Mengkonfirugasi teks

.....WELCOME.....

Mengkonfirugasi teks

SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA INI

PENDEKAR SLEBOR PIRAMIDA KEMATIAN


 



PIRAMIDA KEMATIAN
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Cici
Editor : Puji S.










Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode : 
Piramida Kematian 
128 hal. 

1

Langit merah saga. Matahari terjerembab lelah di ufuk
barat negeri Mesir. Pucuk Piramida Tonggak Osiris* seolah
menusuk tajam langit biru, dingin dan angkuh, di sisi hawa
panas yang beranjak naik dari hamparan pasir gurun. Di
dalam perut bangunan tua dari zaman sebelum masehi itu,
beberapa orang rimba persilatan manca negara telah
hadir. Di antara mereka, tak ada yang tahu apa yang bakal
menimpa.
Tonggak Osiris. Sebuah nama yang disematkan pada
piramida ini, sepertinya tak lebih dari satu isyarat yang
samar bahwa para tokoh persilatan ini siap memasuki
moncong Sang Osiris, Dewa Kematian!
Satu nyawa tokoh persilatan telah menjadi tumbal.
Hakim Tanpa Wajah. Tokoh kawakan yang malang
melintang sejak puluhan tahun silam, telah kehilangan
nyawa semudah seekor cacing tergilas panas mentari.
Tokoh sesat sakti yang dulu sering membuat jatuh
bangun dan banyak meminta nyawa para tokoh persilatan
itu saja mudah sekali dapat terbang ke neraka.  Lantas,
ancaman maut macam apa yang sebenarnya harus
dihadapi para undangan yang terdiri dari tokoh-tokoh silat
manca negara. Dan apa pula yang harus dihadapi pemuda
sakti tanah Jawa berjuluk Pendekar Slebor?
Setelah mata semua undangan menyaksikan ba-
gaimana mayat Hakim Tanpa Wajah diaduk-aduk dalam
gejolak pasir panas di lobang Ruang Para Dewa, Andika
menghela napas panjang (Untuk mengetahui lebih  jelas
tentang  kejadian tersebut, baca episode sebelumnya:
"Undangan Ratu Mesir).
"Aku tak tahu, kenapa mayat si tua itu harus muncul
di lobang yang tiba-tiba terbentuk dalam ruang ini. Hanya
aku yakin, semua ini tidak begitu saja terjadi...," desah
Andika.
"Bisa kau jelaskan maksud ucapanmu, Tuan
Pendekar?" cetus Hiroto, mengajukan pertanyaan. 

Sebenarnya, hatinya  pun memendam kecurigaan yang
sama.
Andika sejenak mengedarkan sepasang bola mata
bermuatan wibawa miliknya, pada setiap orang di sana.
Pada Nofret, matanya menatap lebih lama. Sepertinya,
anak muda itu hendak menekankan bahwa perkataan
selanjutnya ditujukan untuk gadis Mesir cantik jelita, anak
juru kunci makam kuno ini.
"Dari bentuknya,  aku tahu lorong ini sengaja dibuat
dan dirancang agar bisa berhubungan dengan gurun di luar
piramida. Itu artinya, ada seseorang atau sekelompok
orang yang telah membangunnya untuk tujuan-tujuan
tertentu...."
"Jangan berbicara sembarangan, Tuan!" potong Nofret
membuat kata-kata Pendekar Slebor terhenti.
Andika menoleh tenang, seperti sebelumnya. Kembali
matanya menatap wajah luar biasa anak Pendeta 'Ka' itu.
Tapi tak ada kilatan sinar menyudutkan.
"Kenapa kau harus marah? Aku sama sekali tidak
menuduhmu. Lagi pula, tidak sedap rasanya gadis secantik
Nona memasang wajah berang seperti itu...," tukas Andika,
mencoba menangkal kegusaran Nofret.
Mendengar ucapan urakan Andika, Chin Liong di
belakangnya hanya bisa tersenyum tipis kentara. Dia tahu,
penyakit mata keranjang sahabatnya sudah mulai kumat
lagi. Hanya saja, kasihan Putri Ying Lien. Wajah putri
junjungannya itu menjadi merah kusam.
"Aku tidak merasa dituduh. Aku hanya
memperingatkan, seharusnya berhati-hati berbicara. Apa
kau sadar ucapanmu barusan seolah-olah mencurigai Ratu
Kami telah merencanakan kejahatan untuk kalian
semua...," ujar Nofret berapi-api.
"Tampaknya begitu," timpal Andika. Seolah kejadian
yang menimpa Hakim Tanpa Wajah sama sekali tidak bisa
membuat nyali anak muda itu menciut.
Mata berbulu lentik Nofret mulai menampakkan serat
cahaya kegusaran kembali. 

"Nasibmu bisa seburuk orang tua itu, Tuan!" tandas
gadis itu seperti berbisik terseret.
Sama sekali Nofret tak bermaksud mengancam
Andika. Dan memang, pemuda itu tak pernah mengundang
kemuakan dalam dirinya. Sebaliknya, sejak Pendekar
Slebor berusaha menolong Hakim Tanpa Wajah yang
sesungguhnya adalah musuh besarnya, dasar hati Nofret
mulai ditumbuhi benih-benih rasa yang sulit diungkapkan.
Kalaupun kata-katanya berkesan mengancam, sebenarnya
hanya ingin mengingatkan.
Dalam keyakinan Nofret terpendam kepercayaan
bahwa para Raja Mesir akan menjadi Dewa setelah mati.
Dan sudah pasti, seorang Ratu akan menjelma  menjadi
seorang Dewi. Perkataan sembarangan yang ditujukan
pribadi Sang Ratu yang telah mati, bisa berarti kutukan
mengerikan!
"Mati urusan lain, Nona. Yang harus diperjelas,
apakah kami ke sini hanya untuk menjadi umpan rencana
keji seseorang, atau apa?" kilah Andika, masih juga santai.
Setenang tiupan semilir bayu.
"Maaf, Nona," sela Putri Ying Lien.
Mungkin cuma Chin Liong saja yang bisa mengendus
alasan gadis itu menyela perdebatan antara Nofret dan
Andika. Cemburu! Demikian seloroh Chin Liong dalam hati.
"Apakah tak sebaiknya pertengkaran tak berarti ini
dihentikan. Dan alangkah baiknya bila kita meneruskan
niat kita semula. Bukankah kita hendak mengambil
gulungan papirus*?" lanjut Putri Ying Lien.
Gadis itu mengingatkan mereka semua pada
gulungan papirus yang menurut Nofret berisi pesan dari
ratunya. Dan pesan itu akan memperjelas, apa tujuan
mereka diundang masuk ke bangunan kuno nan megah,
sekaligus memendam sehimpun teka-teki ini.
Karena pendapat Putri Ying Lien ada benarnya, Andika
pun mengalihkan perhatian ke arah dinding ruang tempat
gulungan papirus tua yang menyembul dari mulut lukisan
Dewa Anubis, Dewa Penjaga Kematian. Sebelumnya. niat 

Andika urung karena terciptanya lobang pasir panas besar
tempat bangkai Hakim Tanpa Wajah muncul.
"Biar aku."  sergah Nofret melihat pemuda berlagak
sengak itu mulai mendekati gulungan papirus.
"Nona," panggil Andika. "Bukankah tadi sudah
kuminta agar aku saja yang menjemput gulungan papirus
itu?"
"Aku tak suka kalau Ratuku dicurigai," ujar Nof¬ret.
"Akan kubuktikan kalau pesan dalam papirus ypng
ditinggalkan Ratu tak akan mengancam nyawa siapa pun!"
Sepertinya gadis itu menjadi amat tersinggung dengan
setiap kecurigaan beberapa tamunya. Namun baru dua
langkah kaki Nofret bertindak, Pendekar Slebor sudah
mencekal tangan halusnya.
"Kau jangan berjudi dengan dirimu sendiri, Nona!"
kata Andika setengah menghardik.
Gadis itu tak berkata apa-apa. Hanya ditatapnya
tajam-tajam tangan kokoh Andika yang mencekal
pergelangannya. Di matanya, tangan pemuda itu me-
lukiskan kegagahan orangnya. Nofret jadi sempat merutuki
diri sendiri, karena masih sempat-sempatnya
membayangkan hal itu.
Namun begitu, Nofret menyadari kalau semua itu
karena jarang bergaul dengan pria. Selaku anak seorang
Pendeta 'Ka' yang terhormat, dia berusaha sebisa mungkin
untuk menjaga kehormatan keluarga. Sayangnya, justru hal
itu membuatnya kehilangan banyak kesempatan untuk
mengenal pemuda atau mengenal makna cinta.
Jika hari ini ada seorang pemuda yang untuk pertama
kali dalam hidup menyentuh pergelangan tangannya,
sudah barang tentu ada desir halus yang merambat di
segenap aliran darah gadis itu. Desir yang sulit dipahami.
Tapi, Nofret tetap bisa merasakan kehangatannya.
Karena itu pula wajah jelita gadis pemandu itu
menampakkan semu merah. Rasa hangat itu rupanya
menjalari pula wajah menawannya.
"Maaf, Nona," ucap Andika bergegas, kemudian 

melepaskan cekalannya. "Bukan maksudku untuk berbuat
lancang pada Nona."
Nofret tak sempat menanggapi ucapan maaf pemuda
di dekatnya. Gadis ini terialu sibuk menyembunyikan
wajahnya yang mematang dari sergapan mata Andika dan
para undangan lain.
"Tolonglah, Nona. Beri aku kesempatan untuk
mewakilimu mengambil gulungan papirus itu," lanjut
Pendekar Slebor dengan nada melandai, membujuk.
"Benar, Nona," timpal Hiroto. "Asal Nona tahu, seorang
pendekar seperti Tuan Andika sangat menghormati wanita.
Kalaupun dia bersikeras untuk mengambilkan papirus itu,
aku yakin semata-mata karena dorongan jiwa ksatrianya.
Bukan atas dasar kecurigaan pada niat ratu Nona
mengundang kami."
Pujian  Hiroto pasti membuat lobang hidung pemuda
urakan kepala batu itu menjadi kembang-kempis. Dijamin!
"Bukan begitu..., Tuan Andika?" cetus Hiroto agak
mendadak.
Bibir tipis Andika bergerak kian kemari. Apa yang mau
diucapkan, dia sendiri bingung. Pujian Hiroto tadi
membuatnya mati kutu!
"Yaaahhh, barangkali begitu," jawab Andika se-
kenanya disertai sebaris cengiran serba salah.
Di bibir Nofret, saat itu terbetik senyum amat samar
melihat tingkah Pendekar Slebor. Begitu cepatkah pesona
pemuda urakan ini mengusik sanubarinya?
"Baiklah...," putus Nofret singkat.
Untuk kedua kalinya, gadis jelita itu mengurungkan
niat untuk mengambil gulungan papirus di dinding. Dia pun
kembali ke tempat berdiri semula.
"Apa lagi yang kau tunggu, Pendekar Mata
Keranjang?" bisik Chin Liong di telinga Andika. Dia melihat
mata anak muda urakan itu masih saja menegaskan bibir
ranum Nofret.
"Jangan pura-pura. Kau sendiri sebenarnya
menginginkan dia juga, kan?" balas Andika dengan berbisik 

pula, sambil mengedikkan alisnya.
Wajah Chin Liong bersungut.
Andika acuh saja. Kakinya lantas melangkah
mendekati dinding berlukiskan Dewa Anubis. Sebelum
tangannya menjemput sembulan gulungan papirus,
kepalanya menoleh pada orang di sekitarnya. Dengan raut
wajah sungguh-sungguh, tampak sekali Pendekar  Slebor
hendak memperingatkan mereka semua agar bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Kembali wajahnya dipalingkan pada gulungan papirus. Usai
mengatur napas beberapa tarikan, tangan kanannya pun
terjulur.
Saat ini semua saraf pada  setiap orang mengejang
tegang.
Sret!
Tanpa kesulitan sama sekali, Andika meloloskan
gulungan papirus tua tadi. Ya! Tanpa kesulitan sedikit pun!
Bahkan ketika benda itu sudah tergenggam ketat di
telapak tangannya pun, tak ada bahaya mengancam
seperti dugaannya.
Mendapati kenyataan ini, Nofret merasa lega. Kalau
saja dia sejenis wanita berperangai buruk, tentu.bibirnya
sudah menyunggingkan seringai kemenangan.
Agak risih, Pendekar Slebor menoleh pada Nofret.
"Rasanya, aku sudah salah duga," ucap Andika seperti
hendak menghaturkan permintaan maaf secara tak
langsung. Lalu disodorkannya gulungan papirus pada
Nofret.
Belum lagi benda itu berpindah tangan, wanita hitam
manis dari Sepasang Manyar yang berada di sudut paling
belakang, menerobos ke depan. Yang dituju, Andika dan
Nofret.
"Awas!" teriak wanita ini melengking.
Berbarengan dengan itu, dari lobang pada mulut
lukisan Dewa Anubis tempat gulungan papirus berasal,
menyembur uap berwarna kehijauan yang demikian cepat
menyergap ke tempat Pendekar Slebor dan Nofret. 

Seandainya Sepasang Manyar wanita tadi tak segera
menyergap, sudah bisa dibayangkan apa yang bakal
menimpa.
Sepasang Manyar wanita berusia sekitar empat
puluhan. Biar begitu, penampilannya masih tetap menarik
perhatian kaum lelaki. Kerutan kecil di sebagian kening
dan sisi hidungnya, justru membuatnya terlihat manis.
Kulitnya yang gelap tak membuatnya kehilangan pesona.
Apalagi dengan rambutnya yang panjang lurus terjulur,
diimbangi sepasang bola mata bulat nan jeli.
Sebagai seorang pawang binatang berbisa, Sepasang
Manyar wanita memiliki penciuman yang terlatih untuk
membaui jenis tertentu. Sementara yang lain tak
menyadari kehadiran ancaman maut karena tak
mendengar suara mencurigakan, penciuman wanita itu
justru menangkap bau sejenis racun ular paling ganas. Dan
begitu tahu dari mana sumber bau tersebut, tindakan
cepat pun langsung diambilnya.
"Cepat ambil jarak!" seru Sepasang Manyar wanita
kembali, begitu Pendekar Slebor yang membopong Nofret
berhasil menyentak tubuhnya untuk bangkit.
Mereka semua mengambil jarak. Termasuk, Sepasang
Manyar wanita.
"Sungguh perangkap keji sekaligus licik," maki
Sepasang Manyar wanita . "Setelah kalian merasa aman,
barulah bisa itu tersembur keluar tanpa bunyi. Apakah itu
bukan perangkap licik?"
Kata-kata Sepasang Manyar wanita terdengar
meledak-ledak tak terkendali. Kelihatannya dia sewot.
Matanya kemudian mendelik Andika yang masih mengatur
napas.
"Tunggu apa lagi?!" bentak wanita itu.
"Tunggu apa?" tauya Andika, yang dipelototi dengan
wajah heran.
Mata wanita hitam manis yang terkenal bermulut
ccrewet itu bertambah membesar.
"Kau baru saja kuselamatkan, bukan? Mestinya sejak 

tadi menghaturkan terima kasih padaku!" sembur
Sepasang Manyar wanita dengan kata-kata melengkingnya.
"Ya ya ya. Terima kasih!" ucap Andika sekenanya.
Sepasang Manyar wanita tersenyum lebar-lebar. Dia
merasa tersanjung setinggi langit, mendapat penghargaan
dari seorang pemuda setampan Pendekar Slebor.
Di sudut lain ruangan ini, suami Sepasang Manyar
wanita mengawasi tingkah genit istrinya. Dia terlihat masih
lugu. Sepertinya pula, berada di bawah pengaruh istrinya.
Itu terlihat jelas dari tatapan matanya yang menyerah
pasrah jika harus bertumbukan dengan mata si istri.
Tubuhnya kecil, tak seimbang bila dibanding istrinya yang
tinggi semampai serta berpinggul padat. Rambutnya kriting
kusam. Wajahnya pun tak bisa dibilang tampan. Wajahnya
terlihat kebodoh-bodohan seperti wajah seorang pemabuk,
meski tak bisa pula dibilang buruk. Entah, apa yang
menarik dalam dirinya sehingga wanita itu sudi diperistri.
Lelaki bertampang mengenaskan itu merasa sikap
istrinya tadi sebagai ancaman yang bisa merusak
hubungan lahir-batin suami istri. Maka dengan sok wibawa,
lelaki bertubuh kecil dan berwajah Senin-Kamis itu
mendekati istrinya.
"Kau baik-baik saja, Sayang?" tegur lelaki itu sepenuh
hati, dengan suara mendayu.
"Baik! Sekarang diam kau, Tai Kucing!" maki Manyar
Wanita, menggebuk jantung sang suami sampai hendak
putus!
Yah..., memang nasibnya beristrikan perempuan
bertabiat nenek sihir!

***

Andaikata tahu hendak ke mana garis hidup
menjejak, maka tak akan pernah ada orang yang
membiarkan diri masuk ke dalam nasib buruk. Garis hidup
memang selalu sulit diterka. Jika hari ini nasib
membentangkan kebaikan, siapa tahu besok akan digelar 

keburukan?
Begitu pula yang terjadi pada para undangan. Tak
satu pun di antara mereka sebelumnya menduga akan
menghadapi ancaman maut, ketika tiba di perut piramida.
Dan cepat atau lambat, akhirnya mereka bisa
menemukan kesimpulan sendiri. Dengan kematian
mengenaskan Hakim Tanpa Wajah, ditambah jebakan licik
semburan bisa ular, kecurigaan mereka kian beralasan.
Pendekar Slebor yang memiliki ketajaman pikir dan
kepekaan menangkap ketidakberesan, makin yakin bahwa
perjalanan di dalam piramida akan semakin mengundang
bahaya maut. Selangkah demi selangkah.
Untuk mundur, mereka sudah telanjur. Pantang bagi
tokoh jajaran teratas persilatan dari beberapa belahan
dunia untuk beringsut mundur layaknya pecundang.
"Aku tidak ingin kau tersinggung lagi jika kuungkapkan
lagi kecurigaanku, Nona," tutur Pendekar Slebor, setelah
suasana bisa tenang kembali. "Lebih baik kau
membacakan naskah papirus itu bagi kami sekarang."
Sebenarnya Nofret sendiri tak bisa mengerti.
Mungkinkah memang Ratunya yang telah merencanakan
jebakan demi jebakan kejam yang telah  disaksikan
sendiri? Padahal dengan keras dia hendak membela
kehormatan junjungannya.
"Ayo, tunggu apa lagi Nona," desak Andika, tanpa
tekanan.
Meski dengan perasaan tersudut, Nofret akhirnya
mau juga membaca gulungan papirus di tangannya.
"Jika masa menggulung diri lalu menua, tiba saatnya
aku yang abadi di alam para Dewa untuk menggelar
upacara hari kematianku. Ya! Kalian semua adalah para
undangan istimewa yang akan menghadiri upacara hari
kematianku. Tepatnya, hari ini
Sebagai tanda penghargaanku atas kesudian kalian
semua datang memenuhi undanganku, seusai "upacara
besar" nanti, kalian akan kusuguhkan sesuatu yang
istimewa. 

Sekarang, nikmati saja seluruh isi istana terakhirku
ini..."
Sang Ratu Agung
Nofret mengakhiri pembacaan naskah papirus. Ruang
kembali dikekang sepi. Benak semua yang ha-dir
diberondong pertanyaan demi pertanyaan, tentang makna
isi gulungan papirus.

*** 

2

Pesan Sang Ratu sudah dibacakan Nofret. Namun,
para undangan tetap tak bisa tepat menentukan, apa
tujuan mereka diundang ke dalam Piramida Tonggak Osiris.
Menurut gulungan papirus, mereka diundang untuk
menghadiri upacara kematian Sang Ratu. Upacara macam
apa pula yang menunggu?
"Jadi apa lagi yang harus kita perbuat sekarang,
Nona?" cetus Kenjiro, lelaki Jepang bertubuh tambun. Dia
tak sabar menunggu Nofret bicara lebih lanjut.
"Sesuai pesan dari mendiang ayahku, setelah
mengetahui isi pesan Sang Ratu, kalian akan kuantar
menuju ruang para undangan...," tutur Nofret.
"Lalu, kapan upacara yang dimaksud dalam papirus
tadi?" timpal Sepasang Manyar.
"Tengah malam nanti. Untuk itu, kalian harus
menunggu dulu di ruang para undangan, sampai waktu
upacara tiba. Setelah kalian tiba di sana, maka tugasku
pun selesai...."
"Hei! Apa maksudmu?!" sentak Kenjiro. "Kalau  kau
pergi, berarti kami akan terjebak di dalam sini! Sementara
hanya kau yang tahu seluk beluk tempat itu. Bagaimana
kalau terjadi hal-hal mengerikan lagi? Apa kau memang
sengaja ingin mengumpankan kami pada kekejian
ratumu?"
Wajah Kenjiro yang merah kian matang. Kalau saja
sepupunya yang berwibawa, Hiroto tak mencegah, tentu
mulutnya akan terus menyemburkan bentakan-bentakan
keras tak sopan pada Nofret.
"Hati-hati bicara, Tuan!" balas Nofret setengah
menghardik.
Wajah gadis itu ikut memerah. Pada saat seperti itu,
Pendekar Sleborlah  yang paling suka menikmati
perubahan wajah gadis Mesir ini. Di matanya, Nofret makin
terlihat mempesona dengan semu merah wajahnya, serta
menggemaskan dengan beliakan mata indahnya. 

"Aku tahu, Nona ini hanya menjalankan tugasnya, Kenjiro.
Aku yakin itu,"  tukas Hiroto, berusaha menyurutkan
kegusaran saudara sepupunya yang memang sulit
mengendalikan perasaan. 
"Bukan begitu, Nona?"
"Ya, benar! Aku pun berpendapat begitu. Tak baik kita
menyalahkan Nona ini."  Yang menyahuti justru Andika.
Raut wajahnya dibuat sewibawa mungkin. Mau apa lagi dia,
kalau bukan hendak menarik perhatian si dara Mesir yang
membuatnya terpana pada pandangan pertama!
Ketengikan Andika terbaca mata tajam Chin Liong.
Sebagai lelaki yang sama-sama memiliki gejolak darah
muda, tentu saja siasat gombal sahabatnya cepat bisa
dibacanya.
Dengan agak dongkol bercampur geli di hati. Chin
Liong menyikut Andika sampai meringis-ringis. Tampang
wibawa pada wajahnya pun jadi mental entah ke mana.
Sekarang dia malah terlihat seperti orang yang telat masuk
jamban!
"Sekarang, ayolah kita segera ke ruang yang Nona
maksud tadi. Aku sepenuhnya percaya," ujar Andika lagi
buru-buru, takut ringisannya sempat tertangkap mata
Nofret.
"Sebelum kuantar ke sana, sebaiknya kalian
mencamkan kata-kataku. Jangan sekali lagi mengatakan
hal yang tak pantas pada Sang Ratu.... Bukankah sudah
kukatakan sebelumnya, bahwa perkataan senonoh kalian
akan membuat Ratu menjadi murka. Akibatnya, adalah
seperti yang menimpa orang tua itu," papar Nofret agak
panjang.
Mata setiap undangan kembali tertuju bersama-sama
pada mayat Hakim Tanpa Wajah dalam lubang berpasir di
tengah ruangan.
"Hey! Apa iya Ratu yang sudah modar ratusan tahun
lalu, bisa bertindak pada kita yang hidup?" bisik Andika
pelan sekali, berseloroh pada Chin Liong.
Chin Liong mendelik. "Kenapa mulutmu tak bisa diam 

saja! Kau mau bernasib seperti tua keparat itu?!" bisik
pemuda Cina ini membalas.
"Aku hanya ingin tahu. Kalau benar begitu, ingin
rasanya aku berkencan dengan Sang Ratu. Pasti dia jauh
lebih cantik daripada Nofret. He  he  he," seloroh Andika,
sambil mengerlingkan mata.
Chin Liong menggeleng-gelengkan kepala.
Selagi dua pemuda'gagah lain bangsa itu kasak-kusuk
tak kentara....
"Kita kehilangan dua orang undangan!" seru gadis itu,
mengejutkan Chin Liong dan Andika. Sepasang mata bulat
berbulu lentiknya mencari-cari ke segenap ruangan.
Mau tak mau yang lain pun mengikuti. Mereka semua
mencoba memastikan, siapa di antara para undangan yang
tidak ada lagi di tempatnya.
"Dua Biksu Dari Tibet...," desis Andika, menyimpulkan.
Ya! Dua biksu aneh itu sudah tak ada lagi di tempatnya!
Mereka hilang seperti ditelan bumi tanpa jejak sedikit pun!
"Ada di antara kalian yang melihat mereka pergi?"
tukas Pendekar Slebor mencoba mengendalikan keadaan.
Sebagian menggeleng. Si Kepala Kacang yang
berperangai amat dingin hanya diam menantang pan-
dangan Pendekar Slebor. Bagi Andika, itu sudah cukup
sebagai isyarat kalau lelaki itu pun tak tahu menahu tetang
kepergian Dua Biksu Dari Tibet.
Tubuh si Kepala Kacang paling tinggi di antara yang
lain. Kulitnya pucat, berambut lurus dan kaku sepanjang
bahu. Dengan pakaian yang terlalu sesak berbentuk
balutan kain perca berwarna kelabu. tubuhnya jadi tampak
makin jangkung. Ciri-ciri yang paling mudah dikenali dari
dirinya adalah, bentuk wajahnya tak  sesuai tubuhnya.
Kepalanya terlalu kecil bertengger di lehernya.
"Jadi mereka menghilang," desis Kenjiro. membuat
suasana kian mencekam.
"Bagus!" bentak Andika. Kekesalannya mendadak
terlompat, disusul caci maki khasnya. "Kecoa jelek, kutu
buduk, biang koreng! Apa yang sesungguhnya terjadi!?" 

Dua Biksu Dari Tibet adalah para pertapa yang
mengasingkan diri dari keduniawian. Itu terlihat jelas dari
penampilan mereka. Dengan kepala gundul  bertanda
bulatan-bulatan kecil, serta pakaian layaknya para biksu.
Namun ada yang tidak pantas pada diri mereka
selaku biksu. Mereka selalu membawa tasbih terbuat dari
tempurung tengkorak manusia yang telah dikecilkan
dengan ramuan khusus! Selain itu, sinar mata mereka pun
tampak membersitkan kekejian tak terbatas. Semacam
kekejian yang dibungkus kulit bagus....
Mereka jelas dua biksu murtad yang lari dari ajaran
luhur. Mereka lebih suka menyatukan diri dengan
kedurjanaan. Kalaupun mereka masih berpe-nampilan
sebagai biksu, itu sekadar kedok semata.
Kini pertanyaan muncul, ke manakah mereka?
Di ruang lain pada sayap utara Piramida Tonggak
Osiris, tampak dua lelaki biksu itu. Ketika tadi para
undangan lain sedang sibuk berdebat, salah seorang biksu
ini menyandarkan tubuh pada satu belahan batu dinding.
Seketika batu dinding itu  melesak masuk. Lalu tanpa
disadarinya, sebuah mulut lorong  menganga perlahan.
Halus tanpa suara.
Pada saat itu, hanya ada telinga seseorang yang
masih sanggup menangkapnya. Orang itu, Putri Ying  Lien.
Indera pendengarannya yang amat terlatih dan sudah
menjadi mata kedua baginya, membuat Putri Ying Lien
begitu peka untuk menangkap suara yang paling halus
sekalipun. Sayang, karena perhatiannya demikian terpusat
pada perdebatan yang terjadi, dia jadi tidak begitu
memperhatikan.
Sebenarnya, Dua Biksu Dari Tibet  pun tak tahu
sesuatu yang terjadi, karena ketidaksengajaan salah
seorang dari mereka. Sampai salah seorang melihat lubang
menganga dan timbul keingin  tahuannya. Lalu dengan
diam-diam, dia pun mengajak rekannya untuk memasuki
lorong itu tanpa memberitahukan terlebih dahulu pada
yang lain. 

"Kenapa kita tak memberitahu yang lain?" tanya biksu
berhidung pesek, ketika keduanya sudah di tengah lorong
setinggi kurang dari satu tombak.
"Kau jangan bodoh! Apa kau tak tahu, bahwa piramida
adalah kuburan para pembesar Mesir. Menurut
kepercayaan mereka, seorang yang mati akan menjalani
hidup di alam lain. Itu sebabnya, mereka menyertakan
harta yang mati ke dalam piramida...," papar biksu
bertengkuk tebal, seperti tengkuk sapi benggala.
Biksu berhidung pesek menyeringai. Dengan cepat
maksud rekannya bisa tertangkap. "Harta...," desis biksu
berhidung pesek dengan kilatan mata rakus.
"Dan bisa jadi lorong rahasia ini adalah jalan menuju
ruang penyimpanan harta ratu itu. Ha-ha-ha!" kata biksu
bertengkuk tebal tergelak. Lalu  secepatnya wajah
bengisnya berubah sangar kembali.
Setelah berjalan terbungkuk-bungkuk  selama lebih
dari sepeminum teh  mengikuti lorong berliku-liku tak
menentu, mereka akhirnya tiba di  ujung lorong. Sebuah
dinding tebal buntu menghadang mereka.
"Sial!" maki biksu berhidung pesek. "Sungsang sumbel
kita menyusuri lorong keparat menyusahkan diri, tak
tahunya hanya menemukan jalan buntu!" makinya berat
menyentak-nyentak.
Biksu Punuk Tebal tak cepat-cepat menanggapi
gerutuan rekannya. Matanya jelalatan cepat, menca-ri-cari
sesuatu.
"Kau sepertiriya tak kesal?" tanya biksu berhidung
pesek, mengungkapkan keheranannya.
"Tutup saja bacotmu. Bantu aku menemukan
sesuatu...."
"Sesuatu apa?"
"Apa pun yang tampaknya mencurigakan," jawab
Biksu Punuk Tebal, sementara matanya terus mencari ke
segenap dinding.
"Aku tak melihat ada sesuatu yang mencurigakan
pada dinding tua berlumut tebal ini...." 

"Jangan banyak mulut! Cari saja!"
Dengan menggerutu tak kentara, biksu berhidung
pesek menuruti perintah rekannya.
Lama mereka mencari sampai bokong keduanya
terasa panas dan linu, karena sudah demikian lama
merunduk seperti kakek-kakek uzur.
"Tunggu-tunggu!" sergah Biksu Punuk Tebal ti-ba-tiba.
"Kau menemukan sesuatu?"
Biksu Punuk Tebal menggeleng.
"Kalau tidak menemukan apa-apa, kenapa mesti
berhonti!" sentak biksu berhidung pesek dongkol.
"Tolol! Tentu saja kita tak akan menemukan apa-apa!"
balas Biksu Punuk Tebal sengit.
"Kalau begitu, buat apa pula meminta aku mencari-
cari sesuatu mencurigakan segala macam! Sial!" dengus
biksu berhidung pesek tak kalah sengit.
"Maksudku, kau lihat dinding ini," ujar Biksu Punuk
Tebal seraya menyentuhkan tangannya pada dinding di
hadapan mereka.
"Kau pikir, dari tadi itu aku melototi apa? Pantatmu?"
"Lihatlah lumut tebal ini!" penggal Biksu Punuk Tebal.
Tak dipedulikannya kata-kata kasar rekannya barusan.
"Pikir! Pakai otakmu dengan benar! Lumut ini tak akan
tumbuh di tempat kering. Apalagi pira¬mida ini berada di
tengah gurun!"
"Jadi maksudmu apa?!"
Biksu Punuk Tebal mendengus.
"Itu artinya, dinding ini berhubungan dengan tempat
lembab...," jelas Biksu Punuk Tebal agak bertekanan. Kesal
dia menghadapi kemandekan otak rekannya.
"Tapi itu sama sekali tak berhubungan dengan jalan
yang hendak kita temukan!" sergah biksu berhidung pesek,
makin keras berbicara. Bibirnya sampai menjadi begitu
mancung. Semburan ludahnya pun setia menyertainya.
"Jangan membentak-bentak begitu rupa! Aku muak
melihat bentuk bibirmu yang jelek itu!" sembur Biksu
Punuk Tebal. "Sekarang kau diam! Jangan banyak bacot 

lagi kalau tak ingin kita baku hantam di tempat sempit ini!"
Biksu Punuk Tebal mulai meneliti kembali dinding
buntu di depannya. Dengan menyadari adanya lumut di
dinding, hatinya semakin yakin ada ruang lain yang
berhawa lembab di balik dinding itu. Karenanya pula, dia
terus mencari-cari. Sampai akhirnya lelaki berwajah bengis
itu membuat kesimpulan jitu yang bisa membawa mereka
menembus lorong buntu tersebut.
"Dapat!" seru Biksu Punuk Tebal tertahan.

*** 

3

"Jangan! Kuminta kau jangan pergi mencari Dua Biksu
Dari Tibet sendiri!" cegah Pendekar Slebor pada Nofret,
setibanya mereka semua di ruang para undangan yang
telah disiapkan ratusan tahun lalu, ke-tika Sang Ratu
masih hidup.
Cegahan ini dilontarkan karena menurut penilaian
Pendekar Slebor, dua biksu itu memendam kejahatan di
balik topeng sucinya. Seringkali pemuda berotak jernih itu
bisa menilai tabiat bejat seseorang hanya dari sinar
matanya. Andika memang selalu berpegang teguh pada
pendapat, bahwa mata adalah jendela jiwa. Dari sinar mata
kedua lelaki Tibet itu pula, dia menangkap secara samar-
samar keangkaramurkaan.
"Aku harus mencarinya!" tandas Nofret dengan tegas.
Bukan apa-apa, selama semua undangan belum tiba
di ruang para undangan, dara menawan itu merasa masih
digelayuti tanggung jawab penuh terhadap keselamatan
mereka.
Langkah tergesa Nofret segera dihadang tubuh
Pendekar Slebor. Pemuda tampan itu terang-terangan
menutup jalan bagi gadis ini dengan dada bidangnya.
"Tidak kataku!" tegas Andika seraya menggeleng.
Nofret menghujamkan tatapannya pada mata elang
Andika. Seakan, mata yang telah banyak menggetarkan
sanubari para wanita itu tak membuatnya goyah.
"Kau tak tahu apa-apa tentang piramida ini. Seperti
juga kedua lelaki Tibet itu," kata Nofret dengan segenap
tekanan. "Mereka bisa berbuat yang tidak diperkenankan
Sang Ratu. Kalau itu terjadi, akan parah akibatnya."
Sekali lagi Pendekar Slebor menggelengkan kepala.
Kalau sebelumnya menggeleng karena sikap tidak setuju
niat Nofret mencari Dua Biksu Dari Tibet, maka kali ini
karena mulai bosan mendengar perkataan Nofret tentang
segala macam tetek bengek  yang berkaitan dengan
ratunya. 

"Sejak kami tiba, selalu saja itu yang kau ucapkan:
Tentang ratumu yang akan murka jika kami bertindak
gegabah. Apa kau menganggap kami ini hanya sejenis
kambing congek yang diatur seenaknya. Aku tahu, kami
tamu di sini. Tapi, tidak dengan cara yang  kelewatan
seperti ini!" kata Andika, meletup-letup. Nadanya pun mulai
meninggi.
Dan baru saja kata-kata Pendekar Slebor berakhir,
mendadak, ruangan bagai digebah oleh satu kekuatan
raksasa dari dasar bumi. Dinding berguncang, lantai
bergetar. Serpihan-serpihan pasir berjatuhan, menghujani
semua orang di ruangan ini.
Sebentar kemudian, ruangan kembali tenang. Hanya
sisa debu yang melayang lamban, menuju lantai.
Sementara mata tajam Andika  tak bergerak
menghujam langit-langit dinding. Dia khawatir getaran
berikutnya lebih menggila lagi. Kalau itu terjadi, semua
harus bersiap-siap menghindari reruntuhan ruangan. Tapi
itu tak terjadi. Getaran benar-benar telah enyah.
Nofret menatap Andika lekat-lekat. Setelah itu,
ditatapnya undangan lain satu persatu.
"Kalian lihat sendiri bukan? Tuan muda ini telah
lancang mengatakan hal yang tak semestinya pada diri
Sang Ratu. Itu sebabnya, bangunan ini menjadi tergetar.
Sang Ratu gusar. Untung saja dia hanya memberi
peringatan...," papar Nofret padat keyakinan.
"Kau hendak mengatakan kalau getaran itu karena
aku telah menyinggung ratumu?" tanya Andika dengan
wajah masih saja melempar kesan ketidakpercayaan.
"Kau masih tetap tak percaya rupanya...," kata Nofret
lagi. "Itu terserahmu, Tuan Muda. Sekarang, kuminta
dengan hormat agar kau tidak menghalangi jalanku. Aku
hendak mencari Dua Biksu Dari Tibet."
Lagi-lagi Pendekar Slebor menggeleng. Menghadapi
anak muda sekeras kepala dia, jangan harap mau
mengalah!
Nofret menjadi agak gusar. Cuping hidungnya yang 

bangir agak terungkit. Sepasang kelopak matanya pun
membesar. Padahal, itu justru amat disukai Andika.
Bagaimana tidak? Dua bola mata indah itu seperti
lengkung sepasang purnama yang berkabut, manakala
memperlihatkan kemarahan....
Melihat wajah Nofret yang memerah, pendekar
urakan itu malah tersenyum-senyum menjengkelkan. Siapa
yang tak akan bertambah kesal?
"A..., a. Sebaiknya kemarahanmu disimpan, Nona. Itu
hanya akan membuat tenaga sia-sia...," cegah Andika
melihat gelagat kemarahan Nofret akan me-ningkat.
"Kalau begitu, kenapa kau tak cepat memberiku
jalan?"
Gadis Mesir itu sepertinya masih berusaha bersikap
sepantas mungkin, selaku tuan rumah yang dipercaya
ratunya.
"Baik. Aku setuju kau mencari dua lelaki  Tibet itu.
Asal, bersedia kukawal. Ini sekadar untuk menjaga
keselamatanmu, Nona," usul Andika.
Entah, apa maunya pemuda ini. Bisa jadi dia memang
bersungguh-sungguh untuk menjaga keselamatan Nofret.
Tapi bukan mustahil pula, cuma akal-akalannya untuk bisa
lebih dekat dengan Nofret! Dasar bulus!
Nofret mengangguk tanpa perlu menunggu lebih
lama. Baginya, lebih cepat menemukan dua lelaki yang
dianggap hilang itu adalah lebih baik.
Keduanya pun melangkah meninggalkan ruangan.
Menjelang pintu keluar yang terhubung dengan lorong
piramida, Chin Liong memperlihatkan senyum salut pada
Pendekar Slebor. Ketampanan pemuda Cina ini dengan
Andika mungkin setara. Tapi kalau soal kelihaian
menundukkan wanita, Chin Liong mungkin cuma dianggap
kentut oleh pendekar slompret itu.
Lain Chin Liong, lain pula si tua bangka Pendekar
Dungu. Si keropos satu itu malah lantas berseru
seenaknya.
"Cihuiii! Begitu baru namanya pemuda kutu kupret!" 

Ruang rahasia penyimpanan harta. Di situlah Dua
Biksu Dari Tibet tiba, setelah berhasil menemukan satu
jalan rahasia lain. Dugaan Biksu Punuk Tebal nyatanya
bukan sekadar isapan jempol. Sejauh ini dia benar.
Tentang jalan rahasia yang berhubungan dengan ruang
rahasia penyimpanan harta. Juga, pintu rahasia yang
berada di dinding buntu.
Kini, mereka berada di sebuah ruang besar. Pada
pusat ruangan, terbentang kolam lebar. Piramida satu ini
tampaknya dirancang sedemikian rupa, sehingga memiliki
ruang-ruang istimewa yang berbeda dengan piramida lain.
Pemandangan yang paling memikat terletak pada
sekeliling kolam. Di sana, terdapat peti-peti perhiasan
emas permata!
"Kau lihat itu...," tunjuk Biksu Hidung Pesek takjub.
Seperti pula rekannya, mata biksu itu pun seperti tak
ingin berkedip menyaksikan tutup-tutup peti menganga
karena isinya terlalu sesak.  Ukuran peti pun tidak main-
main. Orang saja bisa tertelan di dalamnya. Pada penutup
peti, beberapa rantai emas menjulur keluar. Ada pula
kalung bertahtakan jamrud, permata, dan berlian!
Semuanya berkilat-kilat menggoda mata Dua Biksu Dari
Tibet!
"Aku kaya!" teriak Biksu Punuk Tebal meledak-ledak,
tak bisa lagi membendung desakan kegembiraannya.
"Apa maksudmu?" sergah Biksu Hidung Pesek demi
mendengar seruan rekannya. "Kau bilang 'aku'? Jadi, kau
anggap cuma kau saja yang bisa memiliki semua harta
itu?"
Tanpa melirik sedikit pun pada rekannya, Biksu Punuk
Tebal menyeringai dalam satu kelebatan raut wajah yang
keji.
"Ya! Aku rasa semua harta harus dipastikan menjadi
milikku...," tandas Biksu punuk Tebal.
"Kau...," ucap Biksu Hidung Pesek ragu.
"Ya! Aku tak ingin membaginya denganmu. Karena itu,
aku harus menyingkirkanmu! Bersiaplah...." 

Bukan main berangnya Biksu Hidung Pesek
mendengar niat busuk temannya. Meskipun hatinya
sebusuk rekannya itu, namun di benaknya sama sekali tak
terbetik untuk menyerakahi harta yang ditemukan. Selama
ini, dia bisa mempercayai rekannya. Dan kalau kini
kenyataan memaparkan hal yang lain, tentu saja hatinya
menjadi amat murka.
"Keparat sial! Biar mampuslah kau!" maki Biksu
Hidung Pesek seraya mengayunkan tasbih besar yang
terbuat dari tengkorak manusia yang dikecilkan.
"Huiaaa!"
Wuk!
Saat itu juga pertarungan pun meledak. Kelihatannya
akan berlangsung seru, karena mereka sama-sama tokoh
jajaran atas dunia persilatan di Tibet. Diundangnya mereka
ke Piramida Tonggak Osiris, sudah bisa  dijadikan bukti
kalau mereka masuk hitungan. Karena semua undangan
adalah tokoh papan atas.
Sabetan pertama tasbih menyeramkan Biksu Hidung
Pesek hanya memakan angin, karena rekan yang kini
berbalik arah menjadi musuhnya, dapat berkelit tangkas ke
samping  tanpa kesulitan. Sehingga kepala gundulnya
selamat dari kehancuran.
Sementara ayunan bertenaga kelewat kuat tasbih
Biksu Punuk Tebal telanjur meluruk tajam ke bawah. Dan
lantai di dekatnya pun terhajar.
Brak!
Seolah baru saja ditimpa godam  raksasa seberat
ribuan kati, lantai itu menjadi hancur berkeping.
Pecahannya berhamburan deras ke segenap penjuru,
laksana pecahan benda langit yang memasuki selubung
udara bumi. Sebagian pecahan merangsak peti-peti harta
di seputar kolam. Peti-peti itu tak bedanya daun kering
tertembus bara api! Bahkan pecahannya sanggup melesak
ke dalam, dan langsung tembus keluar peti. Padahal, di
dalamnya terdapat banyak batu dan logam mulia yang
kekerasannya tidak diragukan. 

Sebagian pecahan lain mencoba menembus tubuh
Biksu Punuk Tebal dan Biksu Hidung Pesek. Ada lebih dari
lima keping pecahan mengancam beberapa bagian tubuh
mereka. Namun semua itu dapat dipatahkan keduanya
dengan cara memukau.
Biksu Punuk Tebal menyambut setiap pecahan
dengan jentikan-jentikan jari. Tampak ringan tindakannya.
Seakan, seekor lebah pun tak akan mati bila terkena.
Namun hasilnya sendiri ternyata amat jauh dari itu. Setiap
keping pecahan langsung menjadi butiran debu halus!
Selain itu, gerakannya pun hanya dalam satu kelebatan
cepat. Pada saat itu, sepasang tangannya seperti berubah
menjadi beberapa pasang. Jika saat itu ada seorang tokoh
jajaran atas menyaksikan gebrakannya, pasti akan
berdecak kagum. Bagaimana tidak? Bagi Biksu Punuk
Tebal, kedudukannya saat itu sudah bisa dibilang mati
langkah setelah berkelit menghindari sabetan tasbih
lawannya.
Sementara Biksu Hidung Pesek mementahkan
pecahan lantai akibat ulahnya dengan caranya sendiri.
Sama menakjubkan dan tak kalah hebat. Setiap pecahan
disambut dengan mulut. Satu demi satu dengan gerak
demikian cepat, sehingga setiap pecahan langsung
tersusun di mulutnya.
Begitu seluruh ancaman pecahan lantai dituntaskan,
Biksu Hidung Pesek menghadiahkan benda-benda di
mulutnya kepada Biksu Punuk Tebal.
"Phuaaah!"
Suara semburan terdengar. Sekian kejap dalam
selang yang teramat tipis, pecahan dari mulut Biksu Hidung
Pesek berkelebat menusuk udara kembali. Lebih hebat
serta mengancam dari sebelumnya. Hanya kali ini, Biksu
Punuk Tebal yang siap dijadikan sasaran empuk.
Kali ini, Biksu Punuk Tebal tidak ingin main-main lagi.
Dia tahu tingkat kesaktian rekannya. Selama di Tibet,
banyak sudah kejahatan yang mereka lakukan. Karena itu,
dia amat tahu apa yang dilakukan Biksu Hidung Pesek. 

Kesimpulan cepat didapat, rekannya yang menjadi lawan
hendak mengadu tenaga dengan perantara pecahan lantai!
Segera saja Biksu Punuk Tebal meloloskan tasbihnya
yang serupa dengan milik Biksu Hidung Pesek dari
lehernya. Dan....
Slash! Prak!
Sekali kebut, seluruh kepingan kembali lebur menjadi
butiran debu tanpa daya.
Biksu Hidung Pesek semakin berang. Dilancarkannya
satu serangan susulan, dengan kekuatan berlipat ganda.
Dan tentu saja, lebih mengancam.
Tidak ada satu kembangan jurus yang diperlihat-kan.
Seperti dugaan Biksu Punuk Tebal, dia memang hendak
menjajal kekuatan dengan mengadu tenaga  dalam.
Tampaknya lelaki botak berhidung jelek itu tak ingin
tanggung-tanggung. Jika gagal dalam gempuran pertama,
akan dibuatnya gempuran kedua.
"Rrrhhh...!"
Dari mulut Biksu Hidung Pesek, melompat erangan
sumbang menyakitkan telinga. Seiring dengan itu,  kedua
tangannya, mengepak-ngepak, seperti gerakan sayap
burung rajawali raksasa.
"Kaaarrrkkk!"
Berikutnya, mulut Biksu Hidung Pesek kembali
melempar suara asing yang berbeda daripada sebelumnya.
Yang terakhir, amat mirip makhluk angkasa. Begitu keras
suaranya, bahkan sempat membuat dinding ruang bawah
tanah besar itu menjadi bergetar. Sebagian susunan batu
menjadi bersembulan tak teratur, seakan baru saja
dihantam seribu godam.
Sepertinya, tak ada gendang telinga yang bisa
raenahan getaran suara buruk itu.  Kecuali, orang-orang
yang telah berhasil menempatkan diri dalam jajaran teras
percaturan dunia persilatan.
Namun, Biksu Punuk Tebal adalah salah satunya.
Lelaki itu tak tampak terpengaruh oleh suara yang
melantakkan itu. Baginya, itu bukanlah serangan yang 

sesungguhnya.
Biksu Punuk Tebal amat tahu, siapa Biksu Hidung
Pesek. Seorang datuk yang disejajarkan dengan dirinya,
dalam rimba keras persilatan Tibet. Setelah sekian lama
memporak-porandakan dunia persilatan Tibet dalam
mencari pengakuan tertinggi dalam dunia sesat, sekali ini
tampaknya mereka harus mengakhiri semuanya.
"Kepak Rajawali Merah...," teriak Biksu Punuk Tebal
nyaris mendesis.
Di rimba persilatan Tibet, kesaktian milik Biksu Hidung
Pesek sudah demikian menggetarkan hati. Dalam banyak
kesempatan, sudah banyak tokoh jajaran atas yang
kehilangan nyawa dalam menghadapi kesaktiannya.
Dengan mata kepala sendiri, Biksu Punuk Tebal kerap
menyaksikannya ketika mereka masih sama-sama malang
melintang dalam dunia persilatan.
Kehebatan kesaktian Biksu Hidung Pesek, memang
tidak tampak nyata dari gerakannya. Semua gerakannya
tampak sederhana saja. Namun jangan terkecoh! Di balik
sepele itu, tangan-tangan maut siap menjemput! Begitu
kepakan tangannya terpenggal, dan begitu teriakan
rajawalinya diperdengarkan, maka....
Wuwuwukkk!
Sebentuk tenaga dalam sepanas semburan naga
membersit dari sepanjang lengan Biksu Hidung Pesek.
Panas yang terkandung membuat udara di sekitarnya
terbakar. Maka, terwujudlah garis-garis cahaya merah yang
bersusun-susun di udara, membentuk kepakan sayap
rajawali merah!
Garis-garis tenaga berwarna merah itu melesat deras
menuju tubuh Biksu Punuk Tebal. Bahkan langsung
mengepung dari arah depan, seperti tak me-nyisakan
ruang sedikit pun untuk menghindar.
Sekian kejap dari terlepasnya tenaga 'Kepakan
Rajawali Merah', Biksu Punuk Tebal membangun benteng
pertahanan. Tasbih di tangannya dilemparkan ke atas. Tiga
tombak ketika tasbih terlempar, kepalanya mendongak 

mengikuti arah benda itu. Berikutnya, sebelah tangannya
sudah membentang lurus searah tasbihnya.
"Hoooiiihhh!"
Diawali seruan, dari telapak tangan Biksu Punuk Tebal
yang terangkat tinggi menyembur liar segenap tenaga sakti
berbentuk kabut berwarna jingga. Kabut itu langsung
menyergap tasbihnya hingga terkurung oleh warna jingga
yang terus mengembang. Maka tampaklah tasbih itu kini
berubah menjadi bola-bola lampu mengapung yang berpijar
jingga, amat menikam mata.
Empat depa dari tempat berdiri Biksu Punuk Tebal,
kekuatan 'Kepakan Rajawali Merah' pun bertemu semburat
jingga menyilaukan dari tasbih Biksu Punuk Tebal di udara.
Srat! Srat! Srat!
Benturan dua kekuatan sakti terjadi menciptakan
tekanan raksasa ke satu bagian ruangan. Di bagian tempat
dua cahaya itu bertumbukan, dinding dan lantai menjadi
retak dalam sekejap. Lalu, runtuh pula dalam sekejap!
Hingga terbentuklah sebentang parit yang melingkari
ruangan, dari lantai, dinding susunan batu, hingga langit-
langitnya!
Sementara tubuh kedua orang yang berseteru
terpental deras. Luncuran tubuh mereka baru berhenti
ketika dinding yang sulit  diduga ketebalannya
menghambat.
Sama-sama terseok, keduanya cepat bangkit. Dinding
ruangan memang tergali, membentuk parit sedalam lengan
akibat bentrokan tenaga sakti tadi. Memang, benturan
kesaktian itu sanggup melebur seratus prajurit kekar
sekaligus. Lalu bagaimana kedua lelaki bengis itu? Mereka
hanya terbatuk-batuk dengan darah kental kehitaman pada
mulut dan hidung!
"Debu..., kau akan menjadi debu Pesek. Jangan
menyangka telah bisa mengukur kemampuanku. Se-lama
ini kau tak pernah tahu, aku memiliki kehebatan simpanan
lain yang akan kugunakan untuk mengirimmu ke neraka!"
geram Biksu Punuk Tebal. 

Agar lawannya lebih terhina, sengaja tangan Biksu
Punuk Tebal menunjuk ke arah debu bekas kepingan lantai
yang kini berserakan. Pada saat itulah, matanya tertumbuk
pada parit korban bentrokan tenaga sakti mereka, di
dinding sebelah barat. Maka seketika wajah lelaki
bertampang bengis itu berubah seketika.
Semula, Biksu Hidung Pesek menyangka lawannya
hendak mengecohnya dengan raut wajah itu. Kalau arah
pandangan  lawan diikutinya, mungkin Biksu Punuk Tebal
akan menyerang.
"Kau tak bisa meliciki aku, Punuk Tebal! Kelicikanmu
selama ini hanya jadi barang basi bagiku!" leceh Biksu
Hidung Pesek dengan bibir menyeringai.
Tapi setelah itu, Biksu Hidung Pesek dipaksa  juga
untuk menoleh, manakala dari parit sekitar setengah
langkah di belakangnya terasa satu gerakan yang ganjil!
Dan betapa terperanjatnya dia....
Dengan mata yang berkelopak sempit, Biksu Hidung
Pesek menyaksikan ribuan ekor ular dalam beragam
ukuran dan warna. Binatang-binatang melata itu mendesis-
desis dalam sebuah lubang yang berukuran tiga kali
tombak. Semuanya menggeliat menjijikkan, sekaligus
menggidikkan saling tumpang-tindih dan saling libat,
mengelilingi sebuah peti amat tua yang berpenutup tidak
lazim. Penutupnya adalah, seekor ular raksasa yang
melingkar di atas peti besar itu. Panjangnya ular bersisik
keperakan itu mungkin sekitar sepuluh tombak. Sedang
lebar tubuhnya sebesar lebar lingkaran kepala manusia!
Berbeda dengan tumpukan ular-ular di sekeliling peti,
ular raksasa itu tampak beku dalam kesangarannya.
Kepalanya tergolek diam di lingkaran tubuhnya. Biar
begitu, bola matanya yang berpijar merah tetap terbuka,
memaparkan keganasan terpendam.

*** 

4

Pendekar Slebor dan Nofret kembali ke Ruang Para
Dewa. Menurut pertimbangan mereka, ruang itu adalah
jalan terbaik untuk mencari tahu, ke mana Dua Biksu Dari
Tibet menghilang. Dari situ, mungkin bisa dilacak.
Memasuki Ruang Para Dewa, Andika dan Nofret
sudah tidak menyaksikan lagi lubang besar berpasir di
pusat ruangan yang sudah menghilang di balik lantai.
Sekarang ruang itu tampak terang, sejinak seekor singa
kekenyangan.
"Apa usulmu untuk memulai pencarian mereka?"
tanya Pendekar Slebor pada Nofret.
"Aku masih belum tahu," jawab gadis Mesir ini.
"Bagaimana denganmu?"
Sejenak Pendekar Slebor berpikir.
"Ada baiknya, kita meneliti tempat mereka berdiri
waktu itu," usul Andika. Kecemerlangan pikirannya tak
membutuhkan waktu lama, untuk membuat keputusan
tepat.
Nofret tersenyum lepas, dan terlihat oleh Andika. Lega
rasa hati Pendekar Slebor diberi senyum seperti itu untuk
pertama kalinya. Benar-benar untuk pertama kali,
semenjak Nofret muncul. Selama ini gadis berparas bak
bidadari Mesir itu hanya memajang wajah sungguh-
sungguh. Kalaupun pernah tersenyum pada Andika, itu pun
senyum yang terlalu samar.
Andika membalas senyum Nofret barusan.
"Kenapa kau tersenyum?" tanya Pendekar Slebor ingin
tahu.
"Tidak apa-apa," elak Nofret.
Sebenarnya gadis Mesir ini sendiri kurang tahu alasan
apa yang membuatnya tersenyum. Barangkali saat berdua
seperti itu, Nofret merasa bisa sedikit lebih akrab dengan
seorang pemuda yang untuk pertama kalinya menawarkan
suatu desir halus ke relung hatinya.
"Apa usulku tadi menggelikan?" susul Andika, masih 

juga penasaran.
Nofret menggeleng. Untuk menghindari desakan
pandangan pemuda itu, sengaja matanya melirik ke
segenap ruangan seperti sedang meneliti.
"Yah, sudahlah. Kenapa aku jadi ngawur.... Bukankah
tujuan kita ke sini hendak melacak hilangnya Dua Biksu
Dari Tibet!" tukas Andika kemudian.
"Hm.... Aku yakin, dua lelaki itu tadi berdiri di sana!"
Tangan Pendekar Slebor menunjuk ke satu sudut
ruangan, tempat Dua Biksu Dari Tibet berdiri ketika para
undangan hendak mendengar dibacakannya gulungan
papirus oleh Nofret.
Keduanya segera menggiring langkah ke sana.
Dengan teliti sekali, mereka mulai memperhatikan jengkal
demi jengkal tempat tersebut. Ya lantainya, ya dindingnya.
Seujung kuku pun tak ada yang luput dari perhatian
mereka.
"Aku tak melihat apa-apa," ujar Nofret, setelah sekian
lama diusik kejenuhan.
"Tak melihat apa-apa, bukan berarti tak ada apa-apa,"
kata Pendekar Slebor penuh keyakinan.
Sekilas Nofret melirik pemuda di sebelahnya. Setelah
sekian jauh, gadis ini mulai bisa membaca pribadi pemuda
itu. Di samping memiliki ketampanan, kemantapan, dan
kekerasan tekad, Nofret juga sudah tahu kalau Pendekar
Slebor memiliki kecemerlangan pikiran. Kalau tiba-tiba
Andika berkata seperti itu, tentu punya alasan kuat.
"Kau sepertinya lebih tahu dariku," usik Nofret.
Di telinga Andika, kalimat itu seperti gurauan.
"Hey? Kau sudah berani bergurau pula!" seru
Pendekar Slebor dalam hati. Dia girang bukan main.
Disadari, gadis yang membuat dadanya berdebur-
debur keras itu mulai merasa dekat dengannya. Andika
menoleh.
"Aku hanya menduga, Nona.... Ah! Apa aku tak bisa
memanggil namamu?" kata Pendekar Slebor. Nofret
menggeleng. 

Andika mengira, gelengan itu sebagai penolakan.
Padahal, Nofret menggeleng hanya karena tak sadar
menanggapi sikap acuh Andika, sisi lain yang telah pula
ditangkapnya.
"Nofret...," sebut Nofret, datar.
"Apa?"
"Nofret. Itu namaku," ulang Nofret dibumbui
penegasannya.
"Ooo," bibir Andika membulat. "Kalau begitu, panggil
aku Andika. Rasanya, hidupku suka kembang-kempis, tak
teratur kalau terlalu sering dipanggil 'tuan'."
Nofret  tersenyum lepas lagi. Sedang, hati Pendekar
Slebor berbunga-bunga lagi. Rupanya, Nofret tak
sesombong dugaan Andika sebelumnya.
"Jadi kau tadi hendak berkata apa padaku..., Andika?"
tanya Nofret memulai kembali.
"Kita tadi hanya memperhatikan tempat ini saja,
bukan? Kau mestinya tahu kalau tempat ini dibangun
dengan sekian banyak pintu, jalan, dan tempat rahasia."
"Jadi maksudmu?"
Andika tak menjawab. Hanya tangannya menjulur ke
arah dinding. Sebagian demi sebagian, dinding di
depannya mulai diraba, ditekan-tekan, dan terkadang
diketuk-ketuk.
"Hey? Kau jangan berdiam diri begitu! Kau seperti
menyaksikan orang buta yang hendak mencari pintu keluar
saja!" gurau Andika, melihat Nofret hanya memperhatikan.
Nofret tersipu. Dia pun mulai melakukan hal yang
sama seperti Andika.
Sampai akhirnya....
"He-he-he. Kubilang juga apa," tukas Andika, setengah
menggumam.
"Kau menemukan sesuatu?"
Perhatian Nofret beralih. Cepat wajahnya dipalingkan
ke arah Andika sungguh-sungguh.
Namun Andika malah cengengesan.
"Kau lihat saja ini," ujar pemuda itu lagi. 

Tangan Pendekar Slebor lalu membuat tekanan pada
satu belahan batu besar penyusun dinding. Sebentar
kemudian, terbuka sebuah lubang tak begitu besar berupa
pintu rahasia.
"Bagaimana menurutmu?" tanya pemuda urakan itu.
Alisnya terungkit pada Nofret.
"Sungguh! Aku sendiri pun tak pernah menyangka,"
tegas Nofret. Secara tak langsung, sebenarnya dia hendak
memuji kejelian Pendekar Slebor. "Rupanya Ratu Yang
Mulia membangun piramida ini demikian istimewa...."
"Kita masuk? Mungkin Dua Biksu Dari Tibet itu
menghilang dari tempat ini...?" tanya Andika.
Nofret menyetujui. Dan keduanya pun memasuki
lorong.
Di tempat lain, tepatnya di Ruang Para Undangan,
beberapa orang lain menanti tanpa sepatah kata pun.
Wajah mereka rata-rata tetap mencerminkan ketenangan.
Tapi, tidak hati mereka. Hampir semuanya gelisah,
meskipun tak tahu kenapa harus gelisah.
Di satu sudut, hanya si bangkotan Pendekar Du-ngu
yang tampaknya begitu menikmati suasana. Sementara
yang lain berdiri atau berjalan hilir-mudik, lelaki tua berotak
bebal ini duduk bersandar pada kursi besar dari logam
bersepuh emas, serta bertahtakan batuan mulia. Pada
sandaran kursi terdapat lukisan yang menggambarkan
kehidupan pembesar Mesir. Dengan penuh lagak, kakinya
diangkat berun-cang-ucang. Matanya jelalatan ke sana
kemari. Se-sekali terlantun senandungnya yang terdengar
se¬perti gerutuan lapar.
Tepat pada jajaran kursi yang salah satunya diduduki
Pendekar Dungu, membentang meja besar dari pualam
halus. Seperangkat piring jamuan ada di atasnya. Kosong,
tanpa makanan.
Pendekar Dungu membayangkan pada perlengkapan
makan itu tergolek sekian jenis makanan. Termasuk,
kambing guling besar yang masih mengepulkan asap. Nah!
Lihatlah air liurnya mulai merembes lancar membasahi 

dagu kendornya.
"Sudah  demikian lama Andika dan gadis itu pergi.
Sampai saat ini, mereka belum juga kembali. Apa tidak
mungkin telah terjadi apa-apa pada mereka?" bisik Chin
Liong pada Putri Ying Lien.
Sementara Putri Ying Lien hanya memperdengarkan
tarikan napas halus.
"Bagaimana kalau kita menyusul mereka?" usul Chin
Liong.
"Aku pun berpikir begitu," sela si Gila Petualang,
mendukung usul Chin Liong barusan.
"Ahhh! Aku sih enakkan di sini saja!" serobot Pendekar
Dungu." Di sini sudah nyaman, kok. Cuma sayang, tidak
ada makanan  sedikit pun. Wuh! Pelit juga tuan rumah,
ya...."
"Kalau kita mencari Andika dan gadis itu, bagaimana
dengan undangan yang lain?" tanya Putri Ying Lien
kemudian.
"Mereka punya keputusan sendiri, bukan?" kata Chin
Liong. "Kita tanyakan saja mereka, apa mau ikut atau tetap
tinggal di ruangan ini...."
Putri Ying Lien mengangguk. Lebih baik memang
begitu. Demikian pikirnya.
Chin Liong pun menanyakan mereka. Sebagian besar
dari mereka ternyata hendak turut. Hanya dua orang yang
sepertinya enggan. Suami Manyar Wanita dan Pendekar
Dungu.
"Kau jangan bertingkah macam-macam, Suami-ku!"
hardik Manyar Wanita ketus. "Kalau aku keluar, kau harus
turut keluar!"
Suara wanita cerewet itu melengking menyesaki
ruangan. Jadi, bukan cuma suaminya yang merasa pekak.
"Aku...," kata lelaki kecil itu, takut-takut. "Aku apa?!"
potong Manyar Wanita. "Aku..., capek sekali, Yang." "Capek!
Capek! Tai kucinglah kau! Dasar lelaki  tidak punya
kemauan!"
Sang suami mengecap-ngecap mulut antara ngeri dan 

tidak peduli. Sebenarnya, bukan alasan tadi yang
membuatnya enggan untuk ikut serta bersama yang lain.
Dia hanya cemburu pada Andika. Pikirnya, kalau sekarang
istrinya sudi turut serta mencari sepasang anak muda itu,
tentu hanya karena dorongan kegenitannya pada Pendekar
Slebor.
"Ya sudah, kalau  tak mau ikut. Biar mati saja kau di
ruangan ini di makan ulat!" serapah Manyar Wanita pedas-
pedas.
Sementara suami Manyar Wanita menggerutu tak
kentara.
Kini perdebatan kecil membuat pusing itu se-lesai.
Maka rombongan yang hendak mencari Pendekar Slebor
segera keluar ruangan.
"Tunggu! Aku ikut!" teriak Pendekar Dungu.
Lelaki uzur berotak kerbau itu berubah pikiran. Sambil
meringis-ringis ngeri, kepalanya menoleh pa¬da suami si
Manyar Wanita.
"Aku tak mau kualat pada istrimu! Kalau aku tak turut,
jangan-jangan aku dimakan ulat sepertimu juga. Hiiiyyy...."
Lalu Pendekar Dungu pontang-panting menyusul
rombongan.
Baru saja rombongan itu melangkah menyusuri lorong
sekitar lima puluh langkah.... "Aaa...!"
Niat mereka kontan terjegal ketika dari ruang yang
baru saja ditinggalkan melompat lengkingan menusukyang
menerobos sepanjang lorong. Semuanya agak tercekat.
Apa yang terjadi?
Setelah terdiam sesaat, Manyar Wanita menyadarkan
mereka semua dengan jeritan kaleng rombengnya.
"Wuaaa! Suamikuuuh! Ada apa dengan suamiku di
ruangan ituuuh?!"
Lalu Manyar Wanita berlari memburu liar menuju
Ruang Para Undangan. Sementara yang lain menyusul di
belakangnya.
Apa yang mereka saksikan di Ruang Para Undangan
benar-benar memaksa untuk bergidik, memaksa untuk 

menghentikan kedipan  mata, dan memaksa bulu-bulu
halus di tengkuk meremang hebat....
Suami Manyar Wanita ditemukan telah menjadi
mayat, terbujur lunglai di atas meja besar di antara
perlengkapan makan dari perak. Seluruh tubuhnya
digerayangi ulat-ulat kecil, merayap dan menggerogoti
dagingnya sedikit demi sedikit!
Kontan saja Manyar Wanita terduduk sambil meraung-
raung di tempat. Kakinya menjejak-jejak ke lantai, dan
tangannya mengaduk-aduk rambut panjangnya sendiri.
Cara menangisnya ternyata lebih tengik daripada seorang
bocah  kampung. Padahal, belum lama dia yang justru
menyumpahi suaminya pedas-pedas.
Wanita hitam manis bertubuh molek itu bangkit, dan
langsung menghambur ke dekat meja. Dengan
berangasan, dikebutnya habis setiap ulat-ulat yang
menggerogoti tubuh suaminya dengan ujung lengan baju.
Setiap ulat yang terkena kebutannya, langsung mencelat
ke dinding, lalu hancur memercikkan lendir menjijikkan
berwarna hijau kemerahan.
"Sudah kubilang tadi! Kau mestinya ikut kami! Coba
kalau ikut, kau tentu tak akan mengalami nasib sejelek ini.
Dasar lelaki tak punya kemauan! Tai kucinglah kau! Hik-hik-
hik...," sembur Manyar Wanita di antara isaknya.
Di lain sisi, Hiroto dan Chin Liong segera menyelidiki
keadaan ruangan. Tanpa sebab, sesuatu tak akan mungkin
terjadi. Demikian pikir keduanya. Mereka memastikan
dalam ruangan itu ada sesuatu bahaya tersembunyi yang
telah meminta tumbal nyawa suami si Manyar wanita.
Sekian lama keduanya mencari, Chin Liong
menemukan sesuatu.
“Hiroto” Panggil Chin Liong, tanpa menoleh. Wajahnya
tegang tertuju pada satu arah.
Hiroto mendekat. Dengan serta merta, pandangannya
pun mengikuti arah tatapan Chin Liong Selanjutnya, dia
ikut tertegun.
*** 

5

"Apa pertarungan ini perlu dilanjutkan? Atau, kita
bekerja sama kembali untuk mencari tahu apa isi peti yang
dijaga ular-ular itu?" tanya Biksu Hidung Pesek mengajukan
penawaran pada Biksu Punuk Tebal.
Keduanya memang masih di ruang penyimpanan
harta, dan telah menghentikan pertarungan.
Biksu Punuk Tebal memainkan bibir. Sejenak dia
berpikir.
"Untuk bisa mengambil  peti yang dijaga binatang-
binatang keparat ini, rasanya dibutuhkan dua orang...,"
putus Biksu Punuk Tebal kemudian, menanggapi
pertanyaan Biksu Hidung Pesek.
"Jadi?" tanya Biksu Hidung Pesek, ingin ketegasan.
"Jadi..., kita berteman lagi! Ha-ha-ha!" 
"Ya,  usulbagus! Ha-ha-ha!" Dasar keduanya berhati
culas, licik, dan serakah! Puas tertawa, mereka mulai
memikirkan cara mendapatkan peti yang dimaksud. Cukup
lama mereka hilir-mudik dalam ruang yang porak-poranda
itu. Setiap langkah selalu saja dibayang-bayangi suara
desis ular-ular dari lubang di dasar lantai. "Hah...!"
Akhirnya, Biksu Punuk Tebal yang memiliki otak lebih
encer dibanding lelaki Tibet yang lain berseru tertahan.
Wajahnya berbinar, ketika ingat sesuatu.
"Bagaimana?" tanya Biksu Hidung Pesek ingin tahu.
Biksu Punuk Tebal mendekat, lalu mulai mema-
parkan rencananya.
"Kau masih ingat, kalau di antara kita ada sepasang
suami istri pawang binatang berbisa?"
Biksu Hidung Pesek mengangguk. Rasanya, maksud
rekannya yang belum lama menjadi lawan itu mulai  bisa
diduga.
"Otakmu memang sial, Punuk Tebal! Ha-ha-ha!" puji
Biksu Hidung Pesek.
"Ha-ha-ha! Itulah aku!" sambut Biksu Punuk Tebal tak
kalah meledak, dengan mulut terbuka lebar. 

Saat itulah dengan kecepatan tak terhingga, Biksu
Punuk Tebal menyemburkan ludahnya yang diser-tai
tenaga dalam tinggi, tepat ke kerongkongan Biksu Hidung
Pesek. Dan....
Bres! 
Sekelebat bunyi halus menghentikan semuanya
ketika ludah itu menghantam kerongkongannya. Mata
Biksu Hidung Pesek kontan mendelik. Sepanjang
hidungnya. baru  kali itu matanya yang berkelopak sempit
terbuka demikian lebar. Biji matanya saat itu juga
memerah seiring wajahnya yang mematang.
Napas lelaki itu terseret-seret dalam tarikan-tarikan
tak terkendali. Mulutnya memperdengarkan suara-suara
yang tak jelas. Lalu tubuhnya terhuyung, ambruk dan...,
mati!
Tinggal Biksu Punuk Tebal menertawai kebodohan
lelaki sesat naas itu. Tawanya terulur lagi menyesaki
ruangan, meramaikan desisan ular-ular dari dasar lubang.
"Itulah kehebatan simpanan yang kumaksud, Tolol!"
maki Biksu Punuk Tebal seiring kilatan mata liciknya.
"Kelicikanku.... Hanya kelicikanku yang tak pernah kau
sadari selalu kumiliki dan menjadi salah satu andalanku!
Kau pikir, aku akan sudi meminta bantuan pada suami istri
pawang binatang itu? Itu sama artinya bersedia membagi
temuan  kita pada mereka! Jangan lagi mereka. Dengan
kau pun, aku tak sudi!"
Sambil terus menyumpah-nyumpah, Biksu Punuk
Tebal menyeret bangkai bekas rekannya ke dekat lubang
ular. Dilepasnya tubuh Biksu Punuk Tebal, lalu dicabiknya
memanjang. Setiap cabikan lalu disimpul menjadi satu,
hingga terbentuklah tali cu-kup panjang. Kemudian, kasar
sekali, bangkai Biksu Hidung Pesek diikatkan pada satu
ujungnya.
Usai melakukan itu, Biksu Punuk Tebal melakukan
salah satu tindakan terkeji yang pernah dilakukan tokoh
persilatan.... Bangkai bekas kawannya dicabik-cabik
dengan cakarnya, hingga kulitnya tersayat-sayat dan 

dagingnya tercacah-cacah.
"Sekarang kau akan menjadi umpan ular-ular lapar
itu, Lelaki Tolol!" desis Biksu Punuk Tebal.
Bersama sebentang seringai, bangkai Biksu Hidung
Pesek ditendang ke dalam lubang. Sementara tangan
Biksu Punuk Tebal memegangi satu ujung tali dari jubah
tadi.
Disambut desisan ramai ratusan ekor ular ber-bisa,
bangkai Biksu Hidung Pesek merambat turun. Sedangkan
dari  atas, Biksu Punuk Tebal mengulur tali sedikit demi
sedikit.
Kelihatannya, Biksu Punuk Tebal akan memancing
makhluk-makhluk melata itu untuk berkumpul di satu
tempat. Semuanya berjalan sesuai rencana, ketika bangkai
Biksu Hidung Pesek sudah menyentuh satu sudut lubang.
Maka seketika ratusan ekor ular berbisa di dalamnya
langsung memburu. Ganas,liar, dan bernafsu. Sampai tak
ada lagi yang tersisa di dekat peti, kecuali ular paling besar
yang menutupi mulut peti dengan tubuhnya.
"Bagus..., bagus! Santaplah sampai kenyang daging
manusia tolol itu!" desis Biksu Punuk Tebal samar di antara
desisan ular.
Tampak bangkai bekas Biksu Hidung Pesek kini tak
lagi kelihatan bentuknya. Yang tampak hanya gelinjang
ular-ular bersisik menjijikkan, yang tertimbun menjadi satu
mengerubungi bangkai Biksu Hidung Pesek.
Binatang-binatang lapar itu terlalu asyik menikmati
serpihan daging bangkai. Sementara di atas sana, Biksu
Punuk Tebal sudah bersiap mengirim satu pukulan
berhawa panas dari kedua telapak tangannya. Dan ketika
kedua telapak tangannya dihentak-kan....
Wussshhh!
Sekejap mata saja, serangkum angin panas, me-
nyapu gerombolan binatang melata itu. Bahkan membuat
mereka jadi daging panggang yang memanjang dan
menghitam. Sebagian masih bisa bergelinjangan. Bukan
lagi karena  dorongan nafsu menelan cacahan daging 

bangkai, tapi karena meregang maut bersama kepulan
asap tebal berwarna gelap.
Pada saat bersamaan, hewan besar di atas peti
menjadi terjaga dari kenyenyakannya. Kepalanya perlahan
bergerak, karena terusik asap tebal dan hawa panas
pukulan Biksu Punuk Tebal. Saat itu juga desisannya yang
keras dan berat menyusul terdengar.
Biksu Punuk Tebal menjadi tegang. Terlebih, ketika
kepala ular itu menegak ke arahnya dengan juluran lidah
mengancam.
"Zzz...!"
"Ayo, binatang keparat! Kejar aku keluar lubang!"
tantang Biksu Punuk Tebal. Tangannya terayun-ayun di
udara, menggoda si ular besar.
Sedikit pun tak ada tanggapan dari si ular. Binatang
itu tetap diam dengan sehimpun ancaman di balik kilatan
matanya.
Hal ini membuat Biksu Punuk Tebal menjadi gusar
bukan main. Padahal, dia sudah begitu ingin mengetahui
isi peti yang dikawal si ular besar.
"Ayo, tunggu apa lagi?! Keluar kau dari lubangmu! Ular
keparat!" hardik laki-laki itu bernafsu.
Si ular hanya menggerakkan kepala ke belakang
seperti gerakan siaga. Setelah itu, tubuhnya mematung
kembali.
"Ooo, kau ingin agar aku yang turun ke lubangmu?
Heh? Jangan harap aku setolol itu! Kau akan kupanggang
seperti kawanmu yang lain! Nih, makan!"
Sekali lagi Biksu Punuk Tebal melepas pukulan
berhawa panas ke dasar lubang. Wussshhh!
Kalau ular-ular yang lain dengan mudah menjadi
sasaran pukulan, ular besar satu ini tidak. Pada dasarnya
dia justru dalam keadaan siaga penuh, manakala
mengetahui ada manusia berdiri di atas lubang. Berbeda
sekali dengan ular-ular yang kini hanya menjadi tumpukan
daging panggang.
Seketika si ular besar dengan tangkas 

menggelengkan kepala ke sisi. Maka pukulan berhawa
panas Biksu Punuk Tebal pun luput.
"Keparat! Pintar juga kau, ya! Nih terima kembali!"
Untuk kiriman selanjutnya, Biksu Punuk Tebal
melepas tiga pukulan berhawa panas sekaligus dari
sepasang telapak tangannya.
Segemulai penari, menyusul lolosnya serangan Biksu
Punuk Tebal, ular besar itu mengulur tubuh. Dengan serta
merta, kepalanya menjulur tangkas. Siap mematuk dada
Biksu Punuk Tebal.
Kalau tak ingin mati di tempat, Biksu Punuk Tebal
harus segera menghindar. Saat itu juga dia bersalto ke
belakang lebih cepat dari patukan ular. Padahal, patukan
hewan itu hampir sulit diikuti mata.
Kala itulah, Biksu Punuk Tebal melihat kesempatan
emas terbentang di depan mata. Langsung disambarnya
kepala hewan besar itu di udara dengan tasbihnya yang
menyeramkan.
Whuk!
Prak!
Tepat di ubun-ubun batok kepala binatang besar itu,
satu biji tasbih ganjil Biksu Punuk Tebal mendarat mantap.
Langsung meremukkan kepala ular itu dalam sekejap.
"Hua-ha-ha.... Kau sama bodohnya dengan si Pesek!
Memang itu yang kumau, hewan tolol. Begitu kau
terpancing keluar, aku pun akan menyambutmu dengan
kematian...," celoteh Biksu Punuk Tebal, pu-as.
Sekarang mata lelaki licik ini beralih kembali ke dasar
lubang. Tepatnya, pada peti yang tergolek di sana. Peti itu
tak lagi tertutup. Isinya bisa terlihat jelas oleh mata bengis
lelaki Tibet itu. Menyaksikan isi peti, bibirnya langsung
tersungging. Dia menemukan sesuatu yang amat berharga,
yakni sebuah papirus tua yang berisi peta piramida.
Di salah satu bagian lukisan peta, ada yang mengusik
keingintahuan lelaki licik ini. Bagian piramida dalam peta
itu ditandai lukisan tongkat kebesaran Raja Mesir dari tinta
emas. Sementara, ruang penyimpanan harta justru tidak 

mendapatkan tanda khusus apa pun.
Hal ini benar-benar mengundang keingintahuan Biksu
Punuk Tebal.
"Lukisan tongkat kebesaran bermakna kekuasaan,"
gumam Biksu Punuk Tebal. "Kalau begitu, tentu ruangan
itu adalah tempat yang berhubungan dengan kekuasaan.
"Dan apa pun benda itu, yang jelas pasti lebih berharga
dari pada seluruh harta di ruangan ini!"
Dengan kesimpulan itu, kelicikan Biksu Punuk Tebal
pun berlanjut. Saat itu timbul rencana untuk menculik
Nofret, yang akan dipaksa menjadi penuntun menuju
ruangan bertanda tongkat kebesaran dalam peta!

***
Sementara itu, Pendekar Slebor dan Nofret telah
memasuki lorong rahasia menuju Ruang Penyimpanan
Harta. Setelah berjalan sekian lama dengan terbungkuk-
bungkuk, akhirnya mereka tiba juga di ruangan.
"Apa yang terjadi di ruangan ini?" gumam Andika
menyaksikan ruangan porak-poranda, seakan baru saja
diobrak-abrik seekor naga luka.
Biksu Punuk Tebal sudah tak terlihat lagi di sana. "Ini
ruang penyimpanan harta Ratu Yang Mulia," gumam Nofret
tak kentara. Namun, cukup bisa ditangkap telinga Andika.
"Kau tahu ruangan ini?" tanya pemuda itu. Nofret
mengangguk.
"Aku hanya tak tahu kalau ada jalan rahasiayang
menghubungkan Ruang Para Dewa dengan ruang ini," jelas
gadfe itu.
Andika melangkah lebih ke dalam. Dan Nofret
mengikuti. Mereka melihat peti-peti harta masih berada di
sekitar kolam buatan di pusat ruang besar bawah tanah ini.
"Kalau mereka mengincar harta, kenapa semuanya
masih ada di sini?" gumam Nofret, lagi-lagi.
"Atau mereka mendapatkan sesuatu yang lain, lalu
mereka tak berniat lagi pada harta-harta itu," tukas Andika.
Pemuda itu sudah berdiri di tepi sebuah lubang besar 

di bagian lain lantai. Lubang tempat peti yang dijaga
gerombolan ular. Pandangannya tertuju ke sana.
Nofret mendekati Andika. "Kau tahu tempat apa ini?"
tanya Andika. Dahi Nofret berkerut. Matanya yang lentik
mengawasi tegas-tegas lubang itu. Sepertinya, dia hendak
mencari keterangan di dalam sana tentang sesuatu yang
belum diketahui. Peti besar yang kini kosong melompong,
serta bangkai ratusan ular dan bangkai seorang tak dikenal
yang masih mengepul-kan asap tipis, tak sedikit pun
membuatnya bisa me-nyimpulkan apa yang telah terjadi.
"Kau belum tahu?" susul Andika. "Aneh..., mestinya ayahku
memberitahukan aku tentang lorong rahasia dan lubang
ini," keluh Nofret.
Secara tak langsung gadis Mesir sudah menjawab
pertanyaan Andika barusan. Dia memang belum tahu
sedikit juga tentang tempat yang dimaksud.
Andika menggelengkan kepala. Biarpun matanya tak
ditujukan pada Nofret, namun gelengan itu dimaksudkan
untuk gadis di sisinya.
"Atau, ayahmu memang tidak pernah mengetahuinya,"
duga Pendekar Slebor.
Nofret mengalihkan pandangan ke arah Andika.
Matanya agak menyipit. Perkataan Andika ditangkap
telinganya sebagai tudingan terselubung terhadap ratunya.
"Maksudmu, kau hendak menuduh Yang Mulia Ratu
yang telah merencanakan ini semua? Lagi-lagi, kau
membuatku tak suka, ‘Tuan’," kata Nofret bertekanan.
Kesepakatan untuk memanggil nama mereka satu
sama lain, seperti sengaja diberangusnya dengan
menyebut Andika 'tuan'.
"Hey? Ini bukan masalah suka atau tidak, Nona,"
sahut Andika agak  terpancing kegusaran Nofret. "Ini
masalah nyawa banyak orang yang menjadi undangan
Ratumu. Aku tak akan pernah sudi membiarkan seseorang
menzalimi pihak lain...."
"Mulutmu semakin lancang, Tuan Muda."
Tekanan kata Nofret kian meninggi. 

"Kuperingatkan, kelancangan mulutmu akan
berakibat buruk!"
Seperti tak peduli pada peringatan Nofret, Andika
berbalik acuh.
"Alasan itu lagi," gerutu Pendekar Slebor.
Andika memang bosan dengan alasan Nofret yang
entah untuk ke berapa kali didengarnya.
"Aku yakin, bukan hanya karena kau khawatir pada
keselamatan kami, para undangan, melainkan terlalu
berhati-hati dalam mengabdikan diri pada Ratumu..  Kau
mesti tahu, kehati-hatian yang berlebihan sama buruknya
dengan kecerobohan...," sindir Andika, ringan saja. Namun
menghujam langsung ke dalam hati sanubarj Nofret.
"Cukup! Aku sudah tidak bisa lagi bersamamu!" putus
Nofret.
Benteng kesabaran gadis ini  sudah tak bisa lagi
dipertahankan. Kontan bobol oleh ucapan pemuda urakan
bermulut ceriwis itu. Maka dengan wajah merah padam,
gadis Mesir mempesona itu berbalik. Ditinggalkannya
Andika menuju lorong.
"Mau ke mana kau?" tegur Andika.
"Aku akan mencari dua lelaki Tibet itu di ruangan lain!"
sahut Nofret agak bergetar, membendung kegusaran.
Pendekar Slebor hanya bisa mengangkat bahu tinggi-
tinggi. Dasar perempuan! Maki Pendekar Slebor membatin.
Penasaran dengan keadaan ruangan yang demikian
semrawut, Andika mencoba memusatkan perhatian untuk
menyelidikinya. Usahanya sia-sia, karena....
"Aaauuu...!"
Dari arah lorong tertangkap jeritan keras Nofret.
"Nofret...," desis Pendekar Slebor terperanjat.
Sepenuh kesigapan, Andika mengayunkan kedua kakinya.
Jangan tanya  lagi, bagaimana segenap ilmu lari cepatnya
yang demikian dikagumi di kalangan persilatan dikerahkan.
Karena hanya dalam sekelebatan, tubuhnya sudah
menghilang dari ruangan.
Seperti anak panah bermata, Andika menyusuri lorong 

dalam kecepatan menggila. Ketinggian lorong yang
memaksa badannya membungkuk, tak menghalangi
kecepatannya.
Memang gadis itu sempat membuatnya dongkol.
Bahkan sampai sekarang pun masih memendam perasaan
itu. Dalam hal ini, urusan menjadi lain sama sekali.
Keselamatan nyawa gadis itu mungkin saja terancam. Soal
nyawa, bukanlah perkara suka atau tidak suka. Bukankah
begitu yang dikatakan pada Nofret belum lama ini?
Dalam waktu singkat, lesatan tubuh pemuda itu
sudah hampir mencapai tengah-tengah lorong. Sejauh itu,
tak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Tidak juga Nofret,
atau siapa pun. Kosong! Hanya kosong yang didapat
pandangannya, kecuali dinding lorong yang terus
memanjang dan mengurung.
"Bangsat bau kemenyan!" maki Andika kalap.
Pendekar Slebor sadar kalau telah kecolongan.
Bukankah  Nofret belum begitu lama meninggalkan
ruangan penyimpanan harta? Tak mungkin dia berjalan
sampai setengah lorong! Artinya, Andika berlari terlalu jauh
dari tempat kejadian!
"Tapi, kenapa aku tak menemukan apa-apa se-
panjang lorong yang kulalui?" gumam Andika, kehilangan
akal.

*** 

6

Apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Nofret?
Andika tak tahu pasti. Tapi seseorang mengetahuinya amat
jelas. Karena, dialah yang membuat ulah.
Biksu Punuk Tebal! Sesuai rencananya, dia langsung
menyergap Nofret di dalam lorong.
Biksu Punuk Tebal tahu, para undangan yang lain
akan mencarinya. Maka, dia pun menanti sampai Nofret
melewati lorong. Pada kesempatan pertama, rencananya
tak berjalan mulus. Karena, dilihatnya Nofret sedang
menyusuri lorong bersama Pendekar Slebor. Kalau
pendekar tanah Jawa yang kesaktiannya sudah kesohor
sampai ke seberang lautan itu turut campur, rencananya
bisa makin ruwet. Bahkan mungkin terancam.
Karena itu, Biksu Punuk Tebal menunggu kesempatan
kedua. Tepat ketika Nofret kembali menyusuri lorong tanpa
kawalan Andika, langsung di-sergapnya dengan cepat.
Kalaupun Pendekar Slebor tak berhasil menemukan
jejak hilangnya Nofret, hal ini karena Biksu Punuk Tebal
menyergap gadis itu dari salah satu pintu rahasia lorong
yang diketahuinya dari peta.
"Lepaskan aku! Kurang ajar kau!" maki Nofret di atas
bahu Biksu Punuk Tebal.
Lelaki gundul berbadan agak gempal itu membawa
Nofret ke sebuah ruangan tersembunyi dalam keadaan
tertotok. Kemudian diturunkannya tubuh gadis itu dengan
kasar.
"Apa maumu sebenarnya?!" tanya Nofret keras.
Wajahnya bukan main merah matang, disesaki kemarahan.
Seringai khas Biksu Punuk Tebal mengambang di
bibirnya.
"Kau cantik, Nona. Bahkan bisa amat menggiurkan.
Tapi aku tak berminat untuk berbuat macam-macam
padamu...," kata Biksu Punuk Tebal, berdiri berkacak
pinggang di depan Nofret yang dibiarkan tergeletak tanpa
tenaga. 

"Lalu, apa maumu?!" ulang Nofret, lebih melengking.
Tenang tapi pasti, Biksu Punuk Tebal mengeluarkan
gulungan papirus berisi peta piramida dari balik jubahnya.
"Kau lihat ini...," ujar Biksu Punuk Tebal penuh
ketegasan seraya mendekati Nofret. Dibentangkannya peta
itu persis dua jengkal di depan wajah Nofret. "Lihat baik-
baik tanda tongkat kebesaran di peta ini!"
Melihat papirus itu, raut wajah Nofret berubah. Dia
tampak begitu terperanjat.
"Dari mana kau dapatkan itu?!" tanya gadis ini
memburu.
"Aku tak bertanya untuk mendapat pertanyaan pula!"
hardik Biksu Punuk Tebal tiba-tiba. Menggelegar dan padat
kegusaran. "Jawab pertanyaanku! Dan, jangan banyak
tanya! Aku tak sabar meladeni orang bermulut rewel!"
Dengan berani, Nofret menantang tatapan beringas
Biksu Punuk Tebal.
"Kau akan segera menemui Dewa Anubis untuk
diadili!" geram gadis itu.
Plak!
Satu tamparan keras menimpa pipi halus Nofret.
Sangat pedas dirasakan. Namun  begitu, dia termasuk
beruntung. Biksu Punuk Tebal tak bermaksud cepat-cepat
menghabisinya. Tamparan tadi dilakukannya hanya
menggunakan tenaga luar.
"Bukankah sudah kukatakan, bahwa aku tak sabar
menghadapi orang yang banyak mulut," cemooh Biksu
Punuk Tebal dengan bibir mencibir memuakkan.
Sebelum berkata lagi, biksu murtad itu menjemput
wajah Nofret dengan tangannya. Dicengkeramnya dagu
gadis jelita ini geram-geram.
"Katakan padaku, apa yang kau tahu tentang tempat
dalam peta bertanda tongkat kebesaran itu!" bentak Biksu
Punuk Tebal dengan kelopak mata membeliak.
"Aku tidak tahu...," sahut Nofret datar, dan diucapkan
satu-satu.
"Perempuan laknat!" bentakBiksu Punuk Tebal, lalu.... 

Plak!
"Aaah!"
Tamparan Biksu Punuk Tebal sekali ini dibarengi
ledakan kemurkaannya. Biarpun tak mengerahkan tenaga
dalam, namun tetap saja berakibat tak ringan bagi Nofret
yang sebenarnya tak memiliki kepandaian bela diri sedikit
pun.
Didahului pekikan tertahan, kepala Nofret yang
semula tersandar di dinding, terkulai di lantai. Sebelah
pipinya menjadi memar. Sedangkan dari sudut bibir
ranumnya, mengalir darah segar. Tamparan keras itu nyaris
saja membuatnya pingsan.
Tanpa kenal kasihan, tangan kekar Biksu Punuk Tebal
mencengkeram baju sutera putri Nofret di bagian dadanya.
"Katakan  padaku, Nona! Katakan! Sebelum
kesabaranku benar-benar habis!" ancam lelaki Tibet ini
seraya mendekatkan wajah lunglai Nofret ke wajah
bengisnya.
Kelopak mata Nofret bergerak  kuyu dan lamban.
Lamban pula kepalanya menggeleng.
"Cari tahulah di neraka sana...," sahut Nofret lirih.
"Perempuan lacur! Mampuslah kau!" maki Biksu
Punuk Tebal.
Tubuh Nofret dihempaskan ke lantai kembali. Lalu
Biksu Punuk Tebal cepat mengangkat telapak tangannya
tinggi-tinggi. Untuk hantaman kali ini, agaknya Nofret akan
menerima hajaran bertenaga dalam. Rahangnya akan
remuk, dan lehernya akan retak.
"Hih!"
Tap!
Sesuatu yang tak pernah terduga Biksu Punuk Tebal
mendadak terjadi begitu saja. Tangannya yang siap
meluncur deras ke wajah memelas Nofret tiba-tiba terhenti
di udara. Terasa  ada tangan kekar ber-otot yang
menghadangnya....
"Kalau beraninya hanya pada perempuan, kenapa kau
tak menjadi tikus koreng saja...," ejek si pemilik tangan 

yang tenyata Pendekar Slebor.
Rupanya dengan agak susah payah, akhirnya Andika
bisa menemukan jejak Biksu Punuk Tebal sampai tiba pula
di ruang ini. Bagaimana Pendekar Slebor bisa
menemukannya?
Dengan kecerdikan akalnya, Andika menduga kalau
ruang rahasia dapat terbuka dengan mendorong
dindingnya. Dan Andika sadar bahwa hilangnya Nofret,
masih berada di sekitar lorong. Berarti, di balik dinding
lorong, terdapat ruangan.
Berpikir demikian, disertai ilmu lari cepatnya,
Pendekar Slebor melesat ke arah tempat dia tadi bersama
Nofret sambil tangannya memukul-mukul sekuat tenaga
pada dinding-dinding lorong di kanan dan kirinya. Hasilnya,
salah satu dinding lorong terbuka. Dan, di sanalah dia
menemukan Biksu Punuk Tebal yang tengah mengancam
keselamatan Nofret.
Sementara itu, kalau Nofret menyambut kedatangan
Pendekar Slebor dengan rintihan lemah, Biksu Punuk Tebal
sudah pasti lain lagi. Bibirnya terungkit-ungkit bersama
hidungnya. Niatnya yang terjegal untuk menghajar habis
Nofret membuat darahnya kian mendidih sampai ke ubun-
ubun.
"Kau akan mampus bersama perempuan lacur  itu,
Pendekar Slebor!" dengus lelaki Tibet ini seraya membabat
cengkeraman tangan Pendekar Slebor dengan tasbih
ganjilnya. Wuk!
Seperti tak disengaja, santai saja Pendekar Slebor
melepas cekalan tangan pada tangan Biksu Punuk Tebal
pada saat tasbih itu tinggal berjarak setengah jengkal lagi.
Hebatnya, senjata maut itu sama sekali tak menyentuh,
bahkan sekadar kulit tangan pemuda itu. Lalu dengan
sikap acuh seakan tidak sedang menghadapi seorang
lawan pun, dihampirinya Nofret.
"Kau tidak apa-apa, Nofret?" tanya Pendekar Slebor
dikawal senyum kebodoh-bodohan. Wuk!
Saat yang sama, Biksu Punuk Tebal memburu lagi 

dengan senjata mautnya. Pendekar Slebor yang sedang
berjongkok untuk membebaskan Nofret dari totokan,
hendak dibokongnya.
Tuk!
Hanya beberapa kedipan berselang setelah terdengar
suara halus totokan di tubuh Nofret, tubuh Pendekar
Slebor bergerak memutar amat cepat. Lalu disusul
kelebatan tangannya.
Wuk-cletar!
Sekedip mata, tasbih Biksu Punuk Tebal menjadi
berpentalan ke segenap penjuru. Salah satu bijinya yang
terbuat dari tengkorak manusia kontan lebur laksana batu
kapur tertimpa reruntuhan gunung!
Kalau senjatanya yang selama ini begitu dibanggakan
hancur demikian rupa, tentu saja ledakan ke-murkaan
Biksu Punuk Tebal tak bisa terelakkan lagi. Tokoh sesat
jajaran atas di tanah Tibet ini kalap sehebat-hebatnya.
"Jangan merasa sudah hebat, Anak Ingusan!" geram
Biksu Punuk Tebal sarat tekanan serta getaran.
Andika menanggapinya dengan ringisan bodoh.
"Kau belum lagi merasakan kesaktian-kesaktianku
yang lain!" tambah Biksu Punuk Tebal, amat mengancam.
"Dan kau juga belum merasakan terkencing-kencing di
celana? He-he-he...." ejek Pendekar Slebor, tambah
menjengkelkan.
Biksu Punuk Tebal mendengus berat. Dihirupnya
napas dalam-dalam. Amat dalam. Bahkan kemampuan
seorang berparu-paru besar sekalipun, tak akan sanggup
melakukannya. Yang terjadi selanjutnya benar-benar
mustahil bagi pandangan Pendekar Slebor.
Dada Biksu Punuk Tebal menjadi menggelembung,
dart terus menggelembung. Besarnya bahkan lebih dari
perut seorang wanita hamil tua!
Andika pernah memang mendengar tentang ke-
hebatan ilmu-ilmu Tibet yang begitu handal menguasai
pengaturan tubuh. Seorang yang bisa membangkitkan
tenaga petir dalam tubuhnya. Ada juga yang bisa berjalan 

di atas bara tanpa luka. Dan sebagainya. Tapi kalau
menggembungkan dada sampai sebesar itu?
Keterperangahan Pendekar Slebor dipancung oleh
teriakan serak tercabik yang keluar dari kerongkongan
Biksu Punuk Tebal. Terdengar menyakitkan, seolah lelaki
licik ini mengalami siksaan luar biasa.
"Astaga! Apa dadanya akan meledak?" gumam
Pendekar Slebor ngeri.
Saat berikutnya, Pendekar Slebor segera tahu. Biksu
Punuk Tebal itu bukanlah hendak bunuh diri karena harga
dirinya terinjak-injak oleh perbuatan Pendekar Slebor yang
berhasil melebur senjatanya, tapi justru sedang
mengerahkan satu ilmu langka yang bisa saja hanya
pernah dipakai beberapa kali dalam seumur hidup!
"Khiaaarrrhhh!"
Berkawal teriakan kedua yang menyakitkan.  Mulut
Biksu Punuk Tebal menyemburkan gumpalan-gumpalan
udara berkekuatan tiga ekor banteng luka! Setiap
gumpalan  udara sebesar kepalan tangan, sepertinya
meluruk tanpa tenaga. Terlalu lamban bagi seorang
pendekar berilmu tinggi seperti Pen¬dekar Slebor.
Andika bisa menyaksikannya. Tapi dia menyangsikan
kesan remeh yang terlihat. Sebagai pendekar muda yang
sudah cukup  kenyang menelan asam garam dunia
persilatan, dia tentu saja tak mau ceroboh.
Untuk menjajaki bagaimana kekuatan gumpalan
udara yang disemburkan Biksu Punuk Tebal, Pendekar
Slebor tidak berusaha menghindar. Anak muda itu justru
menghadang gumpalan udara itu dengan sapuan senjata
pusakanya dengan kekuatan setengah dari seluruh
warisan Pendekar Lembah Kutukan.
Wuthhh! Blup!
Sapuan kain bercorak catur bertenaga dahsyat yang
sesungguhnya sanggup memporak  porandakan tembok
setebal dua tombak itu, ternyata seperti melabrak asap.
Gumpalan udara yang dikirim Biksu Punuk Tebal sama
sekali tidak terjegal. Akibatnya.... 

Blap!
Dada Pendekar Slebor pun langsung menjadi sasaran
empuk. Tubuhnya tidak terlihat terpental atau tersentak.
Sebaliknya, sekujur otot di tubuhnya pada saat itu juga
menjadi kaku. Terkunci sebentuk kekuatan yang sulit
dimengerti!
Di samping itu, Andika merasakan kebekuan yang
menggigit ganas. Rasa dingin yang jauh lebih hebat
daripada gunung es kutub selatan!
Mata Andika hanya bisa membeliak manakala
gumpalan udara yang lain terus mendekat. Satu gumpalan
saja, telah  membuatnya menjadi membeku. Bagaimana
pula jika ada satu gumpalan lain menerpa? Tentu dia
benar-benar akan menjadi patung es. Kaku, retak-retak.
dan kehilangan nyawa!
Saat itu juga Pendekar  Slebor mencoba untuk
mengempos seluruh tenaga sakti tingkat puncak ke
segenap tubuhnya, untuk melantakkan kebekuan yang
menguncinya. Ternyata usahanya sia-sia. Sepertinya,
tenaga sakti tingkat kesembilan belasnya pun membeku!
Pada saat-saat antara hidup dan mati seperti itu, tak
ada lagi yang bisa diperbuat pendekar muda ini selain
menyerahkan semuanya kepada kekuatan Sang Penguasa
Alam.
Dan kejadian tak terduga terjadi....
"Waaa!"
Biji mata Biksu Punuk Tebal saat itu seperti hendak
melempar keluar. Raut wajahnya sulit digambarkan. Yang
jelas menggambarkan seseorang yang sedang menderita
rasa sakit hebat sepanjang hidupnya. Mulutnya terbuka
amat lebar, seperti hendak merobek rahangnya sendiri.
Sementara, sepasang tangannya mendekap
selangkangannya yang dibanjiri warna merah.
Pendekar Sleborkah yang telah melakukannya? Tidak!
Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu
sendiri tengah terkungkung dalam satu kekuatan tak
nampak yang berisi hawa sedingin es. Dan kalau tiba-tiba 

Biksu Punuk Tebal menjadi begitu, bagaimana Pendekar
Slebor tak terperanjat?
Merasa yakin ada orang lain dalam ruangan itu,
Andika dalam keterpakuannya hanya mencari-cari
waspada.
Hasilnya, telinga Pendekar Slebor hanya
mene¬mukan kesunyian dan matanya hanya menelan
tubuh Biksu Punuk Tebal yang sudah ambruk menjadi
bangkai. Bahkan sampai cukup lama menanti, Andika tetap
tak menemukan apa-apa atau siapa-sia-pa....
"Itu tadi perbuatanku, Andika...," cetus Nofret di
belakangnya.
Andika tak cepat menoleh. Dia masih terpaku dengan
mulut terkuak, walaupun sebenarnya kini kungkungan yang
membelenggu dirinya telah sirna. Dia tengah berusaha
meyakinkan diri kalau baru saja salah mendengar ucapan
Nofret barusan.
"Aku yang melakukannya, Andika. Lelaki itu terlalu
berhati binatang untuk tetap  dibiarkan hidup...," tandas
Nofret, masih tetap dengan suara lirih.
Barulah Andika berbalik perlahan.
"Kau yang melakukannya?" ulang Andika. Raut
wajahnya digelayuti kesan ketidak percayaan. Terlihat jelas
dari pangkal hidungnya yang agak berkerut.
Nofret bangkit tertatih.
"Ya!" sahut gadis itu tanpa menoleh.
"Tapi...."
Andika tak bisa melanjutkan kalimatnya karena tubuh
Nofret keburu ambruk. Dan dia harus cepat menyergapnya.

*** 

7

Sepertinya seluruh kejadian dalam Piramida Tonggak
Osiris telah digerayangi teka-teki. Kejadian demi kejadian
makin terseret dalam pusaran membingungkan. Untuk
seorang berotak cemerlang seperti Pendekar Slebor pun
semuanya masih demikian samar. Belum lagi sebentuk
pertanyaan dapat disingkap, pertanyaan yang berikutnya
sudah menjelma di depan mata.
"Bagaimana mungkin kau bisa melakukannya pada
lelaki busuk itu? Padahal, aku sama sekali tak menangkap
gerakanmu? Telingaku yang kuyakin tergolong peka pun,
tak menangkap suara gerakan apa-apa? Lalu, bagaimana
kau bisa melakukannya?" be-rondong Andika pada Nofret.
Nofret yang telah siuman setelah Andika me-
nyalurkan hawa murni untuk mengembalikan kesegaran
tubuhnya, menatap Andika lekat-lekat. Mereka masih di
ruangan yang sama.
"Ayahku seorang Pendeta 'Ka' sekaligus seorang ahli
sihir,  Andika. Sebagai anak tunggalnya, aku diwarisi pula
ilmu itu...," tutur Nofret.
Mulut Nofret membuka. Sekarang, rasanya dia
mengerti.
"Jadi kau menggunakan sihir?" tanya Pendekar Slebor
seperti tak menghendaki jawaban.
Sinar mata Andika mulai tampak mencurigai Nofret
kembali, seperti sebelum-sebelumnya.
"Kau menggunakan sihirmu untuk membunuh biksu
palsu dari Tibet itu.... Bagaimana dengan Hakim Tanpa
Wajah? Lelaki tua yang mati di lubang berpasir itu?" desak
Andika mulai pula menyudutkan.
Anak muda itu bangkit dari sisi Nofret yang masih
setengah berbaring di lantai. Kemudian kakinya melangkah
ke satu sudut ruangan.
"Kau jangan menuduhku sembarangan, Andika!"
sergah Nofret.
Gadis ini memang sudah bosan disudutkan terus 

seperti itu. Karenanya, perasaannya pun  makin tak
terkendali bila pemuda yang sebenarnya telah
menanamkan benih-benih cinta di lubuk hatinya itu mulai
kembali dengan segala kecurigaannya.
"Aku memang yang membunuh biksu Tibet palsu itu
dengan kemampuan sihirku. Sewaktu perhatiannya
terpusat padamu, dengan ilmu sihir aku menciptakan ular
dari tongkatku ini. Dan ular itu diam-diam merayap, lalu
melalap kelaki-lakian Biksu Punuk Tebal. Tapi, terus terang,
selama kalian tiba, baru kali ini aku menggunakannya...,"
sangkal Nofret, membela diri.
"Kau ingin berkata bahwa kematian Hakim Tanpa
Wajah bukan perbuatanmu?" 
"Ya!" tegas Nofret.
"Lalu..., siapa yang berbuat?" Andika menatap Nofret
tajam-tajam.
Dari sinar sepasang mata berbulu lentik itu, Andika
mencoba menilai apakah Nofret berdusta. Nyatanya, tak
secercah pun ditemukan sebersit kedustaan.
Wajah Nofret berubah. Mendadak gadis itu bangkit.
Didekatinya mayat Biksu Punuk Tebal. Dari salah satu
telapak tangan mayat itu, dipungutnya selembar papirus.
"Barangkali  papirus ini bisa menjawabnya," kata
Nofret seperti bergumam.
Pendekar Slebor tertarik. Dihampirinya Nofret. Lama
Andika hanya menunggu gadis Mesir itu mengamati peta di
atas lembaran papirus. Beberapa kali warna wajahnya
berubah. Beberapa kali pula hendak mengajukan
pertanyaan, namun selalu dicegah Nofret dengan isyarat
tangan.
"Kali bisa membuatku mati penasaran kalau terus
begitu!" sentak Andika dongkol setengah edan. "Katakan
padaku, apa yang kau temukan pada papirus itu. Dan,
ceritakan pula kenapa benda itu ada di tangan biksu
sundal ini!"
"Tampaknya...," desah Nofret terputus, ragu untuk
meneruskan kalimat. 

"Waduuuh!" gerutu Andika. Ditamparnya kening
sendiri keras-keras. "Kau benar-benar mau membuatku
mati penasaran, ya?!"
Cukup lama Nofret menatap mata elang pemuda di
dekatnya. Seakan dia hendak meminta dorongan agar bisa
meneruskan kalimat.
"Ayo, katakan. Apa pun yang bakal terjadi, aku siap
membantumu. Asal, kau berada di pihak yang benar!" ujar
Andika, mendorong semangat Nofret.
Puas memadati paru-parunya dengan udara, lalu
menghempaskannya lewat hembusan panjang, Nofret mau
juga mengatakan pada Andika hal yang mengusik dirinya,
setelah membaca papirus tadi.
"Tampaknya dugaanmu benar, Andika. Mungkin
Ratuku  lah yang telah merencanakan semua ini...," tutur
Nofret seperti berbisik amat hati-hati. "Apa isinya? Apa
isinya? Jangan terus membuat teka-teki seperti ini, Nofret?"
desak Andika, bergegas.
"Peta pada papirus ini menjelaskan tentang seluruh
rancang bangun Piramida Tonggak Osiris,....
Nofret membisu dahulu. Dan ini membuat Andika
makin gemas saja.
"Juga tentang rencana bangun semua jalan dan
tempat rahasia yang aku sendiri tak pernah tahu. Dari
tanda-tandanya, aku bisa tahu kalau beberapa tempat
memang sengaja diciptakan jebakan-jebakan maut tanpa
ampun...," lanjut gadis itu.
Pendekar muda yang sebenarnya telah kenyang
menelan sekian kisah kengerian dunia persilatan itu pun
sempat bergidik mendengar penuturan Nofret. Bukan apa-
apa. Mereka di dalam bangunan kuno ini tak lebih orang-
orang asing yang buta. Ibarat binatang buruan buta,
mereka akan begitu mudah menjadi santapan mata panah
si pemburu!
Jari telunjuk Nofret menunjuk tanda tongkat
kebesaran Raja Mesir pada satu bagian peta.
"Kau lihat gambar ini?" tanya gadis itu tanpa 

mengharapkan jawaban Andika. "Tanda itu adalah lambang
kekuasaan tertinggi. Kalau tanda itu disematkan di salah
satu ruangan dalam peta, artinya...."
"Ruangan ini berhubungan erat dengan kekuasaan
lertinggi," sela Andika menyimpulkan. "Atau dengan kata
lain, seorang yang bisa memasuki ruangan itu akan
mendapatkan kekuasaan...."
"Ya!" sahut Nofret, singkat.
"Apa nama ruang itu?"
Nofret meneliti papirus.
"Ruang Pusaka Para  Ahli  Sihir Ratu," sebut  gadis ini
kemudian, setelah membaca sebaris tulisan Mesir Kuno.

***

Nofret serta para undangan telah berkumpul kembali
ke Ruang Para Undangan. Jumlah mereka kini menyusut
menjadi sepuluh orang. Empat orang lainnya, Hakim Tanpa
Wajah, Dua Biksu Dari Tibet, dan suami si Manyar Wanita,
sudah menjadi tumbal bagi Piramida Tonggak Osiris.
Sebelum menuju ke sana, Andika meminta Nofret
untuk merahasiakan dahulu perihal peta yang didapat dari
tangan Biksu Punuk Tebal. Sebab bukan tidak mungkin di
antara para undangan lain ada yang berhasrat untuk
mendapatkannya. Kalau itu terjadi, maka pertumpahan
darah bisa pula tak terelakkan.
Baru saja tiba, Pendekar Slebor sudah dihadapkan
pada berita kematian mendadak suami si Manyar Wanita
yang mengerikan.
"Wuaaa...! Hik-hik-hik! Suami jelekku mati tanpa
permisi lagi," lapor Manyar Wanita, langsung menghambur
ke dada bidang Andika.
Maksud wanita ini  cuma mau mengadu pada
pendekar muda yang membuat dadanya kebat-kebit. Tapi
karena terlalu berlebihan, justru malah terlihat seperti
orang hendak melantakkan tulang-belulang Pendekar
Slebor. Andika dipeluknya erat-erat, tak ketinggalan pula 

diguncang-guncangkannya keras-keras.
Tinggal Andika meringis-ringis dengan napas Senin-
Kamis....
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Andika, setelah
Manyar wanita berhasil 'dijinakkan'.
"Kejadiannya begitu cepat. Ketika kami hendak
menyusul kalian, lelaki yang tinggal sendiri di ruangan itu
tiba-tiba menjerit. Begitu kami memburu ke sini, yang
didapat cuma mayat yang sudah dikerubungi ulat-ulat
menjijikkan," cerita Hiroto. Padat dan tak bertele-tele.
Pendekar Slebor manggut-manggut. Entah percaya,
entah tidak.
"Kami sudah mencoba menyelidiki, tapi tak berhasil,"
tambah Hiroto dengan wajah kecewa.
Andika melirik Chin Liong. Maksudnya meminta
kepastian ksatria Cina yang sekaligus sahabatnya. Chin
Liong mengangguk, menyetujui seluruh cerita Hiroto. Dari
sini, baru Pendekar Slebor percaya penuh pada cerita tadi.
"Apa kau menemukan sesuatu?" tanya Andika pada
Chin Liong.
Chin Liong menggeleng. Wajahnya juga kecewa,
seperti Hiroto.
"Kau punya otakyang jernih, Andika. Aku justru
berharap, kau dapat memecahkan teka-teki ini," keluh Chin
Liong.
"Ya... huu-hik-hik," timpal Manyar Wanita. "Pokoknya
aku harus tahu, kenapa suamiku tiba-tiba jadi bangkai. Ya!
Biarpun dia  jelek, kan tetap bisa jadi teman tidur... hu-hi-
hik-hik...."
Nofret menarik pangkal lengan Andika. Diajaknya
pemuda itu ke sudut ruangan. Dari wajahnya, jelas sekali
kalau gadis itu hendak berbicara empat mata dengan
Pendekar Slebor.
Sambil mengikuti langkah Nofret, mata Andika
mengawasi tangan halus dara Mesir yang masih
memegangi pangkal lengan. Sudah berani rupanya gadis
ini memegang. Begitu bisik hati Andika, senang. 

Sadar kalau tindakannya diamati, Nofret menjadi
jengah. Dilepaskannya pegangan tangannya.
"Kenapa dilepas? Aku memperhatikannya bukan
berarti tak suka!" goda Andika urakan. Nofret hanya bisa
tersenyum sungkan. "Ada apa? Kau mengetahui sesuatu?"
tanya Andika kemudian, saat mereka sudah cukup aman
dari jangkauan pendengarannya yang lain.
"Peta tadi," bisik Nofret teramat halus di dekat telinga
Andika.
Hidung Pendekar Slebor sampai bisa mencium aroma
tubuhnya.  Bahkan dikhawatirkan bisa melempar angan-
angan pemuda itu melayang ke hal yang bukan-bukan.
"Kalau di ruang ini terdapat juga jebakan rahasia,
tentu kita bisa memastikan bentuk jebakan itu, dan di
mana di tempatkannya...," sambung Nofret.
Karena terlalu menikmati keharuman tubuh Nofret,
pendekar muda urakan ini jadi tak begitu memperhatikan
apa yang diucapkan Nofret. Matanya menerawang jauh
entah ke mana. Napasnya dita-rik panjang-panjang. Dasar
kadal!
"Kau paham maksudku?" tanya Nofret agak bingung,
karena pemuda itu tampak seperti memikirkan hal yang
lain.
"Ah ah, apa? Apa?" Andika malah bertanya tergagap.
"Peta itu," ulang Nofret agak kesal.
Andika seperti orang linglungsebentar. Untung
otaknya memang cukup handal untuk menyimpulkan
dengan cepat perkataan lerakhir Nofret. Biarpun,
selebihnya sama sekali dia tidak mendengar.
"O, iya. Peta itu!"
Nofret mengurungkan niat untuk mengeluarkan
papirus dari balik bajunya.
"Lebih baik kita meneliti peta itu di luar," usul Nofret.
"Sikap kita nanti malah akan menimbulkan kecurigaan...."
"O, iya. Di luar!" bisik Andika, lagi-lagi membeo.
Belum sempat mereka tiba di mulut pintu....
"Berikan peta itu padakuuu...!" 

Mendadak seseorang bergerak kaku bagai mayat baru
bangkit dari kubur menghadang mereka. Suaranya
terdengar berat dan serak menyeramkan. Bahkan hampir-
hampir sulit ditangkap.
Nofret nyaris memekik melihat siapa orang itu. Untung
saja tangannya segera mendekap mulut. Sementara
matanya membelalak ngeri.  Meski tak separah Nofret,
Pendekar  Slebor dipaksa  tercekat juga. Orang yang
menghadang mereka ternyata... Biksu Punuk Tebal!
Sebentuk pusaran pertanyaan langsung berkecamuk
dalam benak kedua anak muda itu. Bukankah Biksu Punuk
Tebal sudah mati? Bagaimana mungkin masih bisa
berjalan ke tempat ini? Atau mereka telah  salah
memeriksa mayatnya?
"Berikan ituuuhhh padakuuu...," pinta Biksu Punuk
Tebal.
Kaki lelaki yang kini mayat hidup itu melangkah satu-
satu, terseret dan tersendat. Wajahnya sudah tidak
mencerminkan kehidupan lagi. Kecuali, pijar dingin dari
dasar manik matanya yang bagai lentera dari alam kubur!
Nofret tersekat mundur. Tangannya masih mendekap
mulut. Wajahnya diberangus ketakutan teramat sangat.
Sementara Pendekar Slebor berusaha menenangkan
diri Nofret. Didekapnya tubuh gadis itu erat-erat ke dada
bidangnya. Lalu dia pun mulai mengatur langkah ke
belakang. Pendekar Slebor hendak menyusun kesiagaan
bila mayat hidup itu menerkam....

*** 

8

Tepat seperti dugaan Pendekar Slebor, mayat hidup
itu ternyata benar-benar melakukan serangan. Dibarengi
teriakan, mayat hidup Biksu Punuk Tebal menerkam
Andika dan Nofret. Tangannya mengejang ke depan.
Mulutnya membuka lebar, memperlihatkan barisan giginya
seakan siap mengunyah daging korban.
"Khrrrhhh!"
Dengan gerakan sigap, Pendekar Slebor mendorong
Nofret ke belakang. Baginya, untuk menghadapi serangan
macam itu tidaklah terlalu sulit. Tapi kalau masih ada
Nofret di pelukannya, persoalan jadi lain.
Yakin kalau Nofret sudah cukup aman, pendekar
muda tanah Jawa itu langsung memasang kuda-kuda
sambutan. Sewaktu terkaman  mayat hidup itu sampai,
cepat tubuhnya disingkirkan ke samping.
Terkaman liar mayat Biksu Punuk Tebal Iolos.
Tubuhnya meluruk begitu saja ke sisi Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor hendak mengirimkan satu babatan
telapak tangannya ke belakang kepala mayat hidup itu.
Namun, belum lagi tangannya bergerak, jasad mati Biksu
Punuk Tebal sudah ambruk di tanah. Di lantai tubuh itu
mengejang-ngejang sejenak, kemudian diam tidak
berkutik.
Andika yang baru siap memasang jurus babatan
tangan menjadi terdiam tak mengerti. Hanya sampai di
situkah kekuatan Biksu Punuk Tebal? Semula dikiranya dia
akan menerkam serentetan serangan maut yang dahsyat.
Untuk meyakinkan diri kalau mayat Biksu Punuk Tebal
tak akan bangkit kembali, Andika mencoba membalik
tubuh yang tertelungkup itu dengan se-belah kakinya.
Begitu mayat membalik, Pendekar Slebor langsung
menelan pemandangan menjijikkan.
Tampak wajah serta leher mayat Biksu Punuk Tebal
sudah digerogoti ulat-ulat kecil. Binatang-binatang kecil itu
meliuk-liuk dalam lobang  yang  dibuat  pada kulit mayat 

Biksu Punuk Tebal! Belum lagi lendir berwarna kuning
kental di sekeliling ulat-ulat kecil itu....
Andika sendiri sampai hendak muntah. Pemandangan
itu terlalu menjijikkan. Bahkan bagi seorang yang biasa
berkalang bangkai sekalipun!
Yang paling repot menyaksikan keadaan mayat Biksu
Punuk Tebal adalah Manyar Wanita. Kembali wanita itu
memulai teriakan-teriakan kaleng rombengnya yang
diramaikan pula dengan isak senyaring denging bagi hutan.
"Wuaaa! Ya! Seperti itu suamiku tadi! Suamiku
tersayang jadi makanan ulat-ulat kecil... hik-hik-hik! Kenapa
orang sejelek dia mesti mengalami nasib senaas itu, ya?
Hih-hik-hik... huuu!"
"Apa yang sesungguhnya terjadi pada Dua Biksu Dari
Tibet itu, Andika?" tanya si Gila Petualang, mencoba
mengalihkan perhatian pada pemandangan menjijikkan di
tengah ruangan.
"Menurut perkiraanku, mereka hendak mencoba
berbuat culas. Tanpa sengaja, mereka mungkin
menemukan jalan rahasia yang menghubungkan ke ruang
penyimpanan harta. Lalu, mereka memutuskan untuk
memisahkan diri dari rombongan, dan mengambil harta di
ruang penyimpanannya...," cerita Andika.
"Lalu?" susul si Gila Petualang.
"Seorang dari mereka tampaknya menemui ajal di
ruang itu. Sedang yang seorang lagi...."
Andika tak meneruskan laporannya. Dia baru  sadar,
kalau terus meruntut kejadian yang telah diketahuinya.
Maka pada akhirnya, peta yang sengaja dirahasiakan pun
akan terangkat ke permukaan.
"Kenapa dengan yang seorang lagi?" tanya si Gila
Petualang karena rasa penasarannya jadi terusik.
Andika masih ragu. Benaknya menimbang-nimbang,
apakah sudah bisa mencentakan perihal peta piramida
pada orang lain, selain dirinya dan Nofret. Bukannya
Andika tak percaya dengan orang  tua itu, tapi hanya
mencoba untuk berhati-hati. Sebab kalau rahasia itu bocor, 

akibatnya akan terlalu buruk. Bisa jadi, ada salah seorang
anggota rombongan yang menjadi mata gelap demi
mendengar ada satu ruang tempat penyimpanan benda
pusaka para ahli sihir Raja Mesir. Bukankah di bagian
mana pun di dunia ini, iblis selalu siap menghasut hati-hati
yang rapuh?
Pertimbangan-pertimbangan dalam benak Pendekar
Slebor mendadak terpenggal ketika....
"Aaa!"
Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara jeritan
takut yang dikenalnya sebagai suara Nofret.
Andika cepat berbalik.
"Nofret...," desis Pendekar Slebor.
Saat itu juga Pendekar Slebor melihat gadis yang
dimaksud sedang dibekap di bagian lehernya oleh laki-laki
berjuluk Kepala Kacang dari belakang. Wajah menawan
yang sebelumnya sudah pucat kini semakin pucat dibawah
ancaman senjata lelaki jangkung di belakangnya. Di tangan
Kepala Kacang, tergenggam sebuah lempeng logam
berbentuk taji  yang tajam luar  biasa. Benda berwarna
perak itu digenggam tepat di antara jari telunjuk dan
tengah, seperti kuku Bima dalam cerita pewayangan. Ujung
runcingnya sendiri menempel tepat di tenggorokan Nofret.
Sehingga memaksa gadis itu menengadah ngeri.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Kepala Kacang?"
tanya Chin Liong tak habis pikir.
Sama sekali pemuda sahabat Andika itu tak men-
duga kalau lelaki jangkung yang selama ini lebih banyak
diam ternyata memendam kebengisan.
Kepala Kacang tak menjawab. Wajah pucatnya saja
yang bergerak-gerak. Sedangkan matanya terarah lurus
pada Pendekar Slebor.
"Hey? Tampaknya kau mulai menyukai ketam-
pananku, atau bagaimana?" koar Andika, mencoba
menenangkan suasana tegang.
"Jangan berpura-pura padaku, Pendekar Slebor! Kalau
kau bisa berdusta pada mereka, jangan harap bisa 

berdusta padaku!" bentak Kepala Kacang, disertai
geraman.
"Dusta? Dusta pada siapa? Apa ada yang merasa
telah kudustai?" cerocos Andika lagi, berpura-pura  tidak
paham maksud Kepala Kacang. Padahal, dia sudah bisa
menduga apa yang sedang diincar Kepala Kacang dengan
menyandera Nofret.
"Berikan gulungan papirus itu padaku!" ujar Kepala
Kacang dengan bentakan bergema.
Andika maju mendekat beberapa tindak.
"Papirus!? Di sini banyak sekali papirus. Papirus mana
lagi yang kau maksud?"
Masih saja Andika mencoba bermain kucing-kucingan.
Sementara itu, mata elangnya meneliti siaga, menanti
kelengahan lawan.
"Jangan coba teruskan langkahmu, Pendekar Slebor!
Kau akan menyesal seumur hidup, jika leher mulus gadis
ini tertembus senjataku," ancam lelaki jangkung berwajah
pucat itu.
Andika mengangkat bahu. Wajahnya sengaja dibuat-
buat. Terkadang meringis bodoh, terkadang pula memaju-
majukan bibirnya. Tujuannya, tentu saja hendak
memancing kemarahan si Kepala Kacang. Kalau darah
lelaki jangkung berkepala kecil  itu sudah menggelegak ke
ubun-ubun, maka kewaspadaannya biasanya menjadi
melemah. Saat itulah mungkin menjadi saat yang tepat
pagi Andika untuk menyergapnya.
Sebenarnya, Pendekar Dungu yang terus tekun duduk
dengan kepala terangguk-angguk mengantuk, bisa saja
melakukan tindakan cepat. Selaku tokoh tua yang tak
tertandingi, kecepatan geraknya bisa amat menentukan
untuk menyelamatkan Nofret.
Sayang seribu, bahkan sejuta kali sayang.... Pendekar
bangkotan itu terlalu dungu untuk memikirkan tindakan
apa yang mesti dilakukan. Jangan lagi untuk bertindak.
Untuk menentukan, apakah si Kepala Kacang adalah
musuh yang harus dibasmi atau bukan saja, dia masih 

kebingungan sendiri.
Kalau orang lain digelayuti ketegangan untuk mencari
cara membebaskan Nofret, si tua itu kini malah memulai
kerja sehari-harinya. Mengupil hidung!
"Apa kau pikir aku tak mendengar kasak-kusukmu
dengan gadis cantik ini barusan?" cibir si Kepala Kacang.
"Semuanya bisa jelas tertangkap sekaligus!"
Putri Ying Lien yang berdiri tak begitu jauh dari tempat
si Kepala Kacang menahan Nofret, menjadi mengerutkan
dahi. Kalau telinganya yang begitu terlatih saja ternyata tak
sanggup menjaring bisik-bisik Andika dengan Nofret,
bagaimana lagi kepekaan pendengarannya lelaki jangkung
itu?
Sebenarnya kalau Putri Ying Lien atau Andika tahu,
mereka akan segera memaklumi. Si Kepala Kacang adalah
salah seorang pemuja iblis sejati. Apa yang dilihatnya,
adalah seperti apa yang sanggup dilihat makhluk-makhluk
terkutuk. Dan apa yang didengarnya, adalah segala apa
yang bisa didengar makhluk-makhluk terkutuk. Seperti juga
apa yang dipikirkannya....
Untuk menyatukan kesaktian setan dalam dirinya,
setiap catur purnama, lelaki berpenampilan seperti mayat
itu akan memburu manusia untuk dijadikan santapan
malam! Ya! Hanya lewat kebiadaban, dia bisa tetap
menyatukan diri dengan makhluk jahanam pujaannya....
Jadi, jangan lagi Pendekar Slebor dan Nofret berbisik
di ujung ruangan itu dengan suara yang demikian halus.
Berbisik di seberang lautan pun, si Kepala Kacang mungkin
masih sanggup mendengarnya.
"Cepat tunggu apa lagi! Serahkan peta piramida itu
padaku!" bentak Kepala Kacang, murka besar. "Atau...."
Si Kepala Kacang langsung menyeret ujung sen-
jatanya ke kulit leher Nofret. Maka tersayatlah kulit halus
itu cukup dalam, mengalirkan darah..., merah membentang
panjang.
Nofret memekik. Sedang Andika tercekat. Mulailah
darah Pendekar Slebor menggelegak. Tindakan itu 

dianggapnya sebagai perbuatan pengecut. Andika memang
paling muak terhadap manusia  pengecut. Tapi jauh lebih
muak terhadap manusia yang berbuat semena-mena
terhadap orang selemah Nofret. Kalau kedua-duanya ada
dalam sosok si Kepala Kacang, maka jangan harap mata
elang Andika tak berkilat-kilat saat menatapnya.
"Segores lagi kau melukai gadis itu, tubuhmu akan
kucincang menjadi daging paling halus yang pernah ada!"
ancam pemuda dari Lembah Kutukan itu seiring getaran
kuat pada setiap penggal katanya.
"Kalau kau tak memberikan papirus itu padaku, maka
bukan saja gadis ini akan kuhadiahkan goresan. Bahkan
aku bersedia membelah lehernya dan kuhisap otaknya!"
tandas si Kepala Kacang tak main-main.
Terlihat jelas dari gerak bibir laki-laki berkepala kecil
itu yang melekuk memperlihatkan sepasang gigi taring.
Dengan menarik napas sesak akibat harus mem-
bendung kemarahan, Andika mau tak mau mengeluarkan
juga peta piramida yang diinginkan si Kepala Kacang.
"Lemparkan itu padaku! Jangan coba macam-macam!
Nyawa gadis ini tergantung tindakanmu, Pendekar Slebor!"
lanjut si Kepala Kacang memberi perintah sekaligus
peringatan.
Pendekar Slebor menurut. Dilemparnya gulungan
papirus di tangannya hati-hati.
Begitu tiba di depannya, tangan si Kepala Kacang
yang masih bebas segera menangkap. Sementara, tangan
yang lain masih tetap menempelkan senjatanya di leher
Nofret.
"Menyingkir dari tempaimu berdiri, Pendekar Slebor!"
perintah lelaki jangkung itu lagi.
Andika menuruti kembali. Masih dengan tatapan
menghujam mata lawan, kakinya melangkah menepi.
Setelah terbuka jalan baginya, si Kepala Kacang pun
meninggalkan ruangan dengan tetap menyandera Nofret.
Amat berhati-hati lelaki pemuja iblis itu menyurutkan
langkah, menuju pintu keluar. 

Sekilas setelah tubuh lelaki iblis tadi menghilang di
balik dinding. Tiba-tiba....
"Aaagrrrh...!"
Mendadak segenap tempat itu disentak oleh erangan
tinggi menggemuruh. Begitu keras sehingga sulit
dibedakan, apakah berasal dari pita suara Nofret atau si
Kepala Kacang.
Mendengarnya, jantung Pendekar Slebor seperti
herldak berhenti berdetak. Khawatir sekali pemuda itu
pada keselamatan Nofret yang semenjak dikenalnya terus
saja menyihir perasaannya ke segenap sudut hatinya.
Saat itu juga, Andika langsung memburu ke pintu
ruangan. Tindakan itu pun dilakukan yang lain. Kecuali
Pendekar Dungu, tentu saja. Lelaki tua berotak bebal itu
masih terus sibuk 'membenahi' kotoran hidungnya yang
masih saja menumpuk tebal meski sudah dicukil-cukil
sekian waktu.
Di balik pintu, tepatnya sekitar lima tombak di lorong
yang menghubungkan Ruang Para Undangan dengan ruang
lain, tampak si Kepala Kacang sedang meronta-ronta
serabutan dengan sekujur tubuh diselubungi api besar!
Tak jauh darinya, Nofret berdiri lurus dalam keadaan
tegang. Matanya yang tajam menusuk setiap gerakan liar
orang yang baru saja menyanderanya. Mata yang
sebelumnya selembut serat sutera itu, kini berubah
menjadi sekeras baja, seberingas naga wanita!
Semuanya dicerna dalam otak cemerlang Pendekar
Slebor. Dengan cepat, otaknya mengambil kesimpulan pula
bahwa si Kepala Kacang baru saja kena batunya. Andika
yakin, Nofret sedang mengerahkan kekuatan sihir dari
sepasang matanya!
"Modar! Biar modarlah kau! Tinggal pilih! Mau jadi
daging panggang, kambing guling..., atau guling panggang
yang diguling-guling! Hie-he-he!" sorak Andika.
Kewibawaannya sebagai pendekar dengan nama
besar, menguap begitu saja. Memang begitulah dia. Tak
heran kalau dirinya disematkan dengan julukan Pendekar 

Slebor!
Dari belakang Andika, si bangkotan berotak bebal
tiba-tiba menyeruduk.
"Ada apa ini? Ada apa ini?" tanya Pendekar Du¬ngu
dengan wajah berseri. "Aku dengar tadi ada yang
menyebut-nyebut kambing guling?"
Kegembiraan Pendekar Slebor cepat berakhir. Tak
lama kemudian, si Kepala Kacang tampaknya bisa
menguasai keadaan....
Dengan mata kepala sendiri,  mereka menyaksikan
bagaimana si Kepala Kacang dapat mementah-kan
kekuatan sihir Nofret dengan kekuatan hitam nya....

*** 

9

Apa yang dipertontonkan antara Nofret dengan si
Kepala Kacang benar-benar memukau. Selesai para
undangan lain terpana menyaksikan  bagaimana tubuh
lelaki berkepala kecil itu tiba-tiba dikepung api besar, kini
mereka diseret ke terpanaan lain. Si Kepala Kacang tiba-
tiba meregang dalam kobaran warna merah yang menggila.
Kulit tubuhnya sudah meleleh, memunculkan gelembung-
gelembung lemak berwarna putih kemerahan. Pakaiannya
pun sudah tak lagi berbentuk, menyatu dengan kelupasan
kulitnya!
Saat selanjutnya, dari kerongkongan pemuja iblis itu
terlompat keluar suara aneh bagai senandung upacara
para makhluk halus.
"Ngg..., ngggssshhhsss...."
Asing, lamat, tapi juga menusuk.
Lalu, kepungan api ciptaan Nofret menjauh perlahan.
Seakan dari tubuh si Kepala Kacang keluar lapisan kaca
yang membentengi dirinya dari kepungan api.
Jengkal demi jengkal, kepungan api ciptaan Nofret
menjauh dan menjauh.  Ketika jaraknya sudah mencapai
sekitar tiga tombak, kobaran api itu mendadak pupus
ditelan kabut hitam pekat yang mendadak muncul.
Mengambang lamat dan bergulir lamban.
Dari setiap jengkal gumpalan kabut, bersembu-lanlah
jutaan ulat-ulat berlendir kuning kental menjijikkan. Persis,
seperti ulat-ulat yang menggerogoti bangkai Biksu Punuk
Tebal dan laki-laki suami dari Manyar Wanita!
Kini jelas sudah, kalau kematian suami Manyar
Wanita adalah perbuatan si Kepala Kacang. Jauh di dasar
benak hitamnya, pemuja iblis itu rupanya tak bisa
mengendalikan hasrat haus darahnya!
Memang. Sementara para undangan menanti tengah
malam menjelang, pada saat yang sama purn-ma keempat
telah jatuh. Itulah waktu bagi si Kepala Kacang untuk
mempersembahkan satu nyawa manusia bagi para iblis. 

Mau tak mau dia harus mencari tumbal ilmu sesatnya. Dan
nasib buruk ahirnya jatuh menimpa suami Manyar Wanita.
Dialah yang dianggap cocok oleh si Kepala Kacang sebagai
tumbal.
Begitu bola mata besar si Kepala Kacang sudah tak
berkelopak lagi melirik Nofret, gumpalan kabut itu
melayang cepat menuju Nofret.
"Nofret! Menyingkir dari sana!" teriak Pendekar Slebor
memperingati.
Tapi, Nofret sepertinya tidak ambil peduli. Gadis itu
tetap berdiri lurus, menatap lawannya.
Pendekar Slebor tentu saja tak akan membiarkan
gadis yang disenanginya itu menjadi korban kesekian dari
ulat-ulat iblis peliharaan si Kepala Kacang. Segenap tenaga
tubuhnya melesat memburu ke arah Nofret.
"Hiaaa!"
Grap!
Seketika Pendekar Slebor menyergap tubuh sintal
Nofret dalam gerakan  singa menerkam. Usahanya tidak
sia-sia. Hanya berjarak sekitar setengah jengkal, kabut
hitam pekat itu menebas atas kepala Nofret.
Kedua anak muda itu bergulingan di lantai. Andika
sudah tak peduli lagi, apakah dadanya menyentuh dada
padat menantang milik Nofret. Atau, bahkan menindihnya.
Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah
menyelamatkan Nofret. Apalagi ketika tanpa diduga, kabut
hitam pekat si Kepala Kacang menaburkan ulat-ulat dari
dalamnya ke lantai tempat Pendekar Slebor dan Nofret
bergulingan.
Makin kelimpungan saja Pendekar Slebor. Dia
bergulingan lincah kian kemari, bersama tubuh Nofret yang
dirangkul erat-erat.
Setiap ulat yang bisa dihindari, melesak masuk ke
lantai dari batu pualam yang kerasnya tidak diragukan.
Seakan batu alam itu tak Iebih dari hamparan lilin dijatuhi
percikan bara.
"Hiak-hiak!" 

Pendekar Dungu mencak-mencak tak karuan. " Wih,
seru nih! Aku paling suka acara mesum seperti itu!" koar
lelaki bebal itu masih juga ngaco.
Di sudut lain, hamburan ulat-ulat dari kabut hitam
makin lebat mencecar.
Zesss! Zesss! Klap-klap!
Bunyi pualam tertembus lendir beracun  yang panas
luar biasa berseliweran di sekitar tubuh sepasang anak
muda itu.
Kini sudah saatnya bagi Andika untuk melepaskan
kain pusaka bercorak caturnya. Keadaan sudah tak
memungkinkan lagi baginya untuk sekadar menghindar.
Secepat tangannya bergerak, secepat itu pula kain
bercorak caturnya dikebutkan beberapa kali.
Srat! Cletar-cletar! Prat!
Kelebatan cepat kain pusaka itu membentuk pa-yurig,
melindungi Pendekar Slebor dan Nofret. Pualam mungkin
bisa dijadikan makanan empuk lendir beracun ulat-ulat itu.
Tapi, tidak bagi Kain Pusaka Pendekar Slebor.
Setiap kali binatang-binatang dari alam kegelapan itu
menyentuh senjata Pendekar Slebor, setiap kali pula
terdengar bunyi halus seperti sesuatu yang lembek
tertimpa benda keras.
Makin banyak ulat menghujani kain pusaka itu, maka
makin sering terdengar suara halus tadi. Sementara asap
tipis berwarna kuning pun mulai menggumpal di atas
putarannya. Panas lendir beracun yang tak mampu
menembus kekuatan kain pusaka Pendekar Slebor
rupanya penyebabnya.
Sampai suatu ketika....
"Khiaaa!"
Sekujur urat leher Andika meregang tegang. Pita
suaranya meluncurkan jeritan, pertanda amukan
kemarahan. Kemudian disusul sebuah dorongan tenaga
dalam tingkat ke sembilan belas terlepas dari satu tangan.
Sasarannya, adalah kabut gelap kental.
Brash! 

Sekedip mata saja, kabut buatan Kepala Kacang si
pemuja iblis berhamburan menjadi pecahan-pecahan kecil.
Setelah menghambur dalam bentuk  yang semakin kecil,
seluruh kabut itu pupus.
Kini tak ada lagi bunyi-bunyi anehyang membuat mual
siapa pun pendengarnya. Tak ada lagi. Ruangan berubah
sunyi. Andika yang mengira si Kepala Kacang akan
mengirim serangan susulan, sudah tak menemukan lelaki
itu lagi di tempatnya.
"Ke mana biang borok itu?!" umpat Andika membatin.
Plok! Plok! Plok!
Sahutannya adalah suara tepukan ramai Pendekar
Dungu.
"Tegang-tegang! Ayo, siapa yang tidak tegang pasti
sudah tidak waras...," celoteh lelaki bebal ini semakin
ngawur.

***

"Kepala Kacang! Kita harus segera mengejar lelaki itu,
Andika!" sergah Nofret, setelah keadaan menjadi tenang
kembali. "Dia telah tahu ruang penyimpanan Pusaka Para
Ahli Sihir Raja! Dengan ilmu iblisnya yang kini dimiliki saja,
dia sudah demikian berbahaya. Apalagi jika berhasil
mendapatkan benda-benda pusaka itu!"
Tak seperti kebiasaannya yang hanya sedikit
berbicara, Nofret kali ini terlihat meledak-ledak. Bisa jadi
karena begitu khawatir akan terjadi bencana besar
menimpa banyak orang, jika manusia pemuda iblis macam
Kepala Kacang mendapatkan kekuatan tambahan.
“Ya, aku sadar. Bukankah karena itu pula peta di atas
papirus.itu menyebut-nyebut tentang kekuasaan tertinggi”
sahut Andika menanggapi. Dia berusaha untuk setenang
mungkin.
"Sejak tadi aku mendengar kalian menyebutkan
tentang peta. Peta apa yang kalian maksud?" tanya
Kenjiro, menyela. 

Lelaki bertubuh gempal dari negeri Sakura itu selalu
saja sulit untuk menahan keingintahuannya. Tak seperti
Hirono yang berpembawaan lebih tenang dan mantap?
Karena merasa sudah tak berguna lagi dirahasiakan,
Pendekar Slebor akhirnya menceritakan dengan singkat
tentang peta yang didapat ketika bersama Nofret.
"Astaga...," desis Putri Ying Lien. "Kalau begitu, benar
kata Nofret. Lelaki itu harus segera dicegah!" Wajah gadis
dari Cina ini sekhawatir Nofret.
Andika menautkan alis legamnya. Biarpun berusaha
tetap tenang, tak urung wajahnya menyiratkan
kekhawatiran pula.
"Tapi, masalahnya kita tak memiliki peta itu lagi,"kata
Nofret, terdengar putus asa.
"Jangan khawatir! Sebelumnya, aku sudah khawatir
peta itu jatuh ke tangan seorang berhati iblis di .intara kita.
Karena itu, diam-diam aku membuat salinannya. Kupikir,
seandainya peta itu jatuh ke tangan orang sesat, aku
masih bisa berbuat sesuatu...," papar Andika ringan.
"Mana salinan itu, Andika?" tanya Chin Liong
hergegas.
Chin Liong melihat Andika yang terlalu acuh itu
membuatnyajadi agak tak  sabar. Bukan apa-apa. Dia
hanya khawatir si Kepala Kacang berhasil mendapatkan
benda-benda pusaka seperti ucapan Nofret tadi.
Andika menunjuk keningnya.
"Di sini," jelas Pendekar Slebor singkat.

***
 

10

Ruang penyimpanan Pusaka Para Ahli Mesir Raja
terletak jauh di dasar gurun. Letaknya beberapa kali lebih
dalam daripada ruang penyimpanan harta. Tampaknya
piramida kuno itu benar-benar dirancang secara istimewa
oleh pemiliknya.
Tak terlalu sulit untuk sampai di ruang itu sebe-
narnya. Namun karena selama ini dirahasiakan, ruangan
itu tak pernah ada yang tahu.
Nofret selaku orang yang dipercaya untuk memandu
para undangan pun, baru kali itu mengetahui.  Bahkan
mungkin ayahnya yang seorang Pendeta 'Ka' pun tak
pernah mengetahui.
Halang-rintang pun tak pernah muncul sepanjang
lorong menurun, menuju ruang tersebut. Sungguh tak
sebagaimana mestinya ruang yang teramat rahasia.
Biasanya si empunya bangunan akan  membuat
semacam jebakan-jebakan yang menghambat orang lain,
bila hendak memasukinya. Anehnya, lorong menuju ruang
itu justru tidak memiliki pengaman sedikitpun!
Keadaan ini memereikkan kecurigaan di dasar benak
Pendekar Slebor. Namun setelah dipikir ulang, bisa saja
Sang Ratu pemilik piramida sengaja merancang seperti itu,
agar tidak menimbulkan kecurigaan kalau lorong ini
menuju sebuah ruang penyimpanan benda paling penting.
Secara beriringan, rombongan undangan itu
menyusuri lorong sempit menurun berliku-liku. Makin ke
dalam, mereka seperti sedang menyusuri labirin tak
berujung pangkal. Melelahkan dan menyebalkan.
"Slompret! Kenapa kalian seperti tidak punya kerjaan
berjalan di selokan tikus seperti ini, sih?" gerutu Pendekar
Dungu, mulai uring-uringan. Dengkul tuanya mulai tak bisa
diajak berdamai, setelah sekian lama berjalan.
Untung saja ada Putri Ying Lien di dekatnya. Setiap
kali si tua bangka itu hendak macam-macam, gadis itu
menjawil bahunya. Diberinya tua bangka berotak bebal ini 

senyum kecil agak  menggoda. Kalau sudah begitu,
Pendekar Dungu akan membusungkan dada datarnya
hebat-hebat, walaupun sebenarnya terasa dipaksakan.
"Kira-kira, sampai berapa jauh lagi kita berjalan?"
tanya Kenjiro sesak.
Napas lelaki asal negeri Matahari Terbit itu turun naik
tak teratur. Bagi orang bertubuh tambun seperti dia,
perjalanan seperti itu benar-benar menjadi siksaan.
"Apa kita tak salah jalan? Apa yang kita masuki ini
justru jalan tak berujung pangkal yang cuma jebakan?
Apa...," lanjut Kenjiro.
"Apa tak sebaiknya  kau mengunci mulut?" sambar
Pendekar Slebor.
Sudah dongkol mendengar keluhan seorang tua
bangka, ada lagi keluhan manusia kelebihan lemak! Maki
Andika dalam hati.
Sampai akhirnya penyusuran yang memang
memuakkan itu berakhir, ketika Pendekar Slebor yang
berada paling depan mengangkat tangan memberi aba-aba
untuk berhenti.
"Ada apa?" tanya Chin Liong berbisik.
"Aku tak tahu, apakah kita sudah tiba di ruang
penyimpanan benda pusaka atau tidak. Yang jelas, aku
menemukan pintu yang menjadi jalan masuk menuju satu
ruang besar," lapor Andika, berbisik pula.
"Manusia iblis itu ada di sana?"tanya Nofret menyela.
Andika menggeleng.
"Ada yang aneh dengan ruang itu...," duga pemuda
Lembah Kutukan itu. Matanya lekat mengawasi segenap
ruangan dari sisi pintu.
Chin Liong  yang berdiri tepat di belakang Andika jadi
kepingin tahu. Dengan hati-hati, dia ikut mengintip dari sisi
pintu.
"Aku tidak melihat apa pun yang aneh. Ruang itu
hahkan tidak ada apa-apa...," kata Chin Liong, menduga
pula.
"Justru karena tidak ada apa-apa di  sana, aku 

mengatakan aneh!" sergah Andika. "Apa kau tak mem-
bandingkan dengan ruangan-ruangan lain yang penuh
segala tetek bengek. Sementara, dinding ruangan satu ini
bahkan tidak memiliki lukisan seperti ruangan lain...."
"Heyyy! Slompret benaran! Kenapa  jalannya  jadi
mandek!" seru Pendekar Dungu di deretan paling belakang.
Andika mengeraskan rahangnya. Geram sekali hatinya
pada tua bangka itu. Sementara orang lain sudah berusaha
berhati-hati, bahkan harus berbicara secara berbisik-bisik
pula, si bebal itu malah seenaknya teriak-teriak!
Kegeraman Andika pada kelancangan bacot si
bangkotan memang beralasan. Begitu suara serak seperti
beduk pecah milik Pendekar Dungu berpantul  di  sisi-sisi
lorong.... Grrrhhh!
Mendadak saja lorong tempat mereka berdiri
bergetar. Getaran amat hebat yang pernah dirasakan
selama berada dalam Piramida Tonggak Osiris....
Drrrhhh...!
Lalu dinding sebelah kiri mereka menyusul terkuak
besar. Tinggi kuakan sekitar empat tombak. Sedang
lebarnya sekitar lima tombak. Dinding dari susunan  batu
alam yang tebalnya luar biasa itu kini membentuk satu
pintu masuk lain. Artinya, mereka kini menemukan dua
ruang. Salah satunya, harus dipilih untuk dimasuki....
Tidak hanya sampai di situ. Di sisi dinding yang lain
pun secara berurutan membentuk pintu-pintu baru,
berukuran sama disertai getaran pula. Setiap kali satu
pintu sepenuhnya terkuak, menyusul pintu yang lain di
seberangnya. Terus begitu, hingga seluruh pintu kini
berjumlah sembilan.
"Hm.... Permainan puncak tampaknya baru saja
dimulai...," gumam Andika disertai ringisan kecele.
Dugaan Pendekar Slebor kalau lorong itu tak memiliki
halang rintang apa-apa, ternyata meleset. Untuk sampai di
ruang yang dituju, satu-satunya cara adalah memilih salah
satu pintu masuk. Bukan tidak  mustahil kalau salah
masuk, mereka malah dihadang tangan Dewa Osiris. Dewa 

Kematian...,
"Bagaimana selanjutnya Andika, San*?  tanya  Hiroto,
meminta pertimbangan Pendekar Slebor.
Andika garuk-garuk kepala. Otak encernya entah
kenapa menjadi beku menghadapi rentetan teka-leki
memusingkan di bangunan kuno ini. Asal jangan sampai
sebeku Pendekar Dungu saja. Kata batin Andika,
menghibur diri sendiri.
"Bagaimana Andika?" ulang Chin Liong.
"Kali ini, apa sebaiknya ditanyakan pada Nofret saja?"
kilah pendekar muda tanah Jawa itu.
Memang siapa tahu, gadis Mesir itu memiliki
pertimbangan lain yang lebih baik. Padahal kalau mau
jujur, Andika mengakui kalau pikirannya sudah demikian
mumet.
Nofret tak buru-buru menanggapi. Mata lentik nan
jelinya sibuk mengawasi setiap pintu yang mem-bentang di
sekitar mereka.
"Begini saja...," kata Nofret akhirnya. "Kita bagi
rombongan menjadi sembilan. Karena jumlah kita persis
sembilan orang, maka setiap orang akan memasuki satu
pintu...."
"Gila! Ini namanya berjudi dengan nyawa!" bantah
Kenjiro.
"Tapi, hanya itu kesempatan kita agar cepat tiba di
ruang penyimpanan benda pusaka. Bukankah kita tak ingin
si Kepala Kacang mendahului kita?" sergah Nofret,
memberi alasan jitu.
Yang lain diam tanda setuju. Dan suka tak suka,
Kenjiro pun terpaksa menyetujui.
Kini,  mulailah mereka memisahkan diri. Masing-
masing memasuki satu pintu. Apa pun yang terjadi dalam
ruang yang dimasuki, akan menjadi tanggung jawab
masing-masing untuk menghadapinya. Termasuk,
kemungkinan bentrok dengan si Kepala Kacang. Atau,
bentangan jebakan demi jebakan maut yang sejak semula
selalu mengintai. 

Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginan, Pendekar
Slebor mengusulkan agar mereka berkumpul kembali ke
tempat semula dalam waktu sekian lama. Jika salah satu
tidak ada yang kembali ke ruang semula, maka yang lain
akan segera menyusul.
Usul  Pendekar Slebor disetujui. Biarpun, hanya satu-
dua orang yang menanggapinya dengan sung-guh-sungguh.
Namun kebanyakan mereka merasa harga dirinya terusik,
selaku orang persilatan.

***

Pendekar Slebor mulai melangkahkan kakinya ke
ruang pertama. Ruang besar yang polos itu tetap ilingin
menyambut kehadirannya. Tanpa lukisan dan  tanpa
seonggok perabotan, bukan berarti ruang itu  tak mungkin
menghadirkan ancaman seperti ruang-ruang lain. Kejelian
naluri kependekaran anak muda itu tetap masih mampu
merasakan adanya bahaya  tersembunyi. Diam, tapi setiap
saat bisa berakibat sangat buruk.
Seluruh kesiagaan diri Pendekar Slebor terbangun.
Jika setiap langkah bisa berarti kematian, maka pada
setiap langkah pun, dia mencoba waspada.
Andika berhenti sebentar, setiap kali kakinya
melakukan jejakan  ringan di lantai. Matanya mengawasi
tajam seluruh ruangan. Tangannya siap di depan dada,
dalam bentuk kuda-kuda siap tarung. Kalau tidak terjadi
apa-apa, barulah memulai langkah selanjutnya.
Pada langkah yang kesekian....
Psss!
Tiba-tiba bergulung-gulung asap kelabu pekat
berhembus dari seluruh celah dinding batu. Begitu gencar.
Sampai  dalam waktu tak terlalu lama, seisi ruangan sudah
habis terkepung.
Andika cepat memutus pernapasannya. Urat dadanya
ditahan kuat-kuat. Tak ada seorang pun yang akan sudi
mencari bahaya dengan menarik napas dalam ruangan 

berbau maut seperti itu. Andika sendiri sudah begitu yakin
kalau asap itu mengandung racun. Bisa saja, salah satu
racun terganas yang pernah ada di bumi ini.
Dengan perhitungan asap pekat itu akan bertahan
lama dalam ruangan, Pendekar Slebor memutuskan untuk
segera meninggalkan tempat ini. Sekuat-kuatnya paru-paru
Andika tak akan sanggup bertahan sampai sepeminuman
teh.
Perhitungannya ternyata tak semulus dalam benak.
Belum lagi kaki Pendekar Slebor digenjot, asap tebal tadi
sudah mengaburkan pintu keluar. Bahkan saat berikutnya,
pintu keluar benar-benar tak lagi nampak. Di sana-sini
hanya ada kepekatan yang tersaput warna kelabu.
Dalam kepungan keadaan menjengkelkan seperti itu,
biasanya Pendekar Slebor akan menyemburkan makian-
makian manis. Tapi, sekarang ini jangan sekali mencoba-
coba! Sedikit saja membuka jalan napas, asap itu akan
langsung melabrak dinding paru-parunya!
Kelimpungan. Hanya itu yang bisa diperbuat anak
muda urakan ini. Matanya berkeliaran, terus mencari jalan
keluar. Tapi, tetap tak ditemukan. Tubuh nya bergerak tak
kalah liar. Tangannya menyibak-nyibak asap, mencoba
membuat jalan pada pandangannya. Juga tetap sia-sia.
Sementara itu waktu merangkak cepat, mendalangi
Pendekar Slebor dengan juluran tangan mautnya. Dan
sementara itu pula, udara dalam paru-paru Andika sudah
tidak bisa lagi dipertahankan.
Dada anak muda itu menjadi sesak luar biasa. Otot-
otot di bagian dadanya mulai merontaki dirinya dengan
gelialan rasa nyeri. Akibat kekurangan udara, kepalanya
pun mulai berkunang-kunang. Sekejap lagi, saraf di paru-
parunya akan menarik udara, tanpa bisa lagi dikendalikan.
Anak muda itu siap menghirup asap dalam ruangan!
Dalam saat-saat di mana Andika sudah tak bisa lagi
menguasai dirinya, terdengar bisikan seorang wanita.
Warna suaranya halus menggoda. Sekaligus, lamat
menggidikkan.... 

"Sementara menunggu tepat tengah malam, kalian
tidak pemah menyadari kalau tengah malam itu sudah
terlampaui Yang kalian telah alami, itulah yang  kujadikan
hidangan. Namun jangan mengira tak ada hidangan lain....
Karena upacara akan segera dimulai!

** *

Apakah yang bakat terjadi pada diri sang pendekar
muda tanah Jawa itu? Hidangan apa lagi yang akan ditemui
Andika, dan para undangan lain?
Apakah yang didengar Pendekar Slebor adalah bisikan
Ratu Mesir dari zaman sebelum masehi? Ataukah, wanita
itu sebenarnya masih hidup?
Jangan lewatkan ketegangan selanjutnya dalam
episode:
WARISAN RATU MESIR

Tidak ada komentar: