lawan  di
tepi telaga. Dugaan Katak Merah meleset. Ternyata buruan
mereka sama sekali belum menemui ajal.  Menilik
keadaannya, memang sulit dipercaya  kalau si lelaki India
masih hidup. Apalagi dia sudah cukup lama berada dalam
air.
"Uuuhhh...," keluhnya sambil menjatuhkan diri ke
atas rumput. Dia tak mungkin lagi berjalan lebih jatuh.
Sudah tak sanggup lagi. Kekuatan tubuhnya terus merosot
hingga ke titik terlemah.
Di atas rumput, sebentar dia terbatuk-batuk. Darah 

kehitaman terikut keluar bersama batuknya. Tak begitu
lama, kepalanya terkulai. Dia tak sadarkan diri.
Di salah satu sudut wilayah Wetan Jawa, seseorang
tampak berdiri di tengah jalan berdebu  tebal  Dia
mengenakan caping lebar dan jubah besar ber-warna
hitam Dengan kepala agak dirundukkan, akan sangat sulit
bagi orang lain untuk menyaksikan wajahnya. Tangannya
bersedekap erat di dada.
Di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan arah
orang tadi menghadap, terlihat tiga ekor kuda berlari
menggila. Debu membubung pekat, meng-ekori setiap
hentakan ladam kuda pada tanah kering.
Para penunggang di atasnya, tak henti-henti
menggebah serta melecut hewan-hewan itu. Suara
teriakan-teriakan mereka seriuh  guruh di kejauhan.
Bertumbukan kacau dengan ringkikan panjang dan derap
kaki kuda.
"Hea! Hea! Heaaa!"
Lari ketiga kuda semakin dekat dengan orang yang
berdiri di tengahjalan. Semakin memperpendek pula jarak
di antara mereka. Semakin dekat, semakin cepat
kemungkinan orang tengah jalan akan terinjak-injak.
Namun tampaknya, dia tak pernah merasakan takut pada
labrakan kaki-kaki kuda.
Menjelang lima depa jarak tersisa, ketiga
penunggang yang seluruhnya lelaki terpaksa menyentak
tali kekang tunggangan masing-masing.
Seperti diberi aba-aba serentak, ketiga kuda kekar
perkasa mereka meringkik panjang. Kaki depan tiga
binatangitu terangkat tinggi ke atas, seraya melakukan
gerakan menendang-nendang liar.
"Kisanak, kenapa kau berdiri di tengah jalan seperti
itu? Tidakkah kau sadar kau hanya akan mencelakakan diri
sendiri?"
Salah satu penungganp berkumis tebai mencoba
menegur.
Orang yang menghadang tak menjawab. Melirik pun 

tidak. Bahkan sikap berdirinya tak berubah sama sekali
dari sebelumnya.
"Kisanak. Kami sedang ada urusan amat penting!
Sudikah kiranya kau memberi kami jalan?" sambung orang
berkumis tebal, masih berusaha untuk bersikap ramah.
"Kalian tak akan bisa melewati jalan ini sebelum
kalian mengatakan satu hal padaku!" tandas penghadang.
Suaranya terdengar samar. Seakan orang itu malas
berbicara. Biar begitu, terdengar amat bertekanan kuat.
Ketiga penunggang kuda saling bertatap.
"Apa yang hendak kau tanyakan Kisanak?" sambung
orang berkumis.
"Siapa di antara kalian yang berjuluk Pendekar
Slebor?"
Ketiga lelaki di punggung kuda tersenyum. Mereka
harripir saja tertawa kalau tak segera menahan-nya.
"Tentu saja orang yang kau maksud tidak ada di
antara kami. Kau pasti sedang bergurau kalau
menganggap salah seorang di antara kami adalah
pendekar besar itu...," gurau penunggang paling muda.
"Hm.... Kalau begitu, katakan padaku di mana aku
dapat menemukan orang itu."
Mendengar nada bicara yang seperti tak
memandang sebelah mata nama besar pendekar muda
dari Lembah Kutukan, ketiga penunggang kuda saling
menatap kembali. Siapa orang ini sebenarnya? Bisik hati
masing-masing.
"Sebenarnya, ada urusan apa kau pada Pendekar
Slebor?" Tanpa menjawab pertanyaan lelaki penghadang
barusan, penunggang berusia paling muda justru balik
bertanya.
Lelaki penghadang tak menjawab sepatah kata pun.
Tetap diam dengan kesan dingin pekatnya. Ca-ping
lebarnya tetap ditundukan. Sampai....
"Katakan padaku di mana aku dapat menemukan
dia?!" hardikan tiba-tiba saja mencelat dari
kerongkongannya. Keras. Bahkan terlalu keras untuk 

ukuran seorang yang sedang murka sekalipun. Selain itu,
hardikan barusan tidak dimaksudkan untuk membentak
semata, melainkan untuk melepas tenaga dalam melalui
gelombang suara
Tiga kuda jantan besar di sana meringkik ketakutan.
Mereka seperti disentak oleh salakan guntur. Dengan
nyalang mereka menendang-nendangkan kaki depan
tinggi-tinggi. Penunggangnya seperti hendak dilemparkan
dari punggung. Untung saja ketiga lelaki tadi memiliki
cukup kemahiran dalam seni me-nunggang kuda.
"Haooo! Hooo!"
Ketiga penunggang kuda berjuang  untuk
menenangkan kembali tunggangan mereka. Satu tangan
mereka dirangkulkan erat ke leher kuda. Sedang tangan
yang lain mengelus-elus.
Susah-payah, akhirnya mereka bisa membuat ketiga
hewan gagah  itu tenang kembali. Sewaktu mereka
melepas perhatian pada lelaki penghadang, orang itu
ternyata sudah tak ada lagi di tempat berdiri.
Tiga kali dengan itu mereka bersitatap. Mereka tak
mengerti, ke mana penghadang tadi. Padahal, mereka
sama sekali tak melihat ada gerakan. Sementara sejauh
mata memandang, hanya ada  hamparan ladang jagung
kering. Kalau orang tadi pergi, tentunya mereka masih bisa
menyaksikan sosoknya di kejauhan.
"Kau pikir, apa kita telah bertemu dengan dedemit?"
tanya lelaki berkumis pada kedua temannya.
Kedua temannya malah bertukar pandangan seperti
orang kebanyak minum tuak.
"Ah, sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini.
Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat  ini...  Lagi
pula, kita harus segera ke Pedepokan Ki
Braja."
Ketiganya sepakat untuk meninggalkan tempat
tersebut. Berbarengan,  kaki mereka menghentak perut
kuda. Tali kekang dilecutkan. Ketiga kuda siap berpacu di
jalan berdebu kembali. 

Baru sekitar tiga puluh langkah kuda berlari, debu
bahkan belum sempat menebar jauh, sayup-sayup
terdengar suara dengung di belakang ketiganya. Suara
asing tadi tidak terdengar jauh, tapi tidak juga terdengar
dekat.
Ketiganya curiga. Meski tak sepakat terlebih dahulu
seperti sebelumnya, mereka menoleh ke belakang sambil
tetap menunggang.
Ketika itu, ketiganya menyaksikan suatu
pemandangan yang membuat bulu tengkuk mereka mene-
gang seketika. Mata mereka mendelik sebesar-be-sarnya.
Otot di tubuh mereka serentak mengejang tegang.
Sementara tanpa sadar, mereka menarik tali kendali kuda
masing-masing.
Samar-samar, mata mereka menyaksikan seekor
macan siap  menerkam di kejauhan. Yang membuat
mereka nyaris mati terkejut di tempat, karena binatang itu
bukan seperti yang biasa mereka saksikan. Hewan itu
memiliki kepala puluhan ekor ular sendok yang bergerak-
gerak. Mendesis-desis berbarengan membentuk dengung.
Keterperangahan hebat ketiganya diputuskan oleh
terkaman hewan ganjil tadi. Seperti terbang, macan
berkepala puluhan ular sendok itu menyambar dua kepala
penunggang kuda dengan cakar depannya.
Cras!
Hanya dalam sekedipan mata, dua kepala
menggelinding di atas tanah berdebu.
Penunggang paling muda tak bisa menggerakkan
tubuhnya. Ujung jempol kakinya, dan semua 'ujung' di
bagian tubuhnya seperti terserang keram. Dia akan
bernasib sama dengan dua kawannya kalau saja kuda
tunggangannya tak segera lari sepenuh kekuatan, bagai
dikejar setan. Begitu juga dua kuda bekas tunggangan dua
temannya. Nasibnya, memang masih bagus. Meski dia
harus terkencing-kencing di celana.

*** 

7

Dengan cepat, mungkin lebih cepat dari melesatnya
anak panah, desas-desus tersebar semenjak peristiwa di
satu daerah ladang jagung kering Wetan. Lelaki muda
penunggang kuda seperti kesetanan memberitahu siapa
saja. Tak peduli yang diberitahu mau tahu atau tidak. Tidak
peduli orang yang diberitahu sedang sibuk makan atau
sibuk buang hajat.
Desas-desus merembet, dan merembet. Kegem-
paran pun terpicu. Ini satu berita besar dunia persilatan!
Jarang ada yang mau melewatkan, kecuali bagi yang
telinganya sudah jadi rongsokan.
Orang-orang banyak juga yang kurang percaya pada
cerita si anak muda. Bagaimana bisa percaya kalau cara
menceritakannya begitu meledak-ledak, menggebu-gebu,
terburu-buru sekaligus takut-takut. Mereka menganggap
ocehan si pemuda cuma bualan seorang berpenyakit
sinting.
Masa'  iya ada macan berkepala puluhan ular? Dari
zaman kuda gigit besi sampai kuda gigit bakpao, yang
namanya macan ya tetap berkepala macan. Nah, yang
namanya ular, tetap ular. Kalau dikatakan macan
berkepala puluhan ular, itu kan sama saja seperti
mengatakan seorang yang jidatnya ada di jempol dan
jempolnya ada di jidat. Bagaimana gitu! Pokoknya tidak
masuk akal bagi mereka.
Tapi yang namanya desas-desus, lebih banyak yang
percaya ketimbang tidak. Jangan lagi orang dunia
persilatan yang merasa berkepentingan dengan munculnya
kehebohan itu, nenek-nenek kampung sampai istri centeng
desa pun meributkannya.
Hari itu, si pemuda terlihat di sebuah pinggiran desa.
Kebetulan dia bertemu dengan seseorang tua bertubuh
pendek, berperut buncit. Berpakaian merah kedodoran dari
bahan murahan. Kepalanya gundul sebelah, Kalau
kepalanya sudah gundul sebelah, siapa tahu bagian lain 

pun begitu, yang itu tak usah dipermasalahkan. Yang jelas,
dari caranya berjalan dengan menyandang tombak
bermata golok besar, lelaki tua buncit ini jelas warga
persilatan.
"Bapak Tua! Berhenti dulu. Bapak Tua!" tahan si
pemuda dengan napas terengah-engah.
"Apa?!" tanya si Tua Buncit singkat. Alisnya yang
gundul sebelah terangkat.
"Dunia persilatan sedang dalam keadaan 'buaha-ya'!"
sambar si pemuda meledak-ledak. Matanya mendelik-delik
setiap kali mengucapkan satu kata. Jangan-jangan kalau
dia terus berbicara, biji matanya bakal mencelat keluar.
Kalau semula terangkat, sebelah alis orangtua
buncit sekarang malah merosot turun.
"Ngomong yang benar! Bahaya, maksudmu?!"
Iya.PakTua! 'Buahaya'!"
Orang tua buncit merengut.
"Ah, dari dulu dunia persilatan memang selalu
begitu! Bahaya menebar di mana-mana!" tepis si Tua
Buncit sambil mengayun tangan di udara. Dia hendak
meneruskan langkah.
Si anak muda menahannya. Lengan baju si Tua
Buncit dicekal kuat-kuat.
"Jangan pergi dulu, Pak Tua! Bukankah Pak Tua
warga persilatan?!"
"Apa aku terlihat seperti warga hutan alas? Seperti
kunyuk atau kambing begitu?!"
"Kalau begitu, kau mesti tahu, Pak Tua!"
'Tahu apa?!"
"Tahu sesuatu yang pasti kau belum tahu!"
"Monyong! Bertele-tele sekali kau!"
"Ada manusia  bisa berubah menjadi macan
berkepala puluhan ular!"
"Ini teka-teki atau bukan?" sungut si Tua Buncit
salah kaprah. "Kalau itu teka-teki, aku juga punya. Ada
sesuatu yang hitam, kecil, tersembunyi dan bau. Apa
hayo?!" 

"Bukan... bukan!" si pemuda menggeleng-gelengkan
kepalanya seperti hampir mau lepas.
"Jadi apa maksudmu, heh?!" "Aku melihat ada orang
mencari Pendekar Slebor!"
Orang tua buncit mengernyit. Dia masih belum
mengerti ucapan ngelantur pemuda di depannya. Tadi dia
bilang soal orang yang bisa berubah menjadi macan
berkepala ular. Sekarang, dia bilang ada orang mencari
Pendekar Slebor....
Mulut si Tua Buncit menganga, baru hendak
mengumpat. Namun kalah cepat dengan si pemuda.
"Begini saja, Pak Tua! Karena kau orang dunia
persilatan, tolong sampaikan pada Pendekar Slebor! Ada
orang mencarinya. Orang itu berilmu 'tinggi'...."
"Tinggi, maksudmu?"
"Ya, 'tuinggi'! Dia memiliki ajian yang bisa mengubah
wujudnya menjadi macan berkepala ular!" cecar si
pemuda, tanpa titik tanpa koma.
Orang tua berperut buncit mengangguk-angguk
pelan.
"O, cuma itu saja," katanya santai. Dia berjalan lagi
dengan menyandangkan tombak bermata golok besar di
bahu. Baru tiga langkah, dia terhenti. Matanya mendelik.
Cepat dia berbalik pada si pemuda.
"Hah, ada  manusia bisa berubah menjadi macan
berkepala ular?! Mencari Pendekar Slebor?! Hah?! Hah?!"
runtun orang tua buncit tadi.
E, memang telinganya tadi melayap ke mana saja?

***

"Kenapa kita harus lewat sini, Wak. Kita sama saja
berputar. Itu artinya, kita menempuh perjalanan yang
jaraknya dua kali lebih jauh. Mestinya kita tinggal lurus
saja. Bukankah tujuan kita ke Wetan seperti katamu?"
Pendekar Slebor memprotes Nyai Silili-lilu. Adik kandung
buyutnya itu seperti sengaja mengerjainya terus. 

Perempuan uzur  itu tentu merasa suka cita kalau
digendong keliling-keliling dan membuat napas si pendekar
muda dari Lembah Kutukan Senin-Kamis. Begitu pikir
Andika.
"Jangan banyak mengeluh! Sejak kapan aku memiliki
seorang cicit kemenakan yang doyan mengeluh!" bentak
Nyai Silili-lilu menyembur-nyembur bak seekor naga peot.
"Ya, kau sendiri enak-enakan di atas punggungku,
Wak. Sedang aku? Bisa-bisa tulang punggungku
membengkok sebelum jompo!"
"Diam... diam... diam..!" Nyai Silui-lilu menjewer
telinga Pendekar Slebor. Maka, meringis-ringislah pendekar
muda itu.
Di dekat sebuah pohon besar, perjalanan mereka
dihentikan sapaan seseorang.
"Pucuk dicinta, ulam tiba...."
Pendekar Slebor menoleh ke asal suara. Begitu juga
nenek peot di punggungnya. Seorang lelaki tua pendek
berperut buncit yang belum lama mendengar berita
menggemparkan dari seorang pemuda terlihat sedang
duduk menjuntai kaki di atas ranting pohon tak lebih besar
dari jari kelingking.
"Pucuk dicinta, ulam tiba!" balas Nyai Silili-lilu.
Wajahnya sumringah melihat si penyapa.
"Pucuk dicinta, dengkulku sengsara!" gumam
Pendekar Slebor, sebal sekali.
"Turunkan aku, Andika!" perintah Nyai Silili-lilu.
Ah, akhirnya penderitaan itu berlalu juga.... An¬dika
lega. Cepat-cepat diturunkannya tubuh nenek uzur di
punggungnya.
Berdiri di tanah, Nyai Silili-lilu lantas saja menggeliat-
geliatkan pinggang ke kiri dan kanan.
"Uuuh, pegalnya...," keluhnya enak sekali. Padahal
mestinya tindakan itu jadi bagian Pendekar Slebor yang
hampir seharian menggendongnya. Dalam hati, Andika
memaki-maki. Dia tambah merutuk sebal menyaksikan
adegan mesra antara dua manusia langka tadi. 

Pasalnya, Nyai Silili-lilu dan si Tua Buncit
menghambur berbarengan. Mereka berangkulan sambil
berputar-putar. Berteriak-teriak lebih ramai dari
gwedumprangan kaleng rombeng. Lagak keduanya  sudah
seperti remaja yang sedang dijangkit kasmaran. Dasar
tidak tahu diri, cemooh Andika. Sudah bau tanah saja
masih bertingkah! 
"Apa lihat-lihat?!"
Andika dibentak Nyai Silili-lilu. Nenek peot itu
rupanya jeli juga menangkap sinar mencemooh di mata si
anak muda sakti.
"Kau tak redho kalau kami berangkulan? Tak
ikhlas?"
Andika menggelengkan kepala. Celakanya, bibir
pendekar muda itu malah mencibir.
Kontan saja Nyai Silili-lilubertolak pinggang. Bibir
sekendor gombalnya menyemburkan  khotbah panjang,
yang sumpah mampus bisa membuat seekor keledai
terpeleset!
"O, iya. Kenalkan... mantan kekasihku! Hik hik hik."
Dengan aneh dan sulit dimengerti, perempuan uzur itu
mendadak mengerem omelannya. Wajahnya tahu-tahu
berubah manis sekali. Pada  Pendekar Slebor,
diperkenalkannya orang tua berperut buncit. 
"Masih ngganteng, ya...?"
Ganteng? Jakun Andika melompat-lompat di tempat.
Rasanya dia ingin terbahak-bahak di tempat. Kalau tak
takut Nyai Silili-lilu ngamuk besar, dia akan tertawa sepuas-
puasnya.
"Nan Buncit Sayang...," Nyai Silili-lilu mengalihkan
pandangan ke arah Andika. "Anak muda kunyuk  ini yang
disebut-sebut sebagai Pendekar Slebor! Jelek-jelek begini,
cicit kemenakanku, lho! Hik hik hik!" Lalu Nyai Silili-lilu
membusungkan dada, membanggakan cicit
kemenakannya. Usaha yang agak sembelit sebenarnya,
mengingat betapa melengkung punggung si nenek itu.
Andika tak sudi dikatakan jelek. Mestinya dia yang 

pantas mengatakan, 'jelek-jelek begini, dia itu Uwak
buyutku, lho!
"Kau anak muda! Sungkem  sama mantan
kekasihku!" perintah Nyai Silili-lilu lebih lanjut.
"Sekarang?" Andika meringis sengsara.
"Sekarang!"
Mau rasanya Pendekar Slebor saat itu berteriak
sekuat-kuatnya. Tidak apa-apa dianggap gila! 

8

Desas-desus yang ditebarkan mulut seorang
pemuda beberapa waktu lalu bukan sekadar bualan.
Dalam beberapa hari, dunia persilatan benar-benar
dihantam kenyataan sesungguhnya. Semua yang pernah
diocehkan si pemuda benar-benar nyata!
Sehari setelah si anak muda menyebarkan berita
saja, sudah terdengar kabar sengit tentang pembunuhan
seorang ketua perguruan silat aliran putih di sekitar
wilayah Wetan Jawa. Tokoh yang mati bukan cecoro
persilatan. Dia termasuk salah satu tokoh yang disegani. Di
samping  karena menjadi ketua perguruan besar aliran
putih, juga kesaktiannya sudah teruji dalam berpuluh
pertarungan dengan orang-orang atas golongan sesat.
Beberapa murid perguruan itu yang sempat
menyaksikan kejadian bertingkah serupa dengan pemuda
pembawa kabar sebelumnya. Mereka seperti setengah gila.
Cara bicara mereka meledak-ledak sarat ketakutan.
Meski tak begitu jelas, ucapan mereka masih bisa
ditangkap. Kata mereka, mereka menyaksikan seekor
macan berkepala ular membantai guru besar mereka
dengan cara telengas.
Berturut-turut setelahnya, terjadi kejadian serupa.
Empat tokoh sesat tergabung dalam kawanan begal
berkesaktian tinggi mati tercabik-cabik. Salah seorang di
antara mereka mati dengan mayat hangus membiru.
Dalam empat hari sudah jatuh korban tujuh orang
warga dunia persilatan. Tiga di antaranya dari golongan
lurus. Sisanya dari golongan sesat
Dunia persilatan mulai dibuat bertanya-tanya. Siapa
sesungguhnya manusia sakti yang bisa menjelma menjadi
macan berkepala ular itu? Mengapa dia membunuh tak
pandang bulu? Tak peduli dari golongan hitam atau lurus.
Apakah Pendagel Setan telah bangkit kembali? Beberapa
waktu lalu, dunia persilatan pun  dihebohkan oleh
kemunculan Pendagel Setan. Lelaki itu pun membunuh 

tanpa pernah memandang bulu (Untuk jelasnya, bacalah
episode: "Pendagel Setan")!  Tapi, Pendagel Setan  bukan
seorang yang memiliki kesaktian seperti itu. Dia tak pernah
bisa mengubah wujudnya menjadi binatang mengerikan.
Lagi pula, bukankah Pendekar Slebor telah
menyingkirkannya?
Ataukah ini bagian dari murka Tuhan terhadap
penduduk tanah Jawa yang sudah terlalu mabuk pada
kenikmatan dunia? Setelah sebelumnya mengirim
kemarau berkepanjangan, mungkinkah sang Penguasa
mengutus utusan dari neraka?
"Aku sudah pernah mendengar berita itu sebelumnya
dari seorang pemuda," ucap si Tua Buncit pada Andika dan
Nyai Silili-lilu. Saat itu mereka berniat mengisi perut dengan
kelinci bakar.
Untuk urusan memburu, menyiangi dan membakar
kelinci, Andika bagiannya. Nyai SiUli-lilu mana mau
melakukannya! Dia malah sedang asyik duduk
bergandengan tangan di bawah pohon asam. Perempuan
uzur besar adat itu pula yang memerintah Andika. Untung
saja saat itu Pendekar Slebor tidak terpikir untuk memberi
racun pada daging panggang kelinci bakar!
"Hey, Anak Muda...," lanjut si Tua Buncit pada
Andika.
Andika menoleh malas-malas ke belakang.
"Menurut anak  mudayang kutemui  beberapa hari
lalu, manusia jejadian itu mencari dirimu!"
Dari jongkoknya, Pendekar Slebor berdiri. Di-
terbengkalaikannya panggangan daging kelinci. Bau
mengait selera sudah menebari udara. Andika tak peduli.
"Kau sungguh-sungguh, Pak Tua?"
"Kau pikir aku sedang bergurau, heh?!"
Andika mengangkat bahu. Dia masih sulit percaya,
mengingat si orang tua buncit adalah kekasih Nyai Silili-lilu.
Siapa tahu dia sama tengik dengan perempuan uzur itu.
"Kalau ternyata semua berita itu benar, dan
ucapanmu juga benar...." 

"Maka tidak ada yang salah!" sela Nyai Silili-lilu.
"Kamu masih muda, tapi bicaramu membingungkan!"
"Maksudku, kalau semuanya benar, kenapa manusia
itu mencariku?"
"Ah, orang sepertimu tentu saja banyak yang
memusuhi Anak Muda. Apa kau lupa. Orang-orang sesat
tak akan pernah lega kalau ksatria sejati macam dirimu
masih bernapas!" tukas si Tua Buncit.
"Apa mungkin dia salah seorang musuh yang
memendam dendam terhadapku?" gumam Andika.
Sebentar diingat-ingatnya beberapa orang musuh lamanya
yang mungkin  masih hidup. Terlalu sulit. Banyak yang
masih hidup di antara mereka.
"Ah, aku tidak tahu," keluh Andika.
"Jangan dulu berpikir terlalu jauh! Urusan kecilmu
saja belum kau selesaikan!" sela Nyai Silili-lilu sambil
menimpuk kepala cicit kemenakannya dengan ranting
kering.
Andika menepuk kening. Bukan karena baru terkena
timpukan. Dia ingat sekarang mengenai kalung yang
ditemukannya di genggaman tangan mayat Neelam. Nyai
Silili-lilu ternyata ada gunanya juga telah mengingatkannya.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Andika jadi lupa pada kalung itu
justru karena tingkah Nyai Silili-lilu yang kelewatan
padanya. Jadi anggap saja impas! 
"Nih!"
Perempuan tua itu melempar kalung yang masih
dipegangnya pada Pendekar Slebor.
"Bagaimana, Wak? Katanya kau ingin mengantarku
pada orang  yang bisa kutanyakan tentang kalung ini?!"
Andika mengingatkan Nyai Silili-lilu.
"Hoek... cuih! Aku tak pernah ingkar pada ucapanku
sendiri! Kau bisa tanyakan benda itu pada mantan
kekasihku ini!" jawab Nyai Silili-lilu seraya menepuk-nepuk
kepala si Tua Buncit seenak dengkul.
"Lho, bukankah ini kalung murid-muridku? Selama
ini aku sedang mencari-cari mereka! Dari mana kau 

temukan kalung ini, Anak Muda?" tanya si Tua Buncit
setelah meneliti sejenak.
"Aku menemukannya di tangan seorang wanita India
yang mati terbunuh?"
"Terbunuh? Eh, apa yang akan mereka kerjakan
sesungguhnya? Kenapa wanita India itu dibunuh?"
"Itu yang ingin kuketahui."
Sementara si  Tua Buncit bangkit, Andika teringat
sesuatu.
"O, iya Pak Tua. Apakah kau memiliki murid seorang
bocah kecil?" lanjut Pendekar Slebor.
"Murid seorang bocah kecil?"
"Ya. Aku melihat sebentuk pukulan tenaga dalam
luar biasa telah menyebabkan kematian wanita India itu.
Dari bentuk kepalan tinjunya yang kecil, aku beranggapan
kalau si pembunuh seorang bocah kecil."
"Ha ha ha! Kau keliru, Anak Muda! Tak ada muridku
seperti kau katakan. Tapi kalau seorang cebol memang,
Katak Merah julukannya."
"Sekarang jadi jelas," gumam Pendekar Slebor.
Kepalanya mengangguk-angguk samar. "Lalu, kenapa kau
mencarinya, Pak Tua?" sambungnya. Wajah orang tua
buncit itu menampakkan kemarahan besar. Wajahnya
memerah matang. Dengan wajah seperti itu, sepertinya
setiap saat dia bisa melabrak apa saja, siapa saja di
dekatnya. Dua telapaknya membentuk tinju, geram-geram.
"Mereka murid-murid murtad! Hmrrr!"
"Apa yang mereka perbuat?"
"Mereka memasuki tempat semadiku. Padahal aku
telah melarang mereka keras-keras."
"Ah, kukira apa. Kalau cuma itu, menurutku tidak
terlalu berat pelanggaran mereka...."
"Kau sok pintar, Anak Muda! Mereka menguras tiga
kitab sakti dari tempat semadiku. Sementara aku sendiri
belum sempat mempelajari kitab sakti itu!" Murka si Tua
Buncit membuncah dalam setiap kalimatnya.
Andika kecut juga. 

"Ooo, kalau begitu pantas saja. Mereka memang
harus dihukum berat," timpal Andika, berusaha
membetulkan kesalahan ucapan sebelumnya. Anak muda
itu khawatir  dirinya jadi pelampiasan kemurkaan si Tua
Buncit. Kalau terjadi perselisihan, dia tak bisa menjamin
Nyai Silili-lilu memihaknya, biar pun Andika adalah cicit
kemenakannya sendiri. Siapa tahu perempuan uzur kepala
batu itu justru memihak mantan kekasihnya. Kalau sudah
begitu, aku cuma akan jadi bulan-bulanan. Tak usah ya!
Ceracau Andika membatin.
"Mereka itu....  Hmmrr hmrrr hmrrr!" si Tua Buncit
memperpanjang lagi kegeramannya. Belum selesai satu
kalimat, tangannya sudah meninju telapak sendiri. Berkali-
kali Andika jadi makin kecut. Lalu orang tua berperut
sebesar gentong ajaib itu mulai berjalan hilir mudik,
membuat Andika yang mengawasinya menjadi tujuh
keliling dibuatnya.
"Padahal aku sudah wanti-wanti pada mereka. Aku
akan menurunkan semua kesaktian yang kumiliki. Tapi
mereka tak sabar. Dasarnya mereka bejat, brengsek,
slompret, tak tahu adat—"
"Kadal bau!" sela Andika, melengkapi. "Kenapa kau
belum mempelajari kitab-kitab yang mereka curi, Pak Tua?"
tanyanya lagi.
"Karena kitab-kitab itu berisi ilmu kanuragan sesat!
Semuanya kudapatkan dari tiga tokoh sesat kelas atas
yang pernah kukalahkan!"
"Mereka memberikannya begitu saja padamu?"
"Ya, tentu tidak! Aku bertaruh dengan mereka. Kami
bertarung lebih dahulu. Siapa yang menang, akan
mendapatkan kitab sakti milik lawannya. Itu kerjaku sejak
dulu. Makanya, aku lebih dikenal dunia persilatan dengan
julukan...."
"Petaruh Sakti Perut Buncit!" sambar Nyai Silili-lilu di
bawah pohon asam
"Kalau kau memiliki kitab atau senjata pusaka, kau
bisa menantangku untuk bertaruh?!" tantang orang tua 

berjuluk Petaruh Sakti Perut Buncit.
Andika menggelengkan kepala. Bibirnya meringis.
Pekerjaan sinting orang-orang tak punya kerjaan, pikir
Andika.
"Aturannya, kita akan bertarung seratus lima puluh
jurus..."
"Tidak perlu, Pak Tua!" sergah Pendekar Slebor. Tapi,
Petaruh Sakti Perut Buncit terus saja nyerocos.
"Kalau ada yang jatuh terlebih dahulu sebelum
seratus lima puluh jurus, maka dia menjadi pihak yang
kalah.... Di samping mempertaruhkan kitab-kitab sakti dan
senjata pusaka, tentunya ada kemungkinan kita
mempertaruhkan nyawa!"
"Tidak... tidak... tidak perlu, Pak Tua!"
"Tidak perlu?"
Pendekar Slebor menggeleng cepat-cepat, mumpung
orang tua gila bertaruh itu belum melanjutkan
ocehannya tentang tektek bengek aturan
pertaruhan.
"Kalau begitu, ya sudah! Aku cuma menantang
bertaruh orang-orang yang mau bertaruh! Kau memang
'kadal bau'!" semprot Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Senjata makan tuan," gerutu Andika.
"Sekarang, bisakah kau menjelaskan padaku apa
saja isi ketiga kitab sesat yang dicuri murid-murid-mu?"
Andika berusaha mengarahkan kembali pembicaraan ke
masalah sebelumnya. Kalau terus melantur, semuanya
bisa jadi ngawur.
Petaruh Sakti Perut Buncit mendelik.
"Kau bilang cicit kemenakanmu punya otak seencer
bubur bayi. Tapi kenapa dia jadi bodoh begini, Sayang...,"
tukas si Tua Buncit pada Nyai Silili-lilu. "Mana aku tahu soal
isi kitab itu. Bukankah aku sudah bilang tadi, aku belum
sempat mempelajarinya. Mencolek saja pun tidak!"
'Ya, jangan gusar begitu Pak Tua. Aku kan cuma
bertanya," bujuk Andika.
"Aku tidak gusar...," kata Petaruh Sakti Perut Buncit 

seraya menjulurkan leher pendeknya ke atas.
Andika lega. Syukurlah kalau manusia berotak
sedikit miring ini tidak gusar....
"Tapi aku dongkol setengah edan, tahu!" ledek si Tua
Buncit mendadak.
Pendekar Slebor mencelat ke belakang. Jan-tungnya
nyaris rontok! Aku kaget setengah edan, tahu! Umpatnya,
hanya berani dalam hati.

*** 

9

Musyawarah untuk mencapai mufakat, rupanya tidak
hanya berlaku untuk orang-orang berpikiran waras. Bagi
orang-orang yang berpikiran setengah sinting pun masih
bisa. Setidak-tidaknya musyawarah setengah sinting pula.
Setelah debat punya debat, setelah saling teriak-
teriak sampai mau serak, setelah ngotot sambil mencak-
mencak (yang begini ini apa masih bisa disebut
musyawarah?), akhirnya Nyai Silili-lilu, PetaruhSakti Perut
Buncit, dan Pendekar Slebor sepakat untuk mencari
manusia yang dapat menjelma menjadi macan jejadian
dahulu.
Pendekar Slebor sendiri lebih setuju untuk menemui
manusia  yang mampu menjelma menjadi macan jejadian.
Dia tak ingin lebih banyak korban hanya karena kesalah
pahaman. Menurut dugaannya, tentu orang itu hanya
hendak mencari  dirinya. Terbukti dari selentingan kabar
yang didengar, orang itu selalu menanyakan Pendekar
Slebor terlebih dahulu sebelum membantai para
korbannya.
Jalan pikirannya mungkin tak beda dengan Pendagel
Setan. Makanya, Andika tak sulit menerka seperti itu.
Meski sampai saat ini dia tak bisa menduga  secara pasti
siapa sesungguhnya manusia biadab itu.
Lepas dari kesepakatan yang lebih banyak menguras
kejengkelan  itu, Pendekar Slebor masih digerayangi tanda
tanya tak  terjawab. Apa hubungannya murid-murid murtad
si Tua Buncit dengan wanita India yang dibunuh mereka?
Apa tujuan mereka membunuh wanita itu? Karena
sepanjang pengamat-an jeli Pendekar Slebor, wanita yang
terbunuh bukanlah orang persilatan. Dari pakaiannya, dia
lebih pantas untuk dikatakan sebagai penduduk desa
bia....
"Kau mau ikut atau tidak?!" seru Nyai Silili-lilu,
mendapati cicit kemenakannya terpaku di belakang.
"Mau...," jawab Pendekar Slebor. 

"Ya, tentu saja kau harus mau! Bukankah memang
kau yang dicari oleh manusia jejadian itu!"
"Apa pun katamu, Wak...," bisik Pendekar Slebor
pasrah.
Sebelum mereka meneruskan langkah, ketiganya
dihambat oleh labrakan sesosok tubuh dari semak.
Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit sudah
mau mengangkat tangan. Hendak mereka hajar manusia
tak tahu adat yang mencoba membokong mereka.
Anggapan keduanya keliru besar. Orang itu tidak hendak
membokong. 
Pendekar Slebor yang berada di belakang mereka
dan jelas menyaksikan keadaan orang itu cepat-cepat
mencegah tindakan Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut
Buncit.
"Tunggu! Dia tidak ingin menyerang kalian! Dia
terjerembab dalam keadaan terluka parah!"
Kedua tua bangka yang selalu mau bergandengan
mesra itu cemberut. Rasanya mereka tak begitu suka ada
anak muda yang dianggap bau kencur seperti Andika
memberitahu mereka. Gengsi!
Tak peduli pada paras dua tua bangka tadi,
Pendekar Slebor bergegas mendekati orang yang
terjerembab. Tubuh yang tertelungkup segera dibalikkan.
Dengan pahanya, Andika menyangga kepala orang tadi.
Menyaksikan wajahnya, Pendekar Slebor jadi
mengernyitkan kening. Orang keturunan India lagi, pikirnya.
Ada apa sebenarnya sampai belakangan ini dia banyak
berurusan dengan para perantau dari negeri seberang itu?
"Apa yang terjadi dengan dirimu, Saudara?" tanya
Andika.
Lelaki India tadi berusaha menjawab dengan napas
terputus-putus. Nyawanya dalam keadaan genting.
Sekarat. Mungkin hanya beberapa tarikan napas lagi dia
akan segera menemui ajal.
Lelaki itulahyang beberapa waktu lalu dijadikan
bulan-bulanan tiga orang di telaga Kadipaten Karang 

Gantung. Dia sebenarnya sudah terlalu payah. Hanya
karena ada sesuatu tersembunyi dalam benaknya yang
harus disampaikan pada orang dari golongan putih,
membuat dia berjuang sekuat tenaga untuk
mempertahankan selembar nyawanya.
"Mereka hendak membentuk Perserikatan Setan...,"
lirihnya samar.
"Mereka? Mereka siapa?" susul Andika, tak ingin
kehilangan waktu sekejap pun mengingat keadaan si lelaki
India sudah begitu mengkhawatirkan.
Di antara tarikan napas yang tersandung-sandung,
orang sekarat tadi melanjutkan.
"Dua lelaki dan satu wanita.... Satu orang cebol, satu
orang berwajah seram.... Mereka ingin mengumpulkan
tokoh-tokoh sesat kalangan atas untuk membentuk laskar
sesat.... Per...."
Tak sampai menyelesaikan kalimat sendiri, nyawa si
lelaki India melayang sudah.  Tampaknya kehendak hati
yang menyebabkan nyawanya masih bisa bertahan telah
terpenuhi. Dia mati dengan garis wajah lega.
"Perserikatan Setan...," desis Pendekar Slebor,
menyambung kata terakhir yang tak sempat dicetuskan si
lelaki India.
"Itu murid-muridku! Aku yakin itu murid-murid
murtadku!"
Di belakang Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut
Buncit mencak-mencak.
"Ya. Tampaknya begitu Pak Tua...," desah Pendekar
Slebor. Pandangannya terlepas jauh. Dia sedang
memikirkan sesuatu. "Rasanya aku bisa mengerti kenapa
murid-murid murtadmu membunuh wanita India waktu
itu...," gumamnya kemudian.
"Apa? Apa? Ayo katakan padaku, apa?!" serobot
Petaruh Sakti Perut Buncit tak sabaran.
"Mereka  merencanakan membentuk satu
perserikatan yang menyatukan tokoh-tokoh sakti golongan
sesat. Mungkin lelaki malang ini mendengar rencana 

rahasia mereka. Karena tak ingin rencana besar itu
diketahui orang-orang golongan putih sebelum terwujud,
mereka memburu lelaki malang ini. Sementara, untuk
menemukan perantau dari India ini, mereka mengira dapat
mengorek keterangan dari orang-orang satu negeri
dengannya. Itu sebabnya mereka mendatangi wanita India
yang mayatnya kutemukan waktu itu...," papar Pendekar
Slebor, panjang lebar dan tuntas.
"Nah, bukankah sudah kubilang padamu sejak mula,
cicit kemenakanku memang berotak seencer bubur bayi!"
seru Nyai Silili-lilu seraya menepak jidat mantan
kekasihnya kuat-kuat.

***

Di tempat lain, tepatnya di sekitar batas Kadipaten
Karang Gantung tampak sebuah bangunan tua
menebarkan cahaya api dari ruang  dalamnya. Bangunan
tua berupa pendapa yang sudah dimakan rayap pada
beberapa bagian itu tampak demikian terbeng-kalai.
Mungkin telah tak didiami selama bertahun-tahun. Di
halaman depannya tumbuh ilalang liar, tanaman yang
masih kuat bertahan dalam kemarau  panjang seperti
sekarang. Tingginya nyaris menyamai kepala. Cahaya redup
dari satu ruangan bangunan tua terengah-engah
menerobos kegelapan malam dan sekian ubun-ubun alang-
alang.
Di dalam sana, terdengar suara beberapa orang. Ada
suara perempuan. Juga ada  suara lelaki. Semuanya
terdengar bergiliran, teratur. Tampaknya orang-orang itu
sedang mengadakan rapat rahasia.
Masuk ke ruangan tengah besar, tampak hadir
sepuluh orang. Semuanya duduk bersila di atas tikar lebar.
Tujuh orang lelaki. Sisanya wanita. Tiga orang di antaranya
adalah orang-orang yang beberapa waktu lalu memburu
lelaki India di telaga Kadipaten Karang Gantung.
Merekalah Dewi Kecubung, Katak Merah, dan Mata Dewa 

Kematian.
Malam ini, mereka sebagai pencetus rencana besar
pembentukan Perserikatan  Setan telah kedatangan tamu
tujuh tokoh golongan sesat. Dalam minggu-minggu
terakhir, undangan telah disebar secara rahasia oleh tiga
orang murid murtad Petaruh Sakti Perut Buncit. Dari lima
belas undangan yang tersebar, hanya tujuh yang mendapat
sambutan.
Tak ada seorang golongan putih pun yang tak akan
terkejut jika menyaksikan ketujuh orang yang datang
memenuhi undangan. Mereka rata-rata adalah datuk-datuk
sesat dunia persilatan. Kesohoran mereka sudah
menyerupai momok menakutkan. Di mana pun dan kapan
pun julukan mereka disebutkan orang, ketika itulah
ketakutan menghantui.
Sesungguhnya, teramat sulit untuk mengundang
mereka. Apalagi pengundangnya cuma tiga orang yang
belum cukup punya nama besar. Namun, akal licin Dewi
Kecubung membuat semuanya berjalan  mulus. Disebut-
sebutnya dalam undangan bahwa Perserikatan Setan
mempunyai tujuan utama untuk menyingkirkan satu-
satunya penghalang terbesar bagi kaum sesat saat itu....
Pendekar Slebor!
'Bumbu' itu membawa hasil. Dengan cukup
bersemangat, mereka tiba dan  langsung menanyakan
apakah Perserikatan Setan yang akan dibentuk
mempunyai tujuan pertama da., utama untuk
menyingkirkan pendekar muda sakti itu.
Di antara ketujuh datuk sesat dunia persilatan itu,
telah hadir orang-orang yang pernah berurusan langsung
dengan Pendekar Slebor.
Seorang di antaranya adalah si Gila Petualang.
Tokoh tua yang dalam kepalanya terpendam dendam
berkarat pada Pendekar Slebor karena rencananya di
Piramida Tonggak Osiris digagalkan mentah-mentah.
(Untuk lebih jelasnya, bacalah tiga episode: "Undangan
Ratu Mesir", "Piramida Kematian", dan "Warisan Ratu 

Mesir")!
Berseberangan dengan si Gila Petualang, duduk
seorang berusia amat uzur, berjenggot amat panjang
sampai menutupi seluruh bagian bawah tubuhnya.
Berpakaian kain kafan dekil berlumur tanah tercabik-cabik.
Rambutnya sepanjang jenggot. Wajahnya tertutup rambut
kotor dan kumal itu. Dialah Hakim Tanpa Wajah. (Untuk
mengetahui kisahnya bacalah episode: "Manusia Dari
Pusat Bumi" dan Tengadilan Perut Bumi")!
Dua kali di samping kanan si Gila Petualang, duduk
seorang lelaki berjenggot seperti kambing gunung. Usianya
sekitar delapan puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat,
menaungi sepasang mata seta-jam sembilu. Meski usianya
tua, masih tampak sisa ketampanannya. Kening lelaki itu
lebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala.
Memanjang lepas menutupi bokong. Perawakannya tinggi
besar dan berotot. Padakulit dari bagian leher ke bawah,
selu-ruhnya berkerut-kerut. Serupa dengan karet terba-kar
dengan warna merah kehitaman. Lelaki yang ini adalah
musuh lama Pendekar Slebor pula. Julukannya Pangeran
Neraka. Lelaki terlicik yang pernah berhadapan dengansi
pendekar muda berotak  encer!    (Baca kisahnya dalam
episode: "Pendekar Wanita Tanah Buangan" dan
"Sepasang Bidadari Merah").
Duduk di dekat mulut pintu masuk seorang lelaki
gagah berperawakan seperti Bima, tokoh pewayangan.
Wajah memikatnya dihias cambang tipis serta kumis lebat
melintang. Bersit matanya kasar, bengis, dan telengas.
Pakaian rompi kulit macan menutupi dada bidang berbulu
lebatnya.  Tokoh satu ini pernah pula berurusan dengan
Pendekar Slebor. Dia tak lain, si Pencuri Ilmu. (Tentang
tokoh ini bisa dibaca pada episode: "Peta Rahasia Lembah
Kutukan").
Sebenarnya, kalau keempat tokoh itu saja
bergabung menjadi satu, maka dunia persilatan  akan
mendapat kesulitan maha besar. Dengan kelicikan
Pangeran Neraka, kesaktian Hakim Tanpa Wajah, 

pengalaman si Gila Petualang yang pernah didapatnya
selama bertualang, dan kehebatan Pencuri  Ilmu
mengambil alih jurus-jurus lawan, mereka akan menjadi
empat tokoh pemegang kendali napas dunia persilatan.
Kini, ada tiga tokoh sesat kelas atas lain. Ditambah
tiga pencetus rencana pendirian Perserikatan Setan. Lalu,
bagaimana jadinya bila mereka semua benar-benar
bersepakat untuk mewujudkan cita-cita sesat mereka?
Bukankah dunia persilatan sama saja menanti prahara
dahsyat?
Sementara itu, tentu saja akan ada tantangan maut
yang belum pernah dihadapi Pendekar Slebor selama ini,
dan seberat kali ini....
"Sebaiknya, kau tak usah bertele-tele lagi,
Perempuan Muda! Jelaskan secara gamblang apa rencana
besar kalian sebenarnya?" si Gila Petualang saat itu
memotong ucapan pembukaan Dewi Kecubung. Dia tak
begitu suka mendengarkan orang bicara terlalu banyak.
"He he he! Betul, aku setuju!" timpal Hakim Tanpa
Wajah.
Wajah Dewi Kecubung memerah Dia gusar juga.
Kalau tak memikirkan rencana besarnya sendiri, dia ingin
sekali melabrak orang tua pengelana sesat itu. Tak peduli
seberapa hebat kesaktiannya.
"Baiklah, sebaiknya aku yang akan menjelaskan!"
sambar Mata Dewa Kematian,  mengambii alih
pembicaraan ketika melihat gelagat tak baik Dewi
Kecubung.
Lelaki itu berdiri dari silanya. Dia melangkah ke
tengah lingkaran. Dengan tangan disilangkan di belakang
punggung, dimulainya penjelasan.
"Seperti kita semua tahu, Dunia persilatan sekarang
ini belum memiliki satu kekuatan besar yang menjadi
pucuk pimpinan kekuasaan. Kekuasaan terpecah-pecah
dalam orang perorangan, Masing-masing saling unjuk gigi
untuk dikatakan berkuasa. Tapi sesungguhnya, tak pernah
ada yang benar-benar 

menggenggam  kekuasaan tertinggi dunia persilatan
itu sendiri. Kami bertiga, aku Mata Dewa Kematian, Dewi
Kecubung, dan Katak Merah, mempunyai pikiran untuk
mulai menata sumber-sumber kekuasaan dunia persilatan
yang selama ini terpecah-pecah. Khususnya bagi orang-
orang yang merasa dirinya menjadi warga persilatan
golongan sesat. Untuk itu, kami mengundang saudara-
saudara semua selakupe-megang kekuasaan-kekuasaan
yang masih tercerai-berai itu. Kebesaran julukan kalian
adalah satu jaminan bagi kita untuk membentuk kesatuan
kekuasaan. Di mana penyatuan kekuasaan itu akan
membentuk kekuasaan tertinggi yang akan kita pegang
bersama. Dengan begitu, hanya ada satu-satunya
penguasa yang menggenggam napas dunia persilatan.
Penguasa itu akan tergabung dalam Perserikatan Setan!"
Mata Dewa Kematian berhenti sejenak. Wajahnya
berubah mengeras. Sepasang mata merah darahnya
menyipit.
"Mencapai cita-cita besar kita itu, tak menjadi akan
mudah. Kita semua tahu, beberapa tokoh-tokoh golongan
lurus selalu menjadi penghalang semua kehendak  kita,
semua tindak-tanduk kita, semua kerja kita! Sampai kala
ini, tak ada seorang pun dari tokoh-tokoh golongan sesat
kalangan atas membentuk persatuan. Mereka akan kita
singkirkan dengan kekekuatan yang kita gabungkan
bersama. Salah  seorang tokoh itu adalah satu-satunya
penghalang besar kita saat ini. Siapa dia? Kita semua me-
ngenal satu nama... Pendekar Slebor. Entah sudah berapa
tokoh golongan hitam yang disingkirkan olehnya. Jika kita
berhasil membentuk Perserikatan Setan itu. terwujud,
maka tak akan ada lagi tokoh golongan lurus menghalangi
seluruh sepak terjang kita mengangkangi dunia persilatan.
Tidak ada! Tidak juga Pendekar Slebor! Karena akan tiba
bagi pendekar keparat itu saat ajalnya di telapak kaki
orang-orang Perserikatan Setan!"
Mata Dewa Kematian mengakhiri khotbah berapi-
apinya. Tak ada seorang undangan pun memberi 

sambutan. Hanya Dewi Kecubung dan Katak Merah yang
tampak  bertepuk tangan lambat Namun begitu, bukan
berarti para undangan tak terpincut dengan seluruh
pemaparan tadi. Di balik wajah keras mereka masing-
masing, tersembul lamat senyum menyerupai seringai.
Mereka kini turut menginginkan Perserikatan Setan cepat-
cepat berdiri. Seperti mereka begitu berhasrat untuk
mencabik-cabik nama besar Pendekar Slebor sekaligus
tubuhnya...!

*** 

10

Matahari menyembul kembali di ufuk timur. Sinar
merah tembaganya belum terlalu menjerang. Lamat,
ramah. Angin masih terasa sejuk, sebelum siang nanti
menjadi hembusan kering tak bersahabat.
Ladang jagung kering di salah satu wilayah Wetan
Jawa dirundung kesunyian. Sisa dingin malam yang begitu
menusuk tulang sumsum, masih bergentayangan. Kalau
siang daerah itu memang demikian panas, malam justru
sebaliknya. Dingin terlalu merasuk kulit. Bahkan terasa
menyiksa.
Pendekar Slebor tiba di sana. Sesuai beberapa
petunjuk yang didapat selama perjalanan, menurut
beberapa orang tempat itulah orang berkesaktian sesat
telah menanti Pendekar Slebor selama berhari-hari.
Semalam, di tengah perjalanan, dua pasangan
bangkotan yang semula setuju untuk turut malah berubah
pikiran. Nyai Silili-lilu dan Petarung Sakti Perut Buncit tahu-
tahu mengatakan pada Andika mereka hendak mencari
tiga murid murtad.
Andika tak mau banyak tanya. Justru dia gembira
setengah modar kalau orang-orang uzur berotak sedikit
miring itu tidak lagi bersamanya. Bersama mereka seperti
dikuntit kesialan sebesar biang dari segala biang badak!
Lebih mengerikan ketimbang dijerumuskan ke istana
kepinding!
Kini, pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan itu berjalan menyusuri jalan pembelah
hamparan padang luas terbengkalai. Disiapkannya
segenap kesiagaan. Matanya diusahakan untuk tidak
berkedip. Bahkan kalau bisa, napas pun ditahannya.
Di dekat sebuah gubuk yang dijadikan tempat
beristirahat para petani selama menggarap ladang
sebelum musim kemarau panjang melibat, Pendekar
Slebor merasakan ada hawa aneh merasuk kulitnya.
"Ada yang aneh di  sekitar tempat ini," bisik Andika 

pada diri sendiri. Dia merasakan, tapi tak bisa mengerti
keanehan apa gerangan. Panca inderanya sendiri tak
menangkap keganjilan apa-apa. Tidak matanya, telinganya,
hidungnya, tak juga kulitnya.
Perasaan serupa pernah hadir ketika pendekar
muda itu berurusan dengan Manusia Dari Pusat Bumi. Kala
itu dia hendak mengejar si manusia dedemit ke alam gaib.
Di gerbang alam gaib yang tersembunyi di balik jasad
pohon raksasa, perasaan seperti kini pun menyerangnya
(Untuk mengetahuinya bacalah episode: "Bayang-  Bayang
Gaib")!
Karena hal itu, Pendekar Slebor menghentikan
langkah. Dia diam. Tak ada niat baginya untuk
menggerakkan bagian tubuh mana pun, kecuali kedua bola
matanya. Diperhatikannya sekeliling dengan rasa waswas
yang menjangkit cepat. Telinganya dipasang sekuat
mungkin. Siapa tahu dia mendengar suara angin bokongan
dari belakang.
Menanti sekian lama, tak muncul satu serangan pun.
Pendekar Slebor mulai meragukan perasaannya sendiri.
"Apakah karena ketakutanku aku mulai merasakan
perasaan-perasaan aneh?" bisiknya lagi pada diri sendiri.
"Tapi, aku yakin ada orang yang sedang mengawasiku...."
Tanpa mengurangi kesiagaan dan kewaspadaannya
secuil pun, Andika mencoba menggerakkan kaki lagi. Tak
sampaikakinya menjejak ke depan, mendadak saja ada
sekelebat bayangan menerkam amat cepat dari atap
gubuk.
Mula-mula bayangan itu menerobos atap daun
kelapa kering. Membuat potongan-potongan atap
berhamburan ke udara bagai dihempas topan. Andika saat
itu terkesiap. Seluruh jaringan tubuhnya menegang,
mengejang, mengencang. Tangannya mengepal keras,
terangkat ke depan.
Dari atap gubuk yang berhamburan, kelebatan
bayangan tadi bergerak cepat dan lurus ke arah Pendekar
Slebor. Jarak Andika dengan gubuk cukup jauh. Ada sekitar 

lima belas tombak. Semestinya gerak  lompatan bayangan
itu agak terhambat gaya tarik bumi
Tapi yang disaksikan Pendekar Slebor sekelebatan
sungguh membuatnya terkagum sekejap. Bagaimana
tidak? Kelebatan bayangan tadi bergerak seolah-olah tidak
terpengaruh sedikit pun oleh gaya tarik bumi. Meluncur
lurus bagai terbang. Ringan, seolah menunggangi angin!
Sekejapan berikutnya, Pendekar Slebor bertanya
dalam hati, siapa yang sesungguhnya akan dihadapi?
Wrrr!
Berkawal deru santer mirip geletaran kain, kelebatan
bayangan tadi sampai di depan Pendekar Slebor.
Kesiagaan yang telah terjaga selama ini tak cukup
membawa hasil memuaskan bagi Pendekar Slebor. Dia
sudah berusaha berkelit dari terkaman ganas itu.
Sayangnya, kecepatan kelitannya ternyata kurang unggul
dibanding sambaran kelebatan bayangan tadi.
Tak ayal lagi...
Srat!
Ada sesuatu terkoyak. Pendekar Slebor cepat melirik
bagian bahu kanannya. Dilihatnya pakaian di bagian itu
tersobek. Dari cabikannya, anak muda itu bisa menilai
benda apa yang baru saja mengoyak pakaiannya. Sebuah
cakar tajam!
Pendekar Slebor cukup lega mengetahui kulit
tubuhnya tak ikut terkoyak. Bisa dibayangkan bagaimana
jika dia benar-benar tersambar cakar kelebatan bayangan
tadi. Tentu kulitnya akan terkuak, mencabik daging di
dalamnya, dan memperlihatkan tu-lang di bagian dalam. Itu
sungguh menggidikkan!
Untuk benar-benar lega, Pendekar Slebor belum
bisa. Sebab, kejap berikutnya disaksikan kelebatan
bayangan tadi menukik ke atas dataran ladang kering,
menjejak tanah, lalu menerkam kembali. Rentetan
gerakyang dilakukannya demikian memukau.
Pendekar Slebor sendiri, dalam hal kecepatan
adalah salah satu tokoh yang paling dikagumi di dunia 

persilatan. Kalangan persilatan  menganggap kecepatan
geraknya seperti siluman. Membandingkan kehebatan
kecepatannya dengan kelebatan bayangan tadi, anak
muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu
jadi kurang yakin apakah kecepatannya sanggup
mengimbangi kelincahan gerak kelebatan  bayangan yang
sampai saat itu tak jelas bentuk rupanya...
Sambaran berikutnya tak kalah cepat, beringas dan
ganas. Tetap dengan gerak lurus seperti menunggang
angin, kelebatan bayangan tadi mengancam leher
Pendekar Slebor.
Karena sudah masuk dalam kegentingan
sebelumnya, kepekaan naluri Pendekar Slebor menjadi
meningkat Serangan kali ini dapat dihindarinya. Itu pun
setelah dia memompa segenap kemampuan ilmu peringan
tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dimilikinya.
Agak kehilangan keseimbangan karena mendorong
tubuh terlalu kuat, Pendekar Slebor membuat satu putaran
salto. Dia menjejakkan kaki sebelas depa dari bayangan
tadi. Di lain pihak, bayangan itu pun sudah pula berdiri.
Di antara banyak pengalaman terburuk yang pernah
dialaminya, kali ini adalah salah satu pengalaman bagi
Pendekar Slebor disuguhkan pemandangan yang memaksa
mulutnya ternganga. Matanya tak berkedip. Anak muda itu
berdiri kaku seperti terserang tenung.
Disaksikannya seekor macanberkepala puluhan ular
sendok siap menerkamnya kembali....
"Jadi semua desas-desus itu benar...," desis si anak
muda takjub. "Kalau begitu, kemungkinan besar memang
benar pula desas-desus yang menyebutkan kalau aku yang
diinginkan macan jejadian ini. Tapi kenapa aku? Ada
urusan apa manusia berilmu sesat itu padaku?"
Pertanyaan yang tak akan pernah menemukan
jawaban selama Andika hanya terpaku bisu seperti itu. Dan
mungkin selamanya tak akan pernah terjawab kalau dia
tak segera tersadar dari ketertegunan. Karena macan
berwujud menggidikkan sebelas depa di depannya mulai 

memperdengarkan dengung mengancam.

***

Di tempat berbeda, namun di waktu yang sama,
pertemuan para datuk golongan sesat mencapai ujung
penyelesaian. Kesepuluh orang di dalam rumah
terbengkalai telah mencapai kesepakatan. Mereka setuju
untuk membentuk Perserikatan Setan!
Setelah meminum arak sebagai tanda keberhasilan
bagi kebanyakan orang-orang sesat, Bureksa alias
Pangeran Neraka bangkit berdiri.
Diangkatnya tabung bambu berisi arak. Entah sudah
berapa tabung arak ditenggaknya. Sampai saat itu,  tak
terlihat dia kehilangan kesadaran.
"Untuk keberhasilan kita! Hu hu huuu!" serunya
serakberkawal tawa anehnya.
Yang lain turut mengangkat tabung arak meng-
angkat tabung bambu di tangan masing-masing. Hanya si
Gila Petualang dan Hakim Tanpa Wajah yang tidak. si Gila
Petualang memang sudah pernah menyentuh minuman
seperti itu. Dia tak ingin membuat tubuh dan
keseimbangannya menjadi rusak karena pengaruh
minuman keras. Baginya untuk menguasai dunia
persilatan, dia harus benar-benar menjadi keadaan dirinya
sesempurna mungkin. Sedangkan Hakim Tanpa Wajah
bukannya tak turut minum. Di tangannya ada juga tabung
arak. Cuma dia tak ingin terbawa wibawa Pangeran Neraka.
Dia lebih suka acuh dengan diamnya yang beku.
"Saudaraku  segolongan  sekalian! Karena kita telah
menyetujui pembentukan Perserikatan Setan ini. Maka,
aku... Pangeran Neraka akan lebih dahulu
menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan perserikatan
kita! Aku bersedia membuat rencana sempurna untuk
menjerat nyawa Pendekar Slebor ke dalam genggaman
kita! Akan kususun siasat paling licin yang mungkin akan
mengecohkan akal cemerlang anak muda keparat itu! Hu 

hu hu huuu!"
"Heh, kau terlalu meremehkan kemampuan otak
anak keparat itu, Pangeran Neraka," cibir si Gila Petualang
berat.
"Kau bicara apa?!" sentak Pangeran Neraka.
"Kau pikir, aku tak pernah merencanakan siasat
yang demikian sempurna untuk menjebaknya?" lanjut si
Gila Petualang tanpa sudi menatap Pangeran Neraka.
Kesannya angkuh.
"Ya... ya... ya, kau gagal karena otakmu kalah
cemerlang dengan anak muda keparat itu! Hu hu huuu!"
balas Pangeran Neraka mengejek.
"Kau ingin menyebutku dungu, Pangeran Neraka?
Begitu maksudmu?!" Suara si Gila Petualang yang semula
datar mendadak menanjak. Matanya menerkam ke arah
Pangeran Neraka. Kegusarannya terpancing.
Menyaksikan suasana akan semakin panas kalau
terus begitu, Mata Dewa Kematian segera bangkit
menengahi.
"Tenang... tenang.... Aku yakin tak ada yang dungu di
antara kita. Harus diakui, Pendekar Slebor memang bukan
anak kemarin sore yang mudah dipecundangi. Untuk itulah
kita bersatu! Dan aku yakin, dengan ketajaman akal
Pangeran Neraka dan pengalaman hebat Pak Tua Gila
Petualang, kita akan bisa menjadikan pendekar keparat
itu...."
"Menemui ajalnya!"
Kalimat Mata Dewa Kematian terpancing suara
menggelegar dari luar  bangunan. Dinding batu rumah
besar itu terguncang seakan dilanda gempa. Serpihan atas
bangunan bertaburan ke bawah. Dinding pun retak. Kusen
pintu terpatah.
Mengekori sambaran suara tadi, berpendar cahaya
amat terang di awal pagi muda yang belum lagi cukup
punya cahaya. Sinar merah saga mentari seperti tertelan
pendar cahaya yang membersit dari langit itu....
*** 

Satu pertarungan ganjil tampaknya akan segera
meletus. Bukan cuma pertarungan itu sendiri yang ganjil,
namun pihak yang berseteru pun ganjil. Satu pihak adalah
seorang pemuda tampan berperawakan gagah. Kekar.
Nyata sekali kesempurnaan zahirnya, meski otaknya
terkadang sengaja dibuat 'ngadat', lebih sinting dari orang
sinting.
Di lain pihak, lawannya adalah sosok yang benar-
benar mehggetarkan nyali.  Bahkan untuk seorang ksatria
sejati macam Pendekar Slebor sekalipun. Seekor macan
berkepala puluhan ular sendok! Di sanalah letak seluruh
keganjilan jalannya pertarungan ini....
Ketika itu, Andika si Pendekar Slebor dalam
kungkungan keterpanaan luar biasa.  Dia bagai patung
bernapas mendapati lawan yang belum lama me-
nyerangnya dalam kelebatan bayangan yang demikian
cepat. Bahkan mungkin melebihi kecepatannya yang
selama ini dikagumi banyak kalangan persilatan.
Seluruh serat tubuhnya mengejang tegang.
Bagaimana. tidak, kalau lawan yang harus dihadapinya kini
memiliki wujud yang selama hidup baru disaksikan?
Segunung pengalaman pahit getir, setimbun asam garam
dunia persilatan pernah dicicipi pendekar muda ini. Bahkan
dia pernah bertemu dengan tokoh-tokoh sesat kelas atas
datuk penguasa beberapa wilayah. Mereka tak jarang
begitu aneh, begitu ganjil untuk pikiran seorang yang
waras.
Tapi lawan yang mesti dihadapinya kali ini benar-
benar ganjil. Kalau ada yang bertanya, Andika sendiri sulit
menggambarkan dengan kata.
Bahkan menurut pikiran Pendekar Slebor, Manusia
Dari Pusat Bumi, lawan setengah dedemitnya pun tak
begitu membuncahkan keterperangahannya sedemikian
hebat. (Baca episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan
"Pengadilan Perut Bumi")! Tidak juga si Setan Laut, si
Penguasa Laut Selatan yang nyaris menjelma menjadi
makhluk menyeramkan penghuni lautan. (Baca episode: 

"Perompak-Perompak Laut Cina")!
Selama melihat dengan sejelas-jelasnya wujud
lawan, mengalir deras bagai terjangan air bah seruntun
pertanyaan dalam  diri si pendekar muda. Siapa yang
sesungguhnya yang dihadapi? Manusiakah dia? Atau dia
sedang berhadapan dengan sejenis dedemit dasar bumi?
Atau manusia sesat setengah dedemit seperti Manusia
Dari Pusat Bumi? Apa yang menyebabkan makhluk jejadian
ini menginginkan dirinya?
Segala macam pertanyaan bertubi-tubi tadi
mendapat jawaban berbeda dari lawan. 
Dzzzgggg!
Sehimpun desis membentuk dengung samar
na¬mun menggaung jauh. Puluhan ular di tubuh macan tak
berkepala di depan sana memperdengarkan desis maut,
menebar ancaman. Mata mereka berpendar seolah
menyimpan  bara. Aneh, Andika bisa mengartikan bersit
sejumlah pasang mata itu sebagai cerminan dendam.
"Dendam?" hati Pendekar Slebor berbisik. "Kenapa
di mata puluhan kepala ular itu terpancar dendam pada
diriku?" meruyak kembali pertanyaan-  pertanyaan tak
terjawab dalam dirinya.
Untuk kedua kalinya, jawaban yang didapat berbeda
dari harapan. Dengan tiba-tiba, wujud macan jejadian di
depannya menerkam kembali.
Untuk terkaman kali ini, Pendekar Slebor dipaksa
terperangah hebat. Sebab, manakala wujud macan
jejadian tadi berkelebat ke arah dirinya, terlihat samar-
samar wujud seseorang yang pernah disaksikannya
beberapa waktu belakangan membayang di antara wujud
macan jejadian! Sekilas benak Pendekar Slebor merasa
mengenali bayangan orang tadi. Sekilasan berikutnya, dia
tak memiliki waktu lagi untuk memikirkan. Karena....
Wsss! Crsh!
Satu sabetan cakar membuyarkan bayangan di
benak Pendekar Slebor. Kalau cakaran pertama hanya
berhasil mengoyak pakaiannya, sekali ini kulit pangkal 

lengannya turut tercabik. Andika merasakan pedih luar
biasa. Rasanya lebih hebat dari sayatan sembilu ditetesi
perahan jeruk nipis!
Darah mengalir dari tiga sayatan dalam sepanjang
rata-rata sepertiga jengkal.
Biarpun Pendekar Slebor sudah menghindar cukup
cepat, namun tampaknya kesalahan telah dibuat Dia
terlalu jauh terkesima dengan wujud lawan. Juga dengan
bayangan seseorang yang tahu-tahu tertang-kap di antara
kelebatan gerak terkaman tadi.
Cukup sudah! Kutuk Andika, membodoh-bodohi diri
sendiri. Dia tak boleh lengah lagi. Tak boleh, Tak mungkin!
Kecuali kalau dia ingin nyawanya cepat melayang di ujung
cakar ganas makhluk jejadian laknat itu! O, maaf-maaf
saja, cibir Pendekar Slebor.
"Kau...." Pendekar Slebor baru hendak mengoceh.
Dalam beberapa keadaan, mulut ceriwisnya memang tak
bisa ditahan-tahan. Ibarat orang kebelet buang air! Tapi
belum lagi lebar mulutnya menganga, lawan sudah
mencelat kembali dari tempatnya.
Dzzzng!
Wukh!
"Wuih!"
Andika cuma bisa ber'wuih' sambil menyingkirkan
posisi  berdirinya jauh-jauh di sisi kiri. Tiga jumpa-litan
lincah dibuatnya. Sialan juga pikirnya. Dia se-pertinya
hendak dijadikan sekadar bulan-bulanan empuk. Siapa
yang sudi diperlakukan begitu? Sekali lagi dan seterusnya,
maaf-maaf saja....
"Ayo sekarang serang aku lagi, biang ketorabe!"
rutuk Pendekar Slebor dalam hati. Dengan satu tangan,
diremasnya ujung kain pusaka bercorak catur. Jika nanti
makhluk jejadian itu menyerang kembali, Andika akan
menyongsongnya dengan sabetan bertenaga penuh! Untuk
itu Pendekar Slebor meningkatkan sepenuhnya
kewaspadaan. Selain itu, disiapkannya pula pengerahan
tenaga sakti warisan buyutnya Pendekar Lembah Kutukan 

hingga tingkat kesepuluh. Matanya mengawasi tajam-tajam
ke arah lawan, bersiap-siap kalau-kalau lawan berkelebat
kembali ke arah dirinya. Seluruh serat di tubuhnya mene-
gang. Terlebih tanganyang menggenggam ujung kain
pusaka
Di depan sana, si makhluk menyeramkan belum juga
memperlihatkan tanda-tanda hendak menerjang kembali.
Suara desis berdengungnya memang. Tapi tidak tubuhnya.
Binatang laknat dasar neraka itu seperti mematung.
"Monyet kau!" Pendekar Slebor memaki. Gusar sekali
dia. "Ayo serang aku lagi! Serang! Apa Bapak Moyangmu
cuma mengajarkan berdiri kaku seperti bangkai itu?!"
Sang makhluk jejadian tetap tak bergemik.
Pendekar Slebor makin sewot.
"Hei, kau tak merasa tersinggung setelah kusebut-
sebut Bapak Moyangmu? Apa kau memang tak punya
Bapak Moyang?"
Macan jejadian tetap diam.
Pendekar Slebor mulai kebingungan sendiri dengan
segala caci-makinya. Selama ini, justru 'ajian sakti' itu yang
diandalkan untuk mempermainkan ke-marahan lawan. Dia
mulai menggaruk-garuk kening sendiri.
"Apa caci-makiku ada yang keliru?" gumamnya
kebodoh-bodohan.
Sedang sibuknya Andika bersungut-sungut, tanpa
mempedulikan rasa pedih luka  di pangkal lengan,
terdengar suara seseorang berkata sarat dendam.
Terdengar terpendam dalam. Seolah datang dari tempat
tersembunyi. Sebaliknya amat jelas untuk telinga Pendekar
Slebor. Untuk beberapa saat dengung aneh dari binatang
jejadian bahkan ditenggelamkannya.
"Waktunya kau membayar hutang nyawa!"
Andika menaikkan sudut bibir. Menaikkan pula
sebelah alisnya. Kalau bisa, dia ingin juga menaikkan
sebelah bulu-bulu ketiaknya. Pendekar muda itu tak habis
pikir dengan semua kejadian ini. Macan jejadian, bayangan
seseorang yang serasa pernah dikenalnya, kini suara yang 

dia yakin berasal pula dari si binatang jejadian. Hutang
nyawa? Hutang nyawa siapa? Pikirnya mumet.
"Sebenarnya, siapa kau sesungguhnya?" Pendekar
Slebor memutuskan untuk mulai mengorek keterangan.
Kalau terus begitu, dia bisa benar-benar jadi orang tolol.
Suara terpendam tadi tak terdengar beberapa saat.
Lalu terdengar kembali.
"Aku? Kau bertanya siapa aku? Kau pikir siapa,
heh?"
Biang panu! Aku tadi bertanya. Kenapa dia malah
balik bertanya, kutuk Pendekar Slebor membatin.
"Aku tak tahu. Justru itu aku bertanya padamu?
Kenapa kau memusuhiku? Apa pernah ada sangkut antara
aku dan kau?" lanjut Andika.
"Kau jangan berpura-pura! Aku tak akan bisa
melupakan wajahmu. Aku tak mungkin melupakan wajah
pembunuh istriku!"
Andika meringis. Istrinya? Weleh, kapan aku pernah
membunuh istri orang? Jangankan membunuh, membawa
lari istri orang pun belum pernah. Maaf saja... kecuali
kepepet! Kicau hati si pemuda pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan, ngaco.
"Tunggu dulu. Kau tak bisa menuduh orang
sembarangan seperti itu...  Siapa pun kau, apa pun
kau,biang borok atau nenek moyang ketombe!"
Mendengar sangkalan Pendekar Slebor, hewan ganjil
di depan sana memperlihatkan perubahan wujud.
Perlahan-lahan bentuknya mengabur. Bersama tebaran
cahaya lamat berwima kemerahan, terbentuklah wujud
sosok manusia.
"Lho, rupanya si India sial itu...," gumam Pendekar
Slebor menyaksikan rupa yang telah sempurna di
depannya. Pantas dia merasa pernah mengenal bayangan
samar yang  disaksikan sebelumnya di antara kelebatan
bayangan hewan jejadian tadi. Ya, orang itu adalah Amitha.
Lelaki India yang diperbudak dendam. Dan merelakan
dirinya menjadi Sekutu Sang Durjana! 

Mungkinkah macan jejadian mengerikan itu adalah
Amitha? Jika macan  jejadian yang dihadapi benar-benar
Amitha, bisakah Pendekar Slebor membunuhnya?
Tentu akan ada bahaya teramat besar yang
mengancam Pendekar Slebor sekaligus dunia persilatan.
Bacalah ketegangan berikutnya, sekaligus  untuk
mengetahui siapa sesungguhnya sosok cahaya yang
datang ke gedung tua tempat pertemuan para datuk sesat.





Kelanjutan kisah ini adalah :
PERSERIKATAN SETAN

Tidak ada komentar: